Gue Gampang

Perasaan Lia sedang tak karuan, kepalanya pening memikirkan tingkah orang yang ia suka tadi. Jantungnya berdebar kencang, serta perut yang menggelitik.

Sekarang pukul delapan malam, Lia berjalan sendirian dengan senyuman yang tidak luntur sedari tadi di rumah.

Rumah Lia berada di ujung dekat gerbang masuk ke kompleknya, sementara rumah Tiara berada pada ujung dalam kompleknya.

“Stop senyum, ayo jangan senyum,” monolog Lia pada dirinya sendiri.

Hanya memerlukan waktu sekitar sepuluh menit saja, Lia sudah sampai di rumah Tiara.

Lia datang bersamaan dengan Jeri, hingga sempat melakukan kontak mata. Lia dan Jeri bersama-sama memanggil Tiara, dan Tiara menyuruh mereka untuk langsung masuk saja.

Di dalam sudah ada Ekal yang duduk sembari memakan cemilan yang disediakan Tiara.

“Cie barengan,” ledek Tiara pada Jeri dan Lia.

Lia mendekat dan duduk di samping Tiara, lalu Lia cubit pinggang Tiara, “Kan tadi gue bilang jangan kompor.”

“Aw, sakit, anjir.”

Ekal dan Jeri hanya memperhatikan kedua wanita di depannya ini dengan tatapan tanpa arti.

“Awas, Kal, si Lia mau duduk di samping Jeri.” Setelah ucapan itu keluar, Lia langsung mencubit pinggang Tiara lebih keras.

“Lo nyubit mulu dah, sakit tau,” omel Tiara.

“Makanya lo diem, kapan coba gue bilang kaya gitu?”

“Lo lupa? bukannya wak—” ucapan Tiara terhenti karena mulutnya dibekap oleh Lia. Lia menatap tajam ke arah Tiara untuk memperingati serta memberi kode agar menghentikan ucapannya.

“Biarin ngomong aja, Li, gue juga jadi penasaran.” Lia lupa, Lia lupa jika ada Jeri dan Ekal di depannya sekarang.

Lia menarik tangannya dan melepas bekapannya.

“Tangan lo bau.”

“Emang.”

“Ribut mulu, main jenga aja yuk,” ajak Ekal.

Ekal mengambil kotak wadah jenga di dekatnya dan mulai menatanya.

“Urut jarum jam aja, ya? dari gue duluan.” Ekal mengambil giliran pertama bermain, masih aman. Pemain kedua Jeri, ketiga Tiara, dan terakhir Lia.

Entah sudah pada giliran keberapa, namun sekarang adalah giliran Lia. Lia mulai menarik satu buah balok, namun justru membuat yang lainnya bergoyang.

Lia tak yakin, namun akhirnya ia meyakinkan dirinya untuk tetap mengambil balok yang dipilihnya. Memang seharusnya ia tak mengambil balok itu, karena setelah mengambil balok itu, justru seluruh balok yang lain terjatuh.

Tawa dari Ekal, Jeri, dan Tiara terdengar, menertawakan kekalahan Lia. Tidak seperti yang lainnya, Lia justru menggerutu atas kesalahannya memilih balok.

“Ganti-ganti, main yang lain aja.” Lia mendumel sembari membereskan jenga yang tersebar untuk dimasukan ke dalam wadah kembali.

“Yeuu ngambek,” ucap Ekal.

“Kal, mabar aja ayo,” ajak Jeri pada Ekal.

“Gas, lo yang bikin room.” Ekal dan Jeri fokus pada ponselnya.

“Ikut dong, add gue,” ucap Tiara.

“Gue juga,” timpal Lia.

“Yah, Jer, nambah beban kita nih,” bisik Ekal pada Jeri.

“Classic aja, ga usah rank, biar kalo kalah juga ga masalah.”

Keempat anak di sana mulai fokus pada ponsel mereka. Sekarang di game yang mereka mainkan sedang sesi memilih hero yang ingin digunakan.

“Ti, lo pake siapa?” tanya Lia pada Tiara.

“Miya lah, yang gampang.”

“Ah elah lo, Jer, kan gue mau pake balmond,” omel Ekal pada Jeri karena Jeri menggunakan hero yang ingin digunakan Ekal.

“Siapa cepat dia dapat.”

Permainan berlangsung, baru diawal namun banyak perkataan kasar yang sudah terlontarkan karena kekalahan sementara yang didapat.

“Eh, tolongin dong, duh mau habis nyawa gue, tengah dong.” Lia meminta pertolongan pada teman-temannya untuk melawan musuh di area tengah.

“Tunggu, lo mundur dulu, Li, ke tured,” instruksi Jeri.

“Kal, lo mainin punya gue aja, gue capek mati mulu.” Tiara memberikan ponselnya pada Ekal.

“Pekok, mana bisa anjir. Lu kata tangan gue ada empat?”

“Ah elah, AFK aja gue.”

“Jangan lah.”

“Anjir, Lia lo sampahan.” Ekal sedikit emosi karena Lia berlaku curang.

“Lebay, gue dari tadi disampah Lia juga ga masalah,” timpal Jeri.

“Beda, lo kan bulol.”

Entah berapa ronde mereka bermain, hingga tak terasa jika sudah pukul sepuluh. Mereka menghentikan permainannya karena sadar jika besok harus kembali sekolah.

Saat keempatnya sudah berada di halaman rumah Tiara dan ingin berpamitan, tiba-tiba saja hujan deras turun.

“Kok malah hujan sih?” Lia memainkan tangannya pada hujan yang turun.

“Rumahnya Ekal kan deket, lari dikit sampe. Terus lo sama Jeri gimana, Li?”

“Gue bawa payung tadi,” jawab Jeri.

“Gue nunggu reda aja deh,” jawab Lia.

“Nah, Jer, lo anterin Lia aja,” timpal Tiara.

“Gue ga bisa nganter,Li. Lo pake payung gue dulu aja, Li.”

“Lah terus lo gimana?”

“Gue gampang, hujan-hujanan bisa. Besok payungnya gue ambil di rumah lo aja.” Jeri memberikan payungnya pada Lia.

“Nanti lo sakit gimana?”

“Engga akan, yang penting bukan lo yang sakit.” Merona, pipi Lia merona mendengar ucapan Jeri.

“Gue duluan ya, udah disuruh balik.” Jeri berpamitan pada teman-temannya untuk pulang duluan.

“Hati-hati, sampe rumah langsung mandi, Jer, minum yang anget-anget,” ucap Lia yang dibalas jempol oleh Jeri.

Jeri pun berlari di bawah derasnya hujan untuk kembali ke rumahnya. Lia juga berjalan pulang dengan payung Jeri.

Sepanjang perjalanan ia tak henti-hentinya tersenyum, sungguh bahagia dirinya sekarang.

Pikirannya masih terbayang Jeri yang berperilaku seperti tadi. Masih tak menyangka, apakah ini hanya mimpi atau kenyataan?

Perutnya penuh dengan kupu-kupu yang bertebaran, dan pipinya seperti memakai blush on yang sangat tebal.