eltta

Perasaan bahagia serta gugup menjadi satu. Reza memikirkan apa yang harus ia katakan nanti jika bersama dengan Kiana. Perkataan apa yang harus ia katakan untuk meyakinkan hati Kiana?

Karena sibuk memikirkan hal itu, selama di mobil hanya ada keheningan. Reza sibuk dengan pikirannya, sementara Kiana tak tau apa yang harus ia lakukan.

Sesampainya mereka di sana, Reza bergegas saja menarik tangan Kiana. Kiana tak menolak, karena ia pikir Reza sudah mengetahui tempatnya. Nyatanya Reza pun tak tau harus pergi kemana, ia hanya menarik Kiana menuju tempat yang kemungkinan cocok untuk menyatakan perasaannya.

“Yang lain mana, Ja?” tanya Kiana ketika Reza menghentikan langkahnya.

“Ga ada.”

“Maksud lo?”

“Mereka emang ga ada, Na. Cuma ada kita di sini.” Kiana mengerutkan alisnya bingung.

“Lo ga nyadar? mereka yang ngerencanain hal ini. Dan gue ga akan nyia-nyiain momen ini.” Reza menarik tangan Kiana dalam genggamannya.

“Masih kaya sebulan lalu, gue sayang lo, Na. Sebulan ini gue udah berusaha semaksimal mungkin buat yakinin lo. Gue serius sama lo, gue ga jadiin lo pelampiasan semata.” Reza mengeluarkan semua yang ada dibenaknya, ternyata kata-kata yang sudah ia rangkai sebelumnya justru tidak ia katakan.

“Kata Gian, lo belum bisa ngilangin rasa lo ke gue, kan? gue juga masih belum, Na. Gimana kalo kita saling menyampaikan rasa kita? biar kita sama-sama engga tertolak, kita sama-sama dapet cinta kita. Lo mau, kan?” Reza sangat takut akan jawaban yang akan keluar dari mulut Kiana.

“Ja,” panggil Kiana yang membuat Reza gugup setengah mati.

“Sebulan ini memang gue ngerasain usaha lo, Ja. Gue memang belum bisa hilangin rasa gue ke lo. Dan untuk pertanyaan terakhir, gue—” Belum selesai Kiana berbicara, Reza sudah memotongnya.

“Gue paham kalo emang lo belum bisa nerima gue, tapi gue janji, gue ga akan mengulangi kesalahan yang sama. Gue ga akan berlaku sama kaya yang dulu gue lakuin ke Angel. Gue bakal benar-benar naruh lo sebagai satu-satunya wanita di hati gue.”

“Gue belum selesai ngomong, Ja. Gue mau, gue mau kita saling mencintai tanpa ada penolakan apapun. Gue udah yakin sama lo, ya walau gue masih takut.” Mata Reza terbelak terkejut, ia tak menyangka jawaban itu akan keluar dari mulut Kiana.

Reza pikir, ia akan ditolak kembali oleh Kiana. Namun ternyata salah, pikirannya salah.

“Lo serius?” Kiana mengangguk menjawab pertanyaan Reza.

Reza menarik Kiana ke dalam dekapannya, mencurahkan rasa senangnya. Kiana kini menjadi satu-satunya wanita yang ada di dalam hati Kiana.

“Aku janji, Na, aku janji ga akan nyakitin kamu.”

“Jangan janji, Ja.”

“Iya, aku ga janji, tapi aku bakal buktiin.” Kiana diam-diam tersenyum bahagia, memang ini yang ia harapkan, bisa berbahagia dengan orang yang ia cintai.

Langit malam dengan bulan serta bintang menjadi saksi kisah cinta keduanya. Keduanya sama-sama menjalani masa susah, namun akhirnya kini mereka bersatu.

Semesta yang mempertemukan mereka, maka semesta pula yang menyatukan mereka. Seiring dengan waktu, lika liku yang mereka lewati, sekarang mereka dapat merasakan rasa bahagia yang bebas.

Kiana yang awalnya harus menerima pahit karena Reza sudah memiliki kekasih kini sedang merasakan rasa manis.

Reza yang letih mengejar Kiana kembali, kini rasa letihnya hilang, ia sudah berada di garis finish. Keduanya sudah mencapai kemenangan.

Kemenangan keduanya menjadi akhir dari kisah mereka, sekarang cukup menjalankan peran masing-masing untuk tetap bahagia.

Reza mengemudikan motornya dengan kecepatan gila, dirinya bisa saja mengalami kecelakaan jika lalai sedikit.

Reza butuh penjelasan dari Angel, mengapa tiba-tiba di saat hubungan mereka baik-baik saja, justru Angel ingin mengakhirinya.

Saat sampai di rumah Angel, Reza langsung mengetuk pintu rumah Angel dengan tergesa.

Angel sudah tau siapa pelaku yang mengetuk rumahnya itu, Angel keluar dan melihat Reza yang sudah terlihat sangat heran.

Angel menggandeng Reza untuk keluar, “Jangan di sini, ada ibu, ga enak sama ibu.”

Reza mengangguk dan menaiki motornya, “Naik.”

Reza membawa Angel ke tepian danau, tempatnya sangat sepi. Tempat ini baru pertama kali didatangi mereka. Padahal mereka adalah tipe pasangan yang suka mencari tempat baru untuk menghabiskan waktu. Namun tempat ini baru pertama kalinya.

Reza menatap mata Angel, tangannya menggenggam erat jemari Angel.

Angel tersenyum dan mendongak menatap Reza, “Ayo putus.”

Reza menggeleng, dirinya tak mau mengakhiri hubungan mereka. Reza bungkam, karena jika dirinya mengeluarkan suara, mungkin tak hanya suara, namun air mata pun akan ikut keluar.

“Tiga bulan ini udah cukup buat aku mengenal kamu, Za. Kamu suka sama Kiana, tapi kamu berusaha menepis hal itu. Tapi, hati ga bisa bohong, Za, sekalipun mulut kamu yang berbohong.” Reza terkejut bukan main, mengapa Angel bisa mengatakan hal itu?

“Reza, selama tiga bulan ini kamu belum punya pendirian. Di hati kamu itu ada dua wanita, aku dan juga Kiana. Kamu ga bisa kaya gitu, karena aku lemah, aku nyerah, Za. Aku sendiri yang akan pamit dari hati kamu. Segera kamu dekati dan kejar kembali bahagia kamu, Za.” Mulut Angel bergetar mengucapkan kata demi kata.

Hal ini dipendam Angel, usahanya selama tiga bulan agar Reza melupakan Kiana juga sia-sia. Bahagia yang Angel tunjukan juga tak murni karena benar-benar bahagia, terkadang juga karena paksaan.

“Aku sakit kamu selalu bahas Kiana, Kiana, Kiana, dan Kiana terus. Aku ga marah sama kamu ataupun Kiana, aku marah karena aku secepat ini untuk nyerah. Ayo putus, Za.” Kalimat terakhir Angel lagi-lagi membuat Reza menggeleng.

Reza mendekap Angel dalam pelukannya, “I really really love you,” bisik Reza pada telinga Angel.

“I know, but, you don't just love me.”

Reza tak mengelak perkataan Angel, karena memang hal itu benar adanya. Reza tak bisa mendapat pendiriannya, namun ia juga tak bisa mencintai dua wanita sekaligus.

Semuanya berakhir sakit, mau itu Kiana ataupun Angel, keduanya sakit, bahkan Reza sendiri.

“Za..”

“Bentar, for the last time i hug you.” Reza mengeratkan pelukannya, air matanya berhasil lolos begitu saja.

Perpisahan memang menyakitkan, tetapi kemungkinan perpisahan ini akan memuahkan bahagia pada masing-masing.

Reza sudah terbiasa mencari peluk ketika merasa letih. Dulu, ia sering mendapat peluk dari Kiana ketika letih. Kiana selalu memeluknya sembari berkata, “You did well, Ja. Besok kalo capek lagi, bilang ke gue, gue bakal selalu ngasih peluk buat lo.”

Namun hari ini Reza tak mungkin meminta peluk pada Kiana lagi. Reza masih sadar jika dirinya sudah mempunyai wanita di hatinya.

Reza bergegas menaiki motornya dan pergi ke rumah Angel. Rumah Angel berada tepat di samping rumah Kiana.

Sesampainya Reza di sana, ternyata dirinya sudah disambut oleh Angel. Angel berdiri di luar pagar rumahnya, ia menunggu kehadiran Reza dengan senyum yang tak luntur dari wajahnya.

Reza menghentikan motornya tak jauh dari letak Angel berdiri. Sudah merasa tak sabar, Reza langsung menghampiri Angel dan memeluknya dengan sangat erat.

“Santai dong, Za, aku ga kemana-mana.” Angel mengelus punggung Reza dan memeluk balik Reza.

“Capek,” adu Reza yang masih setia dengan pelukannya yang sangat erat. Dagu Reza menempel pada bahu Angel, ia menjatuhkan semua bebannya kepada sang kekasih.

“Iya, mana yang capek? sini aku pijetin.”

“Ga perlu, kaya gini aja lima menit, nanti ilang sendiri capeknya.” Angel mengangguk serta terus mengusap punggung Reza dan sesekali mengusap rambut Reza.

Tampa disadari ada sepasang mata yang memperhatikan Reza dan Angel tak jauh dari sana. Sosok itu ialah Kiana, Kiana hendak keluar dari rumahnya untuk pergi ke minimarket, namun sialnya ia harus melihat kegiatan serta mendengar obrolan Reza dan Angel.

Kiana tersenyum pahit, hatinya sakit melihat orang yang ia sayang kini sedang bermesraan dengan wanitanya.

“Masih sama, masih suka minta peluk kalo lagi capek,” batin Kiana dengan dada yang sesak.

Sudah tak kuat, Kiana memutuskan kembali masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan pasangan di dekatnya untuk menikmati waktu mereka.

Benar kata Reza, setelah lima menit, Reza melepaskan pelukannya. Reza tersenyum dan menatap Angel, “Makasih, ya.”

Reza tak ingin berlama-lama, sebab dirinya masih harus menyelesaikan belajarnya untuk besok. Reza segera berpamitan kepada Angel untuk pulang.

“Kenapa rasanya beda? hangat, tapi ga sehangat biasanya. Kenapa rasa capek gue ga hilang?” Pikiran Reza berkecamuk saat perjalanan pulang.

Panik melanda Farhan ketika mendengar perkataan Shelly. Farhan langsung bergegas keluar kamarnya dan turun ke bawah.

Panggilan kedua orang tua Farhan diabaikan, Farhan pula belum sempat mengganti pakaiannya.

Farhan menaiki mobilnya dan pergi ke rumah Maria. Sepanjang perjalanan ia tak fokus memikirkan kondisi Maria. Farhan takut jika suatu hal yang tidak diinginkan terjadi pada Maria.

Saat mobilnya sudah terparkir di depan rumah Maria, Farhan langsung menggedor rumah Maria. Farhan tak bisa langsung masuk, karena kondisi pintunya terkunci.

“Shelly ayo Shelly buka pintunya,” batin Farhan sembari menggedor pintu rumah Maria dengan irama tak selaras.

Suara kunci diputar terdengar, Farhan menghentikan ketukan tangannya pada pintu. Mendengar putaran kunci yang tak beraturan, membuat Farhan bersuara, “Ke kanan Shelly, pelan-pelan aja, jangan buru-buru.”

Farhan memberi bimbingan Shelly untuk membuka pintunya. Shelly mengikuti pesan Farhan, kunci pintu sudah berhasil terbuka. Shelly membuka kenop pintunya dan mendapati Farhan di depannya.

Farhan langsung menggendong Shelly dan membawanya ke dalam. Farhan menaruh Shelly di sofa depan televisi. Farhan memberikan ponselnya pada Shelly, “Shelly mainan pake hpnya Kakak dulu, ya. Kakak ke kamar Kak Maria dulu,” ucapnya pada Shelly.

Farhan memasuki ke ruangan yang berada di dekat sofa yang diduduki Shelly. Saat memasuki kamar Maria, ia sudah dihadiahi pandangan Maria yang meringkuk di balik selimutnya. Badan Maria bergetar, menggigil kedinginan. Farhan menoleh pada satu kipas angin di atas Maria, namun kipas itu sudah mati, lantas apa yang membuat Maria menggigil.

Dengan pelan Farhan menaiki kasur Maria, ia melihat wajah pucat Maria. Tangannya terulur menyentuh dahi Maria, merasakan suhu badan Maria yang tinggi.

Farhan kelewat panik, ia segera mengangkat Maria dalam gendongannya. “Mar, bangun, Mar.” Farhan mencoba membangunkan Maria.

Namun saat Farhan ingin keluar dari kamar, tiba-tiba Maria membuka pelan matanya. “Kak..” lirih Maria dengan nada lemas.

“Iya, Mar, bentar, ya. Habis ini kita ke dokter.”

“Ga usah, aku gapapa, turunin.” Farhan menuruti permintaan Maria, Farhan menurunkan Maria dari gendongannya. Maria melangkahkan kakinya ke arah kasur, namun baru dua langkah, kakinya melemas.

Maria hampir terjatuh, ia akan terjatuh jika Farhan tidak cepat menahannya. Farhan kembali menggendong Maria, Maria mencoba menepisnya, tapi apalah daya, tubuhnya kini sedang sangat lemas, ia tak kuat melawan tenaga Farhan.

“Ga mau ke dokter, Kak.”

“Iya, engga.”

Farhan menidurkan Maria ke kasur, setelah itu Farhan ke toilet dan mencari sebuah handuk kecil untuk mengompres dahi Maria.

Setelah menemukan barang yang dicari, Farhan duduk di samping Maria. Tangannya mengambil handuk yang masih kering, lalu ia rendamkan pada air dingin di sebuah mangkok yang sudah ia siapkan. Setelahnya, Farhan memeras handuk itu dan menempelkannya pada dahi Maria.

Maria sudah tak begitu menggigil, namun Farhan masih takut meninggalkan Maria. Terlebih Maria hanya tinggal bersama Shelly, tidak ada yang bisa menjaga Maria.

“Kak,” panggil Maria tanpa membuka matanya.

“Ya?”

“Tolong ambilin obat di laci dapur sebelah kiri. Aku harus masuk kerja, Kak.” Tangan Maria terulur memegang tangan Farhan, memohon agar Farhan mengambilkannya obat.

“Aku ambilin, tapi kamu ga perlu kerja, Mar. Hari ini libur dulu, kamu ga lihat kondisi kamu kaya gimana?”

“Tapi, Kak.”

“Stt diem, nanti aku yang ijinin ke Pak Radya.”

Farhan memainkan ponsel milik Maria, ia mengirim pesan kepada atasan Maria agar memberi Maria izin, karena Maria sedang sakit.

Tak hanya mengirim pesan ke Pak Radya, Farhan pula membuka aplikasi ojek onlinenya dan memesan tiga porsi bubur ayam. Pikirnya, ia tak bisa meninggalkan Maria, namun Maria harus makan terlebih dahulu sebelum meminum obat, maka dari itu Farhan memesan makanan lewat ojek online.

Farhan menaruh ponselnya dan kembali menatap Maria, wanitanya sekarang sedang tidur dengan tenang, walau sesekali alisnya berkerut cemas.

Shelly masuk ke kamar dengan tergesa, membuat Maria terbangun. Farhan menoleh pada Shelly, dan Shelly naik ke kasur lalu duduk di samping Maria.

“Kakak, mau mandi,” ucap Shelly sembari menggoyangkan badan Maria.

“Huh? ya udah, ayo.” Maria mencoba bangun dari tidurnya, namun ditahan oleh Farhan.

Maria menatap Farhan dengan tatapan heran, “Shelly mandi sendiri bisa? nanti airnya biar Kakak yang siapin. Kalo Shelly udah selesai, Shelly bisa teriak, nanti Kakak masuk buat pakein baju.” Farhan beralih menatap Shelly.

Tak langsung ada jawaban dari Shelly, sepertinya Shelly masih bimbang, namun akhirnya Shelly mengangguk.

Farhan tersenyum dan segera menyiapkan air hangat untuk Shelly. Setelah siap, Shelly pun masuk ke kamar mandi.

Maria masih dengan tatapan bingung, “Aku ga bisa mandiin anak kecil, Mar. Dari pada kenapa-kenapa, mending kaya gitu aja.” Setelah mendengar penjelasan Farhan, Maria baru mengangguk paham.

Shelly tipe anak yang sangat suka bermain air, bahkan hingga makanan yang dipesan Farhan datang pun, Shelly belum selesai dari ritual mandinya.

Hal itu membuat Farhan menghampiri Shelly, “Udah yuk mandinya, makanannya udah dateng.”

“Bentar, Kak, masih mau main.” Shelly berada di bak mandi kecilnya dengan beberapa mainan yang terapung.

“Ayo, nanti sakit.” Farhan terus membujuk Shelly agar mau mentas.

Sekian banyak bujukan sudah diberi, akhirnya Shelly mau mendengar Farhan dan segera mentas.

“Kakak, boleh pinjem hp lagi ga?” tanya Shelly ketika Farhan sedang memberi bedak pada wajahnya.

“Iya, boleh. Kakak nyuapin Kak Maria duluan ya, nanti baru nyuapin Shelly.”

“Okey, Kak!”

Setelah memberikan ponselnya ke Shelly, Farhan mengambil satu bungkus bubur ayam dan segelas air, serta obat demam. Farhan duduk di samping Maria, lalu ia mulai membangunkan Maria.

“Mar, bangun dulu yuk, makan terus minum obat, baru deh tidur lagi.”

Maria membuka matanya yang berat, ia bangun dan duduk menyender pada tembok. Farhan pun mulai menyuapi Maria dengan pelan dan telaten, dirinya sudah terbiasa menyuapi karena sering bersama dengan Shelly.

“Udah, Kak.” Baru lima suapan, tapi Maria sudah tidak ingin makan.

“Baru dikit loh? makan lagi, ya?” Maria menggeleng, mulutnya terasa hambar, rasanya tidak enak. Perutnya juga sedikit menolak makanan yang masuk.

“Ya udah, ini minum dulu.” Farhan memberikan gelas yang berisi air untuk diminum Maria.

Maria mengembalikan gelasnya pada Farhan, namun Farhan tidak menerimanya. Farhan menyuruh Maria agar tetap menggenggam gelas itu.

Farhan membuka obat, lalu dia suapkan ke mulut Maria. Maria kembali meminum minumannya, setelah tertelan, Maria kembali mengembalikan gelasnya pada Farhan.

Maria memposisikan dirinya untuk tidur, matanya sudah sangat berat. Tak sampai lima menit, Maria sudah terpulas tidur.

Farhan akan keluar dan menyuapi Shelly, namun sebelumnya, ia mendekatkan dirinya ke Maria. Bibirnya ia dekatkan ke kening Maria, Farhan mengecup pelan kening Maria sembari berkata, “Cepet sembuh, cantik.”

Farhan berjalan menuju gedung teknik, ia berniat menunggu Maria keluar dari kelasnya. Membaca pesan dari Maria jika kelasnya masih ada tiga puluh menit, Farhan pun duduk pada sebuah bangku yang berada di lobby gedung.

Farhan menggenggam ponselnya, ia membuka permainan pada ponselnya agara tidak bosan saat menunggu Maria.

Keasikan bermain, Farhan tidak sadar jika dirinya sudah bermain cukup lama. Farhan tersadar ketika ada seseorang yang menepuk pundaknya.

“Kak?” Yang menepuk pundak Farhan ialah Maria.

“Loh? udah selesai?” Tatapan Farhan yang semulanya fokus pada ponsel kini beralih pada Maria.

Maria duduk di samping Farhan lalu mengangguk, “Udah Kak, Kakak sih fokus main hp mulu.”

“Hehehe, iya, sorry, ya?” Farhan memasukan ponselnya ke saku celananya lalu menggenggam tangan Maria.

“Iya, kak, gapapa.” Maria tersenyum ke arah Farhan.

Farhan menatap seluruh inci wajah Maria. Mata, hidung, pipi, bibir, semuanya ia amati baik-baik.

“Kamu belum makan, ya?” tanya Farhan tiba-tiba.

“Iya, belum, ga sempet soalnya.”

“Yaudah, ayo makan dulu.” Farhan menarik tangan Maria lalu mengajaknya ke kantin.

Sesampainya di kantin, Farhan langsung memesan dua porsi ayam goreng dan duduk persis di depan Maria.

“Ini, Mas, Mbak, ayamnya.” Seorang wanita menghampiri mereka dan memberikan pesanan yang Farhan pesan tadi.

Maria tersenyum ke arah wanita tadi, “Makasih, Mbak.”

Wanita tadi pun meninggalkan mereka. Maria mengambil satu piring dari atas nampan dan menaruhnya di hadapan Farhan, lalu ia mengambil makanannya sendiri.

“Ayo makan, Kak.” Farhan hanya mengangguk saja, dan mulai memakan makanannya.

Farhan terlebih dahulu selesai makan, membuatnya menunggu Maria yang masih menikmati makanannya.

Farhan menaruh tangannya di meja, sikunya menempel pada meja, lalu jemarinya saling menggenggam dan menumpu dagunya.

Memperhatikan satu per satu suapan yang masuk pada mulut Maria, memperhatikan mata Maria dengan lekat.

Netra keduanya beradu, membuat Maria kembali melanjutkan makannya yang perlahan membuat pipinya berwarna merah. Hanya hal sederhana, namun membuat Maria salah tingkah.

Maria mengambil tulang ayamnya dan memakannya, rupanya ia salah mengambil, harusnya ia mengambil daging ayam yang berada di sebelah tulang tersebut.

“Cuma dilihatin doang, kok sampe salah tingkah gitu?” Farhan terkekeh melihat Maria.

Pipi Maria semakin merah, ia terburu-buru menghabiskan makanannya. “Uhukk-uhukk.” Maria tersedak, Farhan pun langsung mengarahkan air minum kepada Maria.

“Minum dulu, pelan-pelan aja, aku liatin kamu bukan mau minta, ga akan ada yang mau ngambil.”

Maria menerima gelas dari Farhan, lalu meneguk air di dalamnya, ia berbatin pula, “Duh Kak, bukan masalah mau diminta atau engga, aku malu.”

Rasa panik yang kuat sekarang mempengaruhi pikiran Reza. Ia tak tenang ketika Kiana mengabari kondisinya saat ini.

Dengan sangat buru-buru Reza masuk pada kamar dengan nuansa coklat di dalamnya.

“Jaja? Kenapa? Kok panik gitu mukannya?” Reza masuk pada kamar kedua orang tuanya untuk mencari suatu barang.

“Bun, Jaja pinjem kompresan perut bunda dong. Ana lagi dapet bun, kompresan dia bocor, kalo Jaja beliin dulu takutnya lama.”

“Iya-iya bunda ambilin bentar.” Bunda pun membuka laci kecil di samping ranjang dan mengeluarkan barang yang lumayan besar untuk diberikan ke Reza.

“Ini, udah sana ke Ana dulu, tapi jangan ngebut ya Ja?”

“Iya bun.”

Reza pun mencium tangan bundanya dan pergi menuju rumah Kiana.

Sesampainya di sana, Reza langsung menuju kamar Kiana. Benar saja, kini kondisi Kiana sedang memeluk guling dengan amat sangat erat dan sesekali memukul perutnya.

“Kan gue udah bilang, jangan dipukul.” Reza masuk ke dalam dan menggenggam tangan Kiana agar berhenti memukuli perutnya sendiri.

“Jangan dipukul lagi. Bentar gue isi air anget dulu.” Reza ke dapur untuk mengisi alat kompres yang ia bawa dengan air hangat.

“Sini tiduran yang bener dulu, pala lu taruh di paha gue aja.” Reza mengatur posisi tidur Kiana agar Kiana nyaman.

Reza taruh alat kompres itu di atas perut Kiana. Genggaman yang sangat kuat pada guling pun kian berkurang, Kiana sudah mulai tenang.

Reza menatap dua mata Kiana yang terpejam, dengan alis yang berkerut menahan sakit.

“Kok maju sih Na?” tanya Reza saat Kiana sudah mulai membaik.

“Ga tau.”

“Masih sakit?” Kiana mengangguk lemah menjawab pertanyaan Reza.

“Mau peluk?” Kiana kembali mengangguk.

Kiana mulai bangkit dari tidurnya dan mendudukan dirinya di samping Reza, lalu ia tidurkan kepalanya pada dada Reza.

Reza memeluk perut Kiana dengan tangan kirinya sembari menahan alat kompres terus menempel pada perut Kiana, dan tangan kanan kanannya yang terus mengusap kepala Kiana.

“Tidur aja Na, nanti kalo lo dah tidur, gue pulang.” Kiana hanya mampu untuk mengangguk, sebab kini ia sudah sangat mengantuk.

Kiana menyuruh Reza untuk berhenti di supermarket sebentar untuk belanja bahan masakan yang akan dibuat Kiana.

Belanja kali ini Reza tidak rewel seperti biasanya karena ia sudah sangat membayangkan rasa ayam goreng buatan Kiana yang menjadi favoritnya.

Kiana pun lega karena Reza tak merengek untuk meminta ini itu, jadi belanja kali ini bisa selesai dengan cepat.

Sesampainya di rumah, Kiana langsung menyuruh Reza mengganti seragamnya menggunakan pakaian santai.

Kiana mulai memasak sesuai dengan request dari Reza. Ayam goreng yang kering dengan sambal bawang yang pedas dan asin, serta sayur orak arik buncis.

“Ja, ambil nasi dulu gih, biar dingin dulu sambil nunggu ayamnya,” pinta Kiana pada Reza.

Reza pun mengangguk dan berjalan menuju rice cooker di dekat kulkas, dan mengambil nasi yang lumayan banyak, tidak seperti porsi Reza biasanya.

“Banyak banget? emang habis?” tanya Kiana melihat banyaknya nasi yang diambil oleh Reza.

“Kan nanti bareng lu.” Kiana termenung sebentar mendengar tuturan Reza.

“Gue mau disuapin lu,” lanjut Reza kembali.

Tak terlalu menghiraukan perkataan Reza, Kiana masih fokus pada masakannya. Tak berselang lama pun aroma ayam sudah mulai tercium, membuat perut Reza semakin merasa lapar.

Bunyi kompor yang dimatikan pun terdengar, pertanda bahwa kegiatan masaknya sudah selesai.

Pandangan yang tak beralih ke manapun selalu memperhatikan gerak gerik Kiana sejak tadi.

Kiana membalikan badannya dan menghampiri Reza dengan membawa sebuah piring yang berisi beberapa potong ayam diatasnya, dan tangan sebelahnya yang membawa sebuah mangkok kecil berisi sambal yang diminta Reza.

Yang awalnya dipandang adalah tubuh Kiana kini sudah beralih pada piring yang berisikan ayam.

“Buruan Na,” pinta Reza.

“Iya, ini makan, gue ambil nasi dulu.” Kiana melangkahkan kakinya menuju arah rice cooker untuk mengambil nasi, namun tangannya terlanjur ditahan Reza.

“Suapin.” “Makan berdua.”

“Iya, nanti gue suapin, gue ambil nasi buat gue dulu.”

“Makan sama gue, sekalian aja kenapa sih? kan lo juga jadi ga nyuci piring banyak.” Kiana menyerah, sebanyak apapun ia menjawab perkataan Reza tetap saja ia akan kalah.

Kiana duduk pada kursi yang berada di samping Reza, mengambil satu buah ayam dan satu sendok sambal.

“Pake tangan aja mau? ayam kalo pake sendok ribet soalnya,” tanya Kiana yang hanya dibalas anggukan oleh Reza.

Tangan Kiana mulai mengambil sebagian daging dari ayam yang ada pada nasinya dengan sekumpulan sambal, lalu ia suapkan nasi ayam sambal itu pada mulut Reza.

Tidak Kiana sadari ketika ia menyuapi nasi ke Reza, mulutnya ikut terbuka seperti mengucapkan “Aaaa”.

Reza dengan lahap menerima suapan pada mulutnya dan menikmati masakan Kiana.

Kiana kembali mengambil suapan yang sama seperti tadi, namun kali ini ia suapkan pada dirinya sendiri.

Merasa mulutnya sudah bersih kembali, Reza lalu membuka mulutnya untuk meminta kembali suapan nasi dari Kiana.

Sungguh Reza sekarang seperti anak kecil yang sangat kelaparan.

“Uhuk-uhuk,” Reza tersedak karena terburu-buru.

“pis-pis makanya pelan-pelan aja, Ja, gue juga ga buru-buru kok nyuapinnya. Ga ada yang mau ambil makanan lo juga, Ja. Nih minum dulu.” Kiana memberikan segelas air untuk Reza, yang langsung diteguk Reza.

Bukannya menjawab ucapan Kiana, Reza justru kembali membuka mulutnya meminta makan kembali.

Kiana mengambil kembali nasi dengan ayam lalu ia arahkan ke mulut Reza yang sudah terbuka lebar, namun begitu mendekati mulut Reza, Kiana langsung mengalihkan arah suapan itu pada mulutnya sendiri, lalu tertawa melihat reaksi kecewa Reza.

Kiana terburu-buru memesan ojek online agar bisa segera ke rumah Reza.

Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai di rumah Reza. Sejak Kiana masuk ke dalam perumahan rumah Reza memang semua listrik padam. Sepertinya sedang ada pemadaman listrik berkala.

Kiana langsung masuk ke dalam rumah Reza, kebetulan pintunya tidak terkunci.

“Ja.. Lo dimana, Ja?” teriak Kiana yang mengarahkan senter ponselnya pada seluruh sisi rumah.

“Na.. Gelap Na.. Gue takut,” Reza merintih ketakutan.

“Ja gue denger suara lo, lo dimana?”

“Gue disini Na,” Kiana mencoba untuk terus mengarahkan senter ponselnya ke arah suara Reza dan akhirnya ia menemukan Reza yang sedang duduk di lantai dengan kedua kakinya yang menekuk.

Kiana menghampiri Reza dan langsung mendekap Reza ke dalam pelukannya.

“Tenang oke? Sekarang ada gue, jangan takut ya.” Kiana mengusap rambut Reza dengan pelan, dan kepala Reza yang sudah jatuh di dada Kiana.

“Gelap,” ucap Reza dengan sedikit bergetar.

“Iya gelap, anggep aja lo lagi molor di kelas kaya biasanya, kan gelap tuh.” Reza hanya mengangguk-angguk mendengar ucapan Kiana.

“Pindah ke sofa yuk Ja, disini dingin.” Kiana beranjak untuk berdiri sembari menuntun Reza yang masih ketakutan.

Kiana duduk dan Reza ia tidurkan di pangkuannya.

Tidak lama lampu sudah mulai menyala satu per satu, yang berati listrik sudah tidak padam lagi.

Sekarang Kiana bisa menatap wajah Reza, Reza sedang tidur dengan pulas. Reza pun tak sadar jika listrik sudah menyala.

Kiana menepuk pelan pipi Reza untuk membangunkannya.

“Ja, bangun hey, udah nyala nih.” Reza terbangun mendengar ucapan Kiana.

“Bangun, berat pala lo,” ucap Kiana melihat mata Reza yang sudah terbuka.

“Bentar, udah PW,” jawab Reza.

“Na, lo tidur disini aja, ya?”

“Lah, besok kan sekolah. Gue ga bawa buku pelajaran sama seragam, Ja.”

“Besok sebelum ke sekolah ke rumah lo dulu. Please? gue takut kalo mati lagi,” mohon Reza.

“Hmm fine, gue tidur sini.”

“Sip, ntar milih aja mau di kamar bunda sama ayah atau di kamar tamu, atau ... .”

“Atau?”

“Atau tidur sama gue.” Senyum lebar muncul di bibir Reza dengan mata yang ikut tersenyum.

“Ngawur ya lo.” Satu cubitan mendarat pada perut Reza.

“Aw sakit anjir.”

“Makanya kalo ngomong mikir dulu.”

Motor Reza berhenti di depan rumah dengan nuansa abu-abu. Reza bergegas membuka pagar rumah itu dan memasukan motornya pada halaman rumah. Reza membuka ponselnya, mengecek apakah Kiana sudah membalas pesannya atau belum.

Belum ada balasan, membuat Reza yakin jika Kiana masih ada dalam alam mimpi. Reza mencari kunci rumah Kiana pada kantong jaketnya. Reza mempunyai kunci cadangan dari rumah Kiana karena Kiana sudah sering seperti ini, mau tak mau Reza yang harus membangunkan Kiana secara langsung.

Reza membuka pintu rumah itu dan mulai berjalan pelan, nuansa dalam rumah Kiana sepi, tak ada seorang pun di dalamnya. Dengan penerangan yang redup, Reza berjalan menuju kamar Kiana. Sesampainya di depan pintu kamar Kiana, Reza menggenggam kenop pintunya dan masuk ke dalam kamar Kiana.

Reza mendapati Kiana yang masih pulas tertidur dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhnya. Reza mendekat dan membuka selimut yang menutupi wajah Kiana.

“Kebo, bangun dulu, udah jam setengah tujuh, njir.” Reza menepuk pipi Kiana dan sesekali menggoyangkan tubuh Kiana.

Apakah Kiana bangun? tidak, Kiana masih tetap berada dalam alam mimpinya. Reza melangkahkan kakinya menuju kamar mandi yang berada tak jauh dari kasur Kiana. Reza mengambil gayung dengan berisikan sedikit air di dalamnya.

Reza kembali mendekat pada Kiana. Ia masukan tangannya ke dalam air lalu ia cipratkan air itu tepat di wajah Kiana. Membuat Kiana tersontak membuka kedua matanya dan berteriak, “APA INI?”

“ANJIR, EJA ANJING, LO APA-APAAN SIH!?” Kiana mengomel pada Reza yang membangunkannya dengan cara ini.

“Makanya, kalo dibangunin tu bangun.” Reza kembali menyipratkan air pada wajah Kiana yang terlihat ingin menutup matanya kembali.

“IYA IH! GA USAH LO CIPRATIN LAGI, DINGIN!” Reza hanya tertawa melihat sahabatnya kini emosi.

“Buruan mandi, nanti mampir alfajuli beli roti buat sarapan.” Reza keluar dari kamar Kiana dan menutup pintu kamar Kiana.

Reza kembali berteriak, “JANGAN TIDUR LAGI!”

“IYA, BAWEL.” Kiana berteriak balik dari dalam kamarnya.

Sudah lima belas menit Reza menunggu, sudah lima belas menit pula Reza mendengar banyak kegaduhan dari kamar Kiana.

“Lo ngapain sih? berisik banget.”

“Bawel banget sih, ini gue buru-buru.”

Reza diam dan kembali menunggu, hingga tak lama kemudian Kiana keluar dari kamarnya lalu menghampiri Reza.

“Ayo!” Kiana menarik tangan Reza dan mengajaknya keluar.

“Lo lelet banget sih? udah tau mau telat, masih aja nyantai,” omel Kiana pada Reza.

Reza naik pada motornya, lalu memakai helmnya. Reza mengambil helm lain lalu langsung memakaikannya ke Kiana.

“Naik buruan.”

Kiana naik pada motor Reza, Reza menarik tangan Kiana lalu menaruhnya dalam kantong jaketnya. Membuat Kiana seolah-olah sedang memeluknya.

Perasaan Lia sedang tak karuan, kepalanya pening memikirkan tingkah orang yang ia suka tadi. Jantungnya berdebar kencang, serta perut yang menggelitik.

Sekarang pukul delapan malam, Lia berjalan sendirian dengan senyuman yang tidak luntur sedari tadi di rumah.

Rumah Lia berada di ujung dekat gerbang masuk ke kompleknya, sementara rumah Tiara berada pada ujung dalam kompleknya.

“Stop senyum, ayo jangan senyum,” monolog Lia pada dirinya sendiri.

Hanya memerlukan waktu sekitar sepuluh menit saja, Lia sudah sampai di rumah Tiara.

Lia datang bersamaan dengan Jeri, hingga sempat melakukan kontak mata. Lia dan Jeri bersama-sama memanggil Tiara, dan Tiara menyuruh mereka untuk langsung masuk saja.

Di dalam sudah ada Ekal yang duduk sembari memakan cemilan yang disediakan Tiara.

“Cie barengan,” ledek Tiara pada Jeri dan Lia.

Lia mendekat dan duduk di samping Tiara, lalu Lia cubit pinggang Tiara, “Kan tadi gue bilang jangan kompor.”

“Aw, sakit, anjir.”

Ekal dan Jeri hanya memperhatikan kedua wanita di depannya ini dengan tatapan tanpa arti.

“Awas, Kal, si Lia mau duduk di samping Jeri.” Setelah ucapan itu keluar, Lia langsung mencubit pinggang Tiara lebih keras.

“Lo nyubit mulu dah, sakit tau,” omel Tiara.

“Makanya lo diem, kapan coba gue bilang kaya gitu?”

“Lo lupa? bukannya wak—” ucapan Tiara terhenti karena mulutnya dibekap oleh Lia. Lia menatap tajam ke arah Tiara untuk memperingati serta memberi kode agar menghentikan ucapannya.

“Biarin ngomong aja, Li, gue juga jadi penasaran.” Lia lupa, Lia lupa jika ada Jeri dan Ekal di depannya sekarang.

Lia menarik tangannya dan melepas bekapannya.

“Tangan lo bau.”

“Emang.”

“Ribut mulu, main jenga aja yuk,” ajak Ekal.

Ekal mengambil kotak wadah jenga di dekatnya dan mulai menatanya.

“Urut jarum jam aja, ya? dari gue duluan.” Ekal mengambil giliran pertama bermain, masih aman. Pemain kedua Jeri, ketiga Tiara, dan terakhir Lia.

Entah sudah pada giliran keberapa, namun sekarang adalah giliran Lia. Lia mulai menarik satu buah balok, namun justru membuat yang lainnya bergoyang.

Lia tak yakin, namun akhirnya ia meyakinkan dirinya untuk tetap mengambil balok yang dipilihnya. Memang seharusnya ia tak mengambil balok itu, karena setelah mengambil balok itu, justru seluruh balok yang lain terjatuh.

Tawa dari Ekal, Jeri, dan Tiara terdengar, menertawakan kekalahan Lia. Tidak seperti yang lainnya, Lia justru menggerutu atas kesalahannya memilih balok.

“Ganti-ganti, main yang lain aja.” Lia mendumel sembari membereskan jenga yang tersebar untuk dimasukan ke dalam wadah kembali.

“Yeuu ngambek,” ucap Ekal.

“Kal, mabar aja ayo,” ajak Jeri pada Ekal.

“Gas, lo yang bikin room.” Ekal dan Jeri fokus pada ponselnya.

“Ikut dong, add gue,” ucap Tiara.

“Gue juga,” timpal Lia.

“Yah, Jer, nambah beban kita nih,” bisik Ekal pada Jeri.

“Classic aja, ga usah rank, biar kalo kalah juga ga masalah.”

Keempat anak di sana mulai fokus pada ponsel mereka. Sekarang di game yang mereka mainkan sedang sesi memilih hero yang ingin digunakan.

“Ti, lo pake siapa?” tanya Lia pada Tiara.

“Miya lah, yang gampang.”

“Ah elah lo, Jer, kan gue mau pake balmond,” omel Ekal pada Jeri karena Jeri menggunakan hero yang ingin digunakan Ekal.

“Siapa cepat dia dapat.”

Permainan berlangsung, baru diawal namun banyak perkataan kasar yang sudah terlontarkan karena kekalahan sementara yang didapat.

“Eh, tolongin dong, duh mau habis nyawa gue, tengah dong.” Lia meminta pertolongan pada teman-temannya untuk melawan musuh di area tengah.

“Tunggu, lo mundur dulu, Li, ke tured,” instruksi Jeri.

“Kal, lo mainin punya gue aja, gue capek mati mulu.” Tiara memberikan ponselnya pada Ekal.

“Pekok, mana bisa anjir. Lu kata tangan gue ada empat?”

“Ah elah, AFK aja gue.”

“Jangan lah.”

“Anjir, Lia lo sampahan.” Ekal sedikit emosi karena Lia berlaku curang.

“Lebay, gue dari tadi disampah Lia juga ga masalah,” timpal Jeri.

“Beda, lo kan bulol.”

Entah berapa ronde mereka bermain, hingga tak terasa jika sudah pukul sepuluh. Mereka menghentikan permainannya karena sadar jika besok harus kembali sekolah.

Saat keempatnya sudah berada di halaman rumah Tiara dan ingin berpamitan, tiba-tiba saja hujan deras turun.

“Kok malah hujan sih?” Lia memainkan tangannya pada hujan yang turun.

“Rumahnya Ekal kan deket, lari dikit sampe. Terus lo sama Jeri gimana, Li?”

“Gue bawa payung tadi,” jawab Jeri.

“Gue nunggu reda aja deh,” jawab Lia.

“Nah, Jer, lo anterin Lia aja,” timpal Tiara.

“Gue ga bisa nganter,Li. Lo pake payung gue dulu aja, Li.”

“Lah terus lo gimana?”

“Gue gampang, hujan-hujanan bisa. Besok payungnya gue ambil di rumah lo aja.” Jeri memberikan payungnya pada Lia.

“Nanti lo sakit gimana?”

“Engga akan, yang penting bukan lo yang sakit.” Merona, pipi Lia merona mendengar ucapan Jeri.

“Gue duluan ya, udah disuruh balik.” Jeri berpamitan pada teman-temannya untuk pulang duluan.

“Hati-hati, sampe rumah langsung mandi, Jer, minum yang anget-anget,” ucap Lia yang dibalas jempol oleh Jeri.

Jeri pun berlari di bawah derasnya hujan untuk kembali ke rumahnya. Lia juga berjalan pulang dengan payung Jeri.

Sepanjang perjalanan ia tak henti-hentinya tersenyum, sungguh bahagia dirinya sekarang.

Pikirannya masih terbayang Jeri yang berperilaku seperti tadi. Masih tak menyangka, apakah ini hanya mimpi atau kenyataan?

Perutnya penuh dengan kupu-kupu yang bertebaran, dan pipinya seperti memakai blush on yang sangat tebal.