eltta

Belum sempat Farhan balas pesan Maria, Farhan langsung bergegas pergi dan menemui Maria.

Farhan tergesa mengetuk pintu rumah Maria, seperti orang kesetanan.

“Kak, astaga ini udah malem.” Maria terkejut karena ketukan pintu yang lebih cocok dikatakan sebagai gedoran.

Farhan menarik Maria menuju pelukannya, Farhan memeluk Maria dengan sangat erat. “Jangan, Mar, aku ga mau pisah dari kamu, aku mohon.”

Jadi ini alasan Farhan menemui Maria semalam ini. Maria terdiam sebentar, ia tak tahu harus bagaimana.

“Kak, maaf.” Hanya kata maaf yang dapat Maria ucapkan.

Farhan menggeleng, “Engga, jangan minta maaf. Maria, bilang ke aku kalo tadi itu kamu cuma bercanda.”

Maria pun ikut menggeleng, “Engga, Kak. Aku serius, aku ga berhasil dapet lokasi yang cocok untuk om.”

Farhan melepaskan pelukannya, ia mendekat ke tembok rumah Maria dan memukul tembok itu. “Perjanjian bodoh, anjing.”

Maria menarik tangan Farhan agar Farhan berhenti memukuli tembok, agar tangannya tak terluka.

“Kak jangan gini, kasian tangan Kakak, jangan ya, Kak?” Maria mengelus punggung jemari Farhan yang sudah memerah dan ada beberapa luka kecil di sana.

Nafas Farhan mendengus, ia menatap Maria. “Aku ga mau, Mar, aku ga mau putus dari kamu.”

“Aku juga ga mau, Kak. Tapi mau gimana lagi? Aku udah gagal, Kak, maaf.” Maria menunduk dan meneteskan air matanya, tangannya masih setia menggenggam tangan Farhan yang tetap ia usap.

“Besok kita ngomong sama papah, aku ga mau kita pisah karena hal kaya gini aja, Mar.” Farhan kembali menarik Maria dalam pelukannya.

Ting! Ponsel Maria berbunyi, ada sebuah pesan yang masuk. Maria segera melepaskan pelukannya lalu mengambil ponselnya di kantung celananya.

Maria membaca pesan di ponselnya, lalu ia tersenyum lebar, ia hapus air matanya yang tersisa.

Maria mengarahkan layar ponselnya pada Farhan, “Kak lihat, aku masih bisa Kak.”

Farhan mencoba mencermati pesan yang ditunjukan padanya, setelah paham dengan isi pesan tersebut, Farhan langsung kembali mendekap Maria dengan sangat erat, lebih erat dari sebelumnya.

Farhan merasa sangat membutuhkan peluk dari Maria. Entah mengapa rasanya sangat ingin bertemu Maria.

Apalagi setelah mengetahui perjanjian yang dibuat Maria dan papahnya.

Tidak butuh waktu lama Farhan untuk menghampiri Maria, kini Farhan sudah berdiri di depan rumah Maria.

Farhan mengetuk pintu rumah Maria. Begitu Maria membukakan pintu untuk Farhan, Farhan langsung memeluk Maria dengan erat.

“Kak?” Maria tak menyangka jika dirinya akan langsung didekap Farhan.

“Di sini aja bentar, Mar. Kalo di dalem takut Shelly lihat.” Maria mengangguk lalu membalas pelukan Farhan.

Lima menit berlalu, ketika sudah dirasa cukup, Farhan melepaskan dekapannya. Farhan menatap dalam mata Maria, memandangi segala inci wajah Maria.

Maria memalingkan pandangannya, ia tak ingin menatap mata Farhan. Bagi Maria, tatapan Farhan adalah senjata tajam yang bisa membuat Maria terlena.

“Mar, pamit sama Shelly dulu gih. Tadi aku janji sama dia kalo mau beliin roti bakar, tapi sama kamu.” Maria mengangguk dan membalikan badannya lalu masuk ke rumah.

“Pake jaketnya, Mar, dingin.” Farhan sedikit berteriak agar Maria mendengar suaranya.

Setelah Maria berpamitan ke Shelly, dirinya langsung keluar menemui Farhan. Ia juga sudah memakai jaket, sesuai dengan perintah Farhan.

“Jalan kaya biasanya aja, ya?” tanya Farhan yang mulai menggenggam tangan Maria.

“Iya, cuma diujung jalan doang.”

Farhan berjalan di samping kiri Maria, sesekali Farhan menatap Maria dengan tatapan yang selama ini membuat Maria tersipu malu.

Satu motor melewati mereka, membuat tatapan Farhan terhenti menatap Maria.

Lantas Farhan justru menarik tangan Maria untuk bertukar posisi. Tidak ada pembicaraan apapun setelahnya, Farhan sibuk memandangi Maria, dan Maria yang sibuk mengontrol dirinya.

Maria tiba di depan pagar rumah Farhan. Pak Yanto yang mengetahui kedatangan Maria langsung membukakan pagar untuk Maria.

“Makasih, Pak.” Maria tersenyum sembari melangkahkan kakinya melewati Pak Yanto.

Kali ini kakinya sangat yakin untuk melangkah, tidak seperti kemarin. Maria sudah berada di depan pintu besar yang sebenarnya sudah sering ia datangi.

Maria mengetuk pintu tersebut, tidak butuh waktu lama, sudah ada membukan pintu. Pria yang menjadi alasan kedatangan Maria yang membuka pintu.

“Mau ngapain kamu?” tanya pria tersebut.

“Mau jemput Shelly, Om. Sekalian mau memantaskan diri untuk Kak Farhan.” Maria tetap tersenyum walaupun Papa Farhan menatapnya tak suka.

Mereka masih berdiam di sana. “Om, aku boleh masuk?” tanya Maria untuk memecah keheningan.

Papa Farhan tak menjawab apapun, ia hanya melebarkan pintunya dan langsung masuk kembali ke rumah, meninggalkan Maria begitu saja.

Maria masuk ke dalam rumah Farhan mengikuti Papa Farhan. Saat berada di ruang tamu, dirinya disambut hangat oleh Mama Farhan.

“Eh, Maria, ayo duduk dulu.” Maria menjawab dengan gelengan, lalu ia mendekat ke telinga Mama Farhan.

“Mah, aku boleh masak ga? Mau ambil hati Om, hehe.” Maria berbisik dan memberi tahu tujuan kedatangannya.

Mama Farhan mengangguk dan langsung saja menarik tangan Maria untuk ia ajak ke dapur.

Sesampainya di dapur, Maria melihat sekeliling, memastikan jika Papa Farhan tidak ada di sekitarnya.

“Mah, nanti jangan bilang kalo yang masak aku, ya? Bilangnya waktu udah selesai makan aja.” Lagi dan lagi, Mama Farhan hanya mengangguk saja.

Maria lantas memulai kegiatan masak-memasaknya. Bersama dengan Mama Farhan yang memperhatikannya.

Tidak sulit bagi Maria untuk memasak masakan Chinese karena ia juga sudah terbiasa memasak masakan Chinese.

Setelah makanan siap dan sudah ditata di meja makan, Mama Farhan memanggil suaminya, Farhan, serta Shelly.

“Loh, Mar? Kapan datengnya? Kok aku ga lihat?” tanya Farhan.

“Tadi, Kak, ayo makan dulu.”

Maria, Shelly, Farhan, dan kedua orang tua Farhan sudah duduk rapi untuk menyantap masakan yang berada di depan mereka.

Papa Farhan melirik singkat pada Mama Farhan, “Tumben masak ini?”

“Spesial buat kamu, Mas,” jawab Mama Farhan.

Di sela-sela makan, Maria terus memperhatikan Papa Farhan yang sangat lahap memakan masakannya. Maria tersenyum senang karena itu tandanya, Papa Farhan menyukai serta menikmati masakannya.

Bahkan Papa Farhan sampai mengambil nasi lagi karena merasa tak cukup jika hanya makan sekali saja.

“Enak, Mas?” tanya Mama Farhan pada suaminya.

Papa Farhan mengangguk, “Banget, masakannya lebih enak dari biasanya.”

“Yang masak tu Maria loh.” Papa Farhan berhenti melakukan aktifitasnya, lalu menatap Maria.

“Iya, Om, aku yang masak, enak ya?”

“Iya.” Hanya jawaban singkat, namun sudah membuat Maria bahagia.

“Besok aku masakin lagi mau, Om?”

“Ga perlu, makasih tawarannya.” Papa Farhan mungkin bisa bilang seperti itu, namun nyatanya kini masakan Maria habis tak tersisa karena Papa Farhan.

“Om, aku itu udah kerja, Om sendiri tau, kan?” Papa Farhan tetap mengangguk saja.

“Keren ga sih aku?”

“Engga, lihat Indy, dia memiliki pekerjaan lebih tinggi dari kamu.”

Maria tersenyum, “Tapi Indy ga bisa masak makanan seenak punya aku. Impas, kan?”

“Saya tidak semudah itu dirayu, kamu jangan buang-buang waktu hanya untuk mengambil hati saya, percuma.”

“Om, usaha itu tidak akan pernah mengkhianati hasil.”

Perasaan Maria hari ini sangat tidak karuan. Setelah Farhan memberi kabar jika ia akan mengajak Maria untuk menemui papanya, Maria langsung dilanda kekhawatiran.

Seharian ini ia tidak fokus, pikirannya sibuk memikirkan apa yang akan terjadi setelah ini.

Sekarang dirinya sedang sibuk mempersiapkan diri, karena Farhan sudah memberi kabar jika ia akan datang menjemput Maria sebentar lagi.

Berbanding balik dengan Maria, Shelly justru sangat bersemangat untuk datang ke rumah Farhan.

Tak lama, suara mobil Farhan terdengar, Maria langsung saja keluar dari rumahnya bersama Shelly.

Tak mau memakan waktu, Maria dan Shelly langsung saja masuk ke dalam mobil Farhan.

Farhan hanya menyapa singkat Maria dan Shelly. Setelahnya, Farhan lajukan mobilnya menuju rumahnya.

Dalam perjalanan, Farhan menyadari jika wanita di sebelahnya sekarang sedang merasa gugup. Farhan melihat sekilas ke Maria, lalu tangannya menggenggam tangan Maria.

Jempolnya ia gerakan untuk mengelus punggung tangan Maria. “Tenang, ya, semua bakal baik-baik aja.”

Suasana sekarang tak begitu hening, karena Shelly yang sibuk menceritakan tentang sekolah dan teman-temannya.

“Nah, sampai deh.” Farhan menghentikan mobilnya tepat di depan rumahnya.

Shelly yang sudah tak sabar pun langsung keluar dan tanpa aba-aba langsung masuk ke dalam rumah Farhan, menyisakan Maria dan Farhan berdua.

Farhan dan Maria ikut keluar dari mobil. Entah mengapa, kaki Maria sekarang sangat berat untuk melangkah.

“Ayo, Mar.” Farhan menarik tangan Maria, namun Maria tak melangkah, ia tetap setia di tempat. “Kenapa, Mar?”

“Ga tau, Kak, kaya berat aja gitu.”

Farhan beranjak memposisikan dirinya ingin menggendong Maria. “Loh, Kak? Ngapain?” Maria masih tetap setia berdiri.

“Katanya berat, yaudah aku gendong aja.”

Maria langsung saja menarik balik tangan Farhan, “Ga usah, ayo, Kak.”

Sepasang kekasih itu pun langsung masuk ke dalam rumah Farhan. Begitu masuk, mereka sudah dapat melihat Shelly yang sedang diajak bercanda gurau oleh kedua orang tua Farhan.

Genggaman Maria pada Farhan semakin kuat, menandakan dirinya benar-benar takut. Jempol Farhan lagi-lagi bertugas mengelus tangan Maria untuk meyakinkan Maria.

Langkah mereka mendekat ke arah Shelly dan orang tua Farhan. Senyum Farhan terukir, lalu ia berkata pelan pada Shelly, “Shelly, naik ke atas dulu mau ga? Shelly di kamar Kakak dulu, ya?”

Bibir Shelly menekuk ke bawah, namun ia tetap mengangguk. Shelly segera naik ke atas menuruti permintaan Farhan.

Tatapan Papa Farhan terheran, mengapa Farhan menyuruh Shelly untuk naik?

Namun, Papa Farhan menyadari hadirnya Maria. “Eh, Maria, gimana kabarnya? Udah lama ga ikut main ke sini sama Shelly.”

“Baik Om,” jawab Maria.

Papa Farhan hanya mengetahui jika Maria adalah teman Farhan dan Kakak Shelly. Maria memang sudah sering bertemu dengan Papa Farhan, namun dengan status yang berbeda. Dan hari ini ia akan mengakui status kebenarannya.

“Ayo duduk dulu.” Mama Farhan mempersilahkan Maria untuk duduk terlebih dahulu.

Setelah sedikit berbasa-basi, Papa Farhan langsung menanyakan pertanyaan yang membuat suasana kian memanas.

“Katanya mau ngajak pacar kamu, mana?” ucap Papa Farhan pada anaknya.

Farhan merangkul Maria dan berkata, “Ini pacar aku.”

“Maksud kamu?”

“Orang yang selama ini Papah anggap sebagai temen aku itu salah. Maria ini pacar aku.” Farhan dengan percaya diri mengenalkan ulang Maria pada papanya.

“Jadi ini pacar kamu yang kedua orang tuanya tidak jelas?” Papa Farhan mengatakan kalimat itu sembari memberi tatapan tak suka pada Maria.

Sakit, hati Maria sakit mendengarnya, namun ia tidak dapat melakukan apa pun. Farhan sedikit kesal dengan ucapan papanya, namun ia berusaha mengontrol emosinya.

“Papah jangan ngomong gitu lagi. Maria itu anak yang mandiri, harusnya Papah bangga karna aku punya pacar kaya dia.” Farhan masih tetap mengangkat derajat Maria di depan papanya, agar Maria tak lagi direndahkan.

“Mandiri atau tak terurus?” Tak hanya Farhan yang kesal akan perkataan papanya, namun Mama Farhan ikut kesal pada suaminya.

“Om, orang tua aku bukan tidak jelas, mereka udah tenang di surga sana. Aku bukan tak terurus, tapi aku punya tanggung jawab untuk menghidupi Shelly dan diri aku sendiri. Menurut Om mungkin aku ga layak jadi pendamping Kak Farhan, tapi aku berani bilang, kalau cuma aku yang layak jadi pendamping Kak Farhan.” Sungguh di luar dugaan Farhan jika Maria akan berkata seperti itu.

“Kamu ini tidak pernah dididik makanya seperti ini.” Papa Farhan masih tetap menyudutkan Maria.

“Justru karena aku dididik, Om, aku masih bisa menghormati Om. Aku dididik untuk mandiri, ga mengandalkan uang orang tua. Aku dididik untuk menjadi kakak yang baik.” Suara Maria bergetar, membuat Farhan terus memberi usapan pada pundak Maria.

“Tetap saja kamu tidak layak untuk anak saya.”

“Baik, aku bakal buktiin ke Om kalau aku layak. Aku pamit dulu, terima kasih atas hinaannya tadi. Besok aku ke sini lagi ya Om, sampai ketemu besok.” Maria berdiri dan berlari keluar meninggalkan Farhan dan kedua orang tuanya. Maria berlari tanpa arah, tubuhnya bergetar dan air matanya sudah tumpah.

“Kejar, Han. Biar Shelly nanti sama Mamah Papah aja,” ucap Mama Farhan.

Ketakutan melanda aku kala mengingat sebuah memori kecil yang terjadi bertahun-tahun yang lalu. Sebuah kenangan buruk yang tak bisa aku lupakan, dan masih terbayang hingga sekarang.

Bayang-bayang seorang lelaki yang membuatku seperti ini selalu terlintas di otak. Hanya melihat serpihan kecil dari momen itu saja bisa membuatku takut setengah mati.

Ingin bebas dari bayangan itu, ingin berhenti takut akan memori masa lalu.

Banyak yang berkata, “Kamu aneh.” Silahkan saja katakan aku aneh, karena memang aku aneh. Aku aneh karena selalu merasa takut akan hal yang belum tentu akan kembali menimpaku.

Satu kata saja yang keluar dari mulut orang bisa saja membuat memori burukku kembali. Sentuhan kecil seseorang pula dapat mengingatkanku pada kejadian yang paling aku benci.

Beribu cara sudah aku lakukan agar aku bisa melupakan semua hal itu, namun tak ada yang bisa membuatku lupa.

Banyak yang menganggap remeh atas trauma yang aku punya, itu karena mereka tak merasakan apa yang aku rasakan.

Merasakan rasa takut luar biasa saat melihat seseorang yang mirip dengan orang yang menciptakan memori buruk dalam hidupku.

Rasa takut dikala harusnya aku asik bermain. Masa kecilku yang harus direnggut karena rasa takut yang aku punya.

Banyak momen bahagia aku tinggalkan demi menghilangkan rasa takutku. Aku menghindari teman, tempat, suara, atau apapun itu yang dapat membuat traumaku kembali.

Bagaimana aku dapat bebas berbahagia ketika aku masih dihantui rasa trauma yang tinggi?

Langit malam ini dihiasi dengan derasnya air yang turun, membuat suhu udara ikut kian menurun.

Terdapat gadis cantik yang tengah meringkuk di balik selimutnya dengan mata yang terus mengeluarkan air.

Kini dirinya sedang letih karena dipaksa dewasa oleh keadaan. Semesta beserta isinya sedang memaksanya berdiri sendiri tanpa pegangan apapun.

Tangisnya sekarang sama dengan derasnya hujan di luar, bahkan mungkin lebih deras. Yang membedakan ialah, jika di luar sana hujan diiringi dengan suara petir, namun ia menangis tanpa suara apapun.

Sudah banyak kata yang ia ucapkan untuk merutuki hidupnya yang jauh dari kata bahagia. Semua terasa jahat baginya, ia merasa semesta tak menyayanginya.

Bantalnya sudah basah karena air yang terus turun dari netranya. Mulutnya ia bekam dengan selimut agar isakannya tak terdengar oleh siapapun.

Gelap sedang menyelimutinya, gelap satu-satunya teman yang ia punya.

Dadanya sesak, sangat sesak. Kepalanya terasa berat dan pening. Hidungnya mulai kehilangan fungsinya yang membuat ia membuka bekapan mulutnya untuk menarik oksigen.

Tangannya memeluk dirinya sendiri, berharap ada kehangatan yang dapat ia rasakan. “Tenang, tenang, tenang, jangan nangis. Semua akan baik-baik aja kok.” Ia bermonolog untuk menenangkan dirinya sendiri.

Tapi tak berselang lama, dirinya justru memukuli dada serta kepalanya. “Dasar cengeng! Lebay! Gitu aja nangis.” Bukan kalimat penenang lagi, semua berganti dengan kalimat yang menyudutkan dirinya sendiri.

Dinding kamar yang dingin, lampu kamar yang padam, selimut yang sedang berusaha memberi kehangatan, bantal yang sekarang menjadi penampung air matanya, serta derasnya hujan di luar menjadi saksi betapa hancurnya gadis cantik ini.

Sepertinya kini ia membutuhkan orang untuk mendengar ceritanya, ia tak punya siapa-siapa selain dirinya sendiri untuk berbagi cerita.

Ia sekarang hanya berharap ada yang mendekapnya, ia hanya butuh pelukan. Ia tak mampu melakukan apapun selain menikmati alur yang sudah tersedia.

Menyerah? Tentu saja niat itu sudah sering terlintas di benaknya. Namun ia tidak ingin menyerah, masih ada banyak hal yang ingin ia raih. Ia juga ingin membuktikan pada semesta jika dirinya ini berhasil bertahan sejauh itu, dan tetap menjadi sosok kuat.

Letih menangis, kini ia sudah terlelap dalam tidurnya. Ia terlelap dengan mata yang masih menyisakan air, dada yang sesak, dan isakan kecil yang terdengar.

Semoga malam ini dan seterusnya ia bisa mendapatkan mimpi indah, setidaknya ia masih punya alasan tersenyum dikala dunianya sedang diuji.

Tuhan, tolong tetap setia menemani serta mendengar cerita gadis ini. Ringankan bebannya yang dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya.

Gadis cantik, bertahanlah, memang proses mejadi dewasa sangat menyakitkan, terlebih kau dipaksa untuk dewasa sebelum waktunya. Ayo buktikan pada semesta jika kau adalah gadis yang kuat.

Farhan sampai di depan rumah Maria, ia melihat maria yang duduk di teras rumahnya bersama Shelly.

Maria sedang menunggu sesuatu, berharap datangnya seseorang.

“Mar? Ngapain?” tanya Farhan yang menghampiri Maria.

“Kan aku tadi bilang kalo lagi nunggu mamang cilor,” jawab Maria yang mendongak menatap Farhan.

Farhan terkekeh dan mengusap kepala Maria yang berada di bawahnya, karena sekarang posisi Maria sedang berjongkok.

Tidak lama, terdengar suara terompet dan teriakan seorang mamang penjual cilor.

Mendengar itu, Maria langsung bergerak berdiri dan melihat arah dari suara itu. Benar, itulah suara dari orang yang ia tunggu.

Maria menggerakan tangannya dan memanggil mamang cilor untuk berhenti.

Eh, si Eneng geulis,” sapa mamang dengan logat khas Sundanya.

“Mang, cilornya 5.000-an tiga, ya. Satu bumbunya pedes sama barbeque, satu asin aja. Kakak mau pake bumbu apa?” Maria beralih menatap Farhan.

“Samain aja kaya kamu.”

Maria mengangguk, “Berati, 2 bumbunya pedes sama barbeque, 1 nya asin.”

Siap atuh, si Eneng makin geulis aja, rahasianya teh naon, Neng?” ucap sang mamang sembari membuatkan pesanan Maria.

Maria terkekeh malu mendengar ucapan mamang tadi, sementara Farhan justru menatap tak suka.

Farhan mengeluarkan ponselnya lalu memberikannya pada Maria, “Tolong cash-in, mar, batrenya habis.”

Maria menerima ponsel Farhan lalu masuk ke dalam rumah, Maria mencari charger ponselnya untuk mengisikan daya ponsel Farhan.

Setelah menemukan chargernya, Maria langsung memasukan kabel chargernya pada ponsel Farhan.

Sebelum Maria kembali pergi, ia terlebih dahulu melihat notifikasi dari ponsel Farhan yang membuat ia terheran.

Langit malam hari ini dihiasi dengan derasnya air yang turun, membuat suhu udara ikut kian menurun.

Ada gadis cantik yang tengah meringkuk dibalik selimutnya dengan mata yang terus mengeluarkan air.

Kini dirinya sedang letih karena dipaksa dewasa oleh keadaan. Semesta beserta isinya sedang memaksanya berdiri sendiri tanpa pegangan apapun.

Tangisnya sekarang sama derasnya dengan derasnya hujan di luar, bahkan mungkin lebih deras. Yang membedakan ialah, jika di luar sana hujan diiringi dengan suara petir, namun ia menangis tanpa suara apapun.

Sudah banyak kata yang ia ucapkan untuk merutuki hidupnya yang jauh dari kata bahagia. Semua terasa jahat baginya, ia merasa semesta tak menyayanginya.

Bantalnya sudah basah karena air mata yang terus turun dari matanya. Mulutnya ia bekam dengan selimut agar isakannya tak terdengar oleh siapapun.

Gelap sedang menyelimutinya, gelap satu-satunya teman yang ia punya.

Dadanya sesak, sangat sesak. Kepalanya terasa berat dan sangat pening. Hidungnya mulai kehilangan fungsinya yang membuat ia membuka bekapan mulutnya untuk menarik oksigen.

Tangannya memeluk dirinya sendiri, berharap ada kehangatan yang dapat ia rasakan. “Tenang, tenang, tenang, jangan nangis. Semua akan baik-baik aja kok.” Ia bermonolog untuk menenangkan dirinya sendiri.

Tapi tak berselang lama, dirinya justru memukuli dada serta kepalanya. “Dasar cengeng! Lebay! Gitu aja nangis.” Bukan kalimat penenang lagi, semua berganti dengan kalimat yang menyudutkan dirinya sendiri.

Dinding kamar yang dingin, lampu kamar yang sengaja dimatikan, selimut yang sedang berusaha memberi kehangatan, bantal yang sekarang menjadi penampung air matanya, serta derasnya hujan di luar menjadi saksi betapa hancurnya gadis cantik ini.

Sepertinya kini ia membutuhkan orang untuk mendengar ceritanya, ia tak punya siapa-siapa selain dirinya sendiri untuk berbagi cerita.

Ia sekarang hanya berharap ada yang mendekapnya, ia hanya butuh pelukan. Ia tak mampu melakukan apapun selain menikmati alur yang sudah tersedia.

Menyerah? Tentu saja niat itu sudah sering terlintas di pikirannya. Namun ia tidak ingin menyerah, masih ada banyak hal yang ingin ia raih. Ia juga ingin membuktikan pada semesta jika dirinya ini berhasil bertahan sejauh itu, dan tetap menjadi sosok kuat.

Letih menangis, kini ia sudah terlelap dalam tidurnya. Ia terlelap dengan mata yang masih menyisakan air, dada yang sesak, dan isakan kecil yang terdengar.

Semoga malam ini dan seterusnya ia bisa mendapatkan mimpi indah, setidaknya ia masih punya alasan tersenyum dikala dunianya sedang diuji.

Tuhan, tolong tetap setia menemani serta mendengar cerita gadis ini. Ringankan bebannya yang dipaksa menjadi dewasa sebelum waktunya.

Gadis cantik, bertahanlah, memang proses mejadi dewasa sangat menyakitkan, terlebih kau dipaksa untuk dewasa sebelum waktunya. Ayo buktikan pada semesta jika kau adalah gadis yang kuat.

“Mah, aku tinggal ke dalem dulu, ya. Kak Farhan ngambek nih.” Maria bangkit dari duduknya.

“Iya, Mar. Shelly suruh keluar dulu aja, biar main sama Mamah.” Maria membalas ucapan Mamah Farhan dengan acungan jempol.

Maria mak ke kamarnya dan melihat Farhan yang bermain bersama dengan Shelly namun tetap cemberut.

Maria mendekat dan berbisik ke Shelly, “Shelly keluar dulu gih, Kakak mau ngobrol bentar sama Kak Farhan.” Shelly mengangguk dan segera keluar dari kamar.

Farhan mengalihkan pandangannya ke arah lain agar tak melihat Maria, tangannya ditekuk di depan dada.

Maria mendekati Farhan, duduk di sampingnya. “Kak?”

Farhan tak merespon, ia masih kesal dengan jawaban Maria tadi saat mengobrol bersama mamahnya. Farhan tau dirinya ini kekanak-kanakan namun pikirnya tak apa jika hanya sesekali saja.

“Kak Farhan,' panggil Maria lagi.

“Hm.” Farhan hanya membalas dengan deheman saja.

Maria gemas dengan tingkah Farhan, maka ia mencubit pelan hidung Farhan. “Kalo ditanya itu dijawab, Kak.”

Farhan menepis tangan Maria, “Apa sih?”

“Aku tadi bercanda, Kak. Aku ga terpaksa sama kamu, Kak.”

Mendengar hal itu, Farhan langsung menatap Maria, “Serius?”

Maria mengangguk, “Iya.”

“Terus emang alasan kamu neria aku apa, Mar?”

“Kenapa, ya? Aku juga ga tau, Kak. Mungkin karna itu orangnya kamu, Kak. Ga ada alasan lain lagi, kalo bukan kamu, aku ga bakal terima orang itu. “

“Masa?” Farhan tak percaya akan jawaban dari Maria.

“Iya, Kak.”

“Alasan kamu terlalu pasaran, Mar, coba sebutin alasan lain selain itu.”

“Kamu itu orangnya baik, Kak, kamu sayang aku sama Shelly. Kamu bisa nerima kekurangan aku, kamu ga malu punya cewek kaya aku.” Sasana mendadak menjadi serius, yang biasanya diisi canda tawa, kini justru tak ada tawa satupun.

“kenapa aku harus malu? Aku justru bangga punya cewek kaya kamu, Mar. Ga semua orang sekuat kamu, mungkin kalau aku yang ada di posisi kamu, aku ga bakal kuat, Mar, tapi kamu kuat banget bisa bertahan sejauh ini. Setip orang pasti punya kekurangan, Mar. Aku juga pastinya punya kekurangan, cuman tergantung kita aja, kita bisa menutupi kekurangan itu atau engga.”

farhan menarik nafasnya, “Aku ngerasa jadi laki-laki paling beruntung karena bisa milikin kamu. Aku laki-laki paling beruntung karena bisa dicintai sama kamu.”

“Kak udah ah, ga mau mellow-mellow gini, ga cocok, Kak.”

Farhan mengetuk pintu kamar Maria, yang mendapat sahutan dari dalam kamar, “Masuk aja, Kak.”

Farhan pun lalu membuka pintu kamar Maria, ia bisa langsung bisa melihat Maria yang duduk di kasur sembari tangannya mengocok kartu.

Farhan menggeleng pelan melihat kekasihnya, ia masih tak habis fikir jika Maria bisa seceria ini walau masih sakit.

Farhan mendekatkan dirinya ke Maria, ia duduk di hadapan Maria.

“Udah siap kalah, Mar?” canda Farhan pada Maria.

Maria memasang mimik wajah cemberut, “Ih, apaan sih? Emang Kakak bisa menang?”

“Jelas bisa dong.” Alis Farhan terangkat sombong.

Maria membagikan kartunya, di hati Maria sudah berniat untuk mengalahkan Farhan.

Setelah selesai dibagi, Maria dan Farhan mengambil masing-masing kartu milik mereka. Mereka segera menyusun tiga belas kartu yang mereka genggam.

Ditengah-tengah waktu menyusun, Maria menyunggihkan senyumnya, sepertinya ia yakin akan memenangkan permainan kali ini.

Karena sudah sangat yakin dengan hasilnya, Maria selesai menyusun dengan cepat. Kartunya sudah berada di bawah, ia sudah selesai menyusun dan sekarang hanya menunggu Farhan.

Farhan pun menyelesaikan susunan kartunya, ia menaruh kartu miliknya di samping kartu milik Maria.

“Atas aku one pair loh.” Maria melihat kartunya dan beralih melihat kartu milih Farhan.

“Hahahahah, Kakak ga jadi apa-apa.” Maria tertawa karena 1 point kekalahan untuk Farhan.

“Baru menang satu doang,” ucap Farhan.

“Tengah aku two pair.” Maria berbicara dengan nada sombong, Maria pikir ia akan menang kembali.

“Lihat dulu dong punyaku.” Maria menatap kartu milik Farhan, lalu Maria menyunggingkan senyum yang tidak memiliki arti yang jelas.

“Oh, hehehe.”

“Full house di tengah berapa pointnya, Maria?” Farhan berucap dengan sombong, ia menunjukan senyum lebarnya pada Maria.

“Iya-iya, tiga pointnya. Tapi lihat punya aku yang paling bawah dong.” Farhan pun menatap kartu milik Maria.

“Hahahahahaha, four of kind ternyata. Iya deh iya, kamu menang.”

“Kakak cuma full house doang, hahahaha. Oh iya, four of kind berapa pointnya, Kak?” Maria membalik ucapan Farhan sebelumnya.

“Lima,” jawab Farhan singkat lalu mengocok seluruh kartu atas kekalahannya.

Tawa keduanya saat bermain menghiasi malam yang indah ini. Mereka asik bermain entah sampai kapan. Mereka berhenti bermain ketika sudah merasa ngantuk.