eltta

Daffa turun dari motornya sembari menenteng kantong plastik berisi tahu bulat yang sudah ia beli di depan gang sebelum ke rumah Salma.

Daffa mengetuk pintu rumah Salma. “Langsung masuk aja,” teriak Salma dari dalam.

“Nih pesenan lo.” Daffa menaruh kantong plastik yang ia bawa ke meja yang berada di ruang tengah.

Salma yang semulanya berposisi tengkurap pun langsung bangkit dan membuka kantong plastik di meja. “Wih, tahu bulat.” Salma bersumringah melihat tahu bulat di dalam kanton plastik itu.

Salma menoleh pada Daffa yang beranjak duduk di sebelahnya. “Lo ngga bawa laptop?” tanya Salma menyadari Daffa tidak membawa laptop.

Daffa menggeleng. “Engga, cek lewat hp aja gue.”

Daffa seperti sangat santai menghadapi pengumuman hasil SNMPTN. Tidak seperti Salma, Salma justru tidak tenang sama sekali, dirinya bahkan menyiapkan segala sesuatu agar lancar saat melihat hasilnya nanti.

Salma menikmati tahu bulat yang dibawakan Daffa, sementara Daffa hanya menatap Salma yang sangat lahap menyantap tahu bulat. Sepertinya Daffa sudah kenyang hanya dengan memandang Salma.

Salma merasa diperhatikan, karena lumayan risih, akhirnya ia menoleh ke Daffa. “Kenapa ngeliatin? Mau?” Salma menyodorkan satu buah tahu bulat ke Daffa.

“Engga, lo habisin aja.”

Tiga puluh menit mereka menunggu portal link untuk melihat hasil SNMPTN terbuka, akhirnya sekarang portal link-nya sudah bisa diakses.

“Siap?” tanya Daffa sebelum ia dan Salma sama-sama memencet tombol submit.

Salma mengangguk dengan sedikit ragu. “Satu, dua, tiga.” Daffa menghitung dan di hitungan ketiga, mereka sama-sama memencet tombol submit.

Tertampil warna biru pada layar ponsel dan laptop mereka. Yang tandanya mereka telah berhasil lolos untuk masuk ke universitas yang mereka inginkan.

“Biru, Daff, biru, ngga nyangka gue.” Air mata kebahagiaan jatuh dari mata Salma, dirinya tak menyangka jika hasil yang didapat adalah lolos.

“Gue juga, Sal. We did well,” ucap Daffa dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.

“Aaa gue seneng banget.” Salma dengan reflek memeluk Daffa yang berada di sebelahnya. Daffa dengan senang hati menerima pelukan Salma dan membalasnya.

“Oh iya, ada yang mau gue omongin ke lo.” Daffa mulai meregangkan pelukannya.

Daffa melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundak Salma. “Kita sama-sama udah besar, gue rasa, gue udah berani untuk ngajak seseorang untuk berkomitmen. Gue udah nyimpen rasa ini lama banget, ngga pernah gue ungkapin karena gue pikir itu masih cinta monyet.”

Tangan Daffa turun menggenggam tangan Salma. “Tapi sekarang gue yakin, kalo rasa itu bukan sekedar cinta monyet. Gue mau ngajak lo untuk lebih dari sahabat, will you be mine?”

Senyum Salma pudar, ia terdiam mencerna setiap kata yang Daffa ucapkan. Jemari Salma menggenggam balik tangan Daffa. “Lo belum lihat ya, gue bakal masuk univ mana?” Daffa menggeleng menjawab pertanyaan Salma.

“Lihat.” Salma menunjukan layar laptopnya. “Gue keterima di UGM, yang berati gue bakal pindah ke Jogja.”

“Jadi?” Daffa terbingung dengan maksud Salma memberi tahu jika ia terterima di UGM. Terus apa masalahnya? Pikir Daffa.

“Gue ngga bisa LDR, Daff. Lo mau nunggu gue sampe selesai kuliah ngga?” pinta Salma.

Daffa cukup lama terdiam, memikirkan apa yang harus ia jawab. Pada akhirnya Daffa menjawab, “Gue bakal tunggu lo sampai kapanpun itu.”

“Gelap banget kamar lu,” ucap Salma saat memasuki kamar Daffa.

Daffa yang sedang duduk di tepi kasurnya sembari mengemil pun menoleh ke Salma. “Hemat listrik.”

Salma berjalan menuju jendela di kamar itu. “Setidaknya, jendelanya dibuka.” Salma mendorong jendela itu agar terbuka.

Salma mendudukan dirinya di samping jendela, karena ada makanan di sekitarnya. Salma tanpa basa basi langsung saja mengambil makanan di depannya, lalu ia makan.

“Tumben nggak dibikin bubur?” tanya Daffa yang melihat Salma langsung memakan biskuit tanpa perlu dijadikan bubur seperti biasanya.

“Nanti, ini kan masih banyak.”

Salma asik memakan biskuitnya sembari menatap pemandangan di luar jendela, melihat matahari yang akan segera tenggelam.

“Lu bosen ngga sih kalo gue bahas ibu terus?” Salma menoleh pada Daffa, menghabiskan biskuitnya dan berucap, “Engga, ngga bosen gue.”

“Gue udah sepenuhnya ikhlasin ibu, cuma masih sering nangis aja kalo keinget ibu.” Daffa terkekeh pelan, tetapi matanya mulai berkaca-kaca, siap untuk meluruhkannya.

Salma menepuk sisi kosong sebelahnya. “Sini-sini, cerita di sini aja, sambil makan.”

Daffa turun dari ranjangnya dan duduk di sebelah Salma. Daffa ikut menatap indahnya pemandangan di luar kamarnya.

“Ayah jadi jarang di rumah Sal, dia sekarang lebih sibuk sama kerjaannya. Semalem gue mimpiin ibu, ibu nyuruh gue buat bilang ke ayah untuk jangan capek-capek.” Daffa menghela napasnya sebentar, lalu kembali melanjutkan ucapannya, “Tapi gimana caranya gue bilang ke ayah, gue bangun aja ayah udah berangkat. Gue chat ngga pernah dibales, jangankan dibales, dibaca aja engga.”

“Gue bingung deh sama ayah, dia sengaja nyibukin dirinya sendiri atau bener-bener sibuk?” Daffa menyandarkan punggungnya pada ranjangnya.

“Atau malah ayah ngga sedih, ya?” lanjut Daffa.

“Ngga ada orang yang ngga sedih waktu ditinggal belahan jiwanya. Lo aja tau sebucin apa ayah ke ibu, ngga mungkin lah ayah ngga sedih. Jangan mikir macem-macem lo, ayah mungkin emang ngelampiasin sedihnya buat kerjaan.”

Daffa terdiam, memikirkan apa alasan ayahnya sekarang menjadi gila kerja. Mungkin benar ucapan Salma, jika ayahnya sedang menjadikan pekerjaan sebagai pelampiasan rasa sedih.

“Rumah sepi ngga ada ibu.” Daffa teringat kondisi rumah yang berbanding terbalik keadaannya.

Dulu rumah terasa ramai dengan suara alat masak ibu, omelan ibu, senandung ibu, semuanya tentang ibu. Namun, kini tak ada lagi ibu, tak ada lagi suara yang diciptakan ibu.

Ibu adalah orang yang paling Daffa sayangi melebihi apapun. Daffa bisa mengadu besarnya rasa sayangnya kepada ibu dengan besarnya bumi, Daffa yakin, yang lebih besar ialah rasa sayangnya ke ibu.

Selama ini lah ibu yang menjadi teman Daffa selain Salma. Daffa anak yang kurang bisa bersosial, ibu paham, oleh karena itu, ibu berusaha untuk selalu berada bersama Daffa. Itulah mengapa, saat ibu pergi, Daffa merasa tak punya siapa-siapa lagi.

Daffa teringat sebuah momen dulu saat ia tidak bisa tertidur. Daffa mendapati ibu yang sedang membuatkan teh untuk ayahnya yang baru saja pulang bekerja.

Ibu bertanya mengapa Daffa belum tidur, dan Daffa pun mengatakan alasannya belum tidur. Tak lama, ibu masuk ke kamar Daffa dengan membawa segelas susu hangat.

Ibu duduk di sisi ranjang dan menyuruh Daffa meminum susu yang sudah dibuatnya. Dengan senang hati Daffa meminum susu buatan ibunya.

Ibu mengarahkan kepala Daffa untuk tidur di atas pangkuannya. Ibu tak berbicara apapun, tetapi tangannya yang bekerja. Usapan tangan ibu di kepala Daffa sudah seperti lantunan lagu nina bobo.

Tidak lama, Daffa merasakan kantuk luar biasa. Ibu pun berkata, “Tidur yang nyenyak ya, besok Ibu buatin nasi goreng buat sarapan.” Setelah itu Daffa terlelap dalam tidurnya.

Air mata Daffa terjatuh mengingat momen itu. Salma paham dengan situasi ini, Salma mendekat ke Daffa, lalu ia rengkuh badan besar milik Daffa.

“Lo berjuang hebat buat menaklukan hari-hari lo yang ngga mudah.” Tak sadar jika Salma ikut menangis, dirinya pula merasakan deja vu saat dirinya kehilangan kedua orang tuanya sekaligus. Salma paham betul apa yang dirasakan Daffa.

“Lo masih mau nemenin gue walau gue cengeng kaya gini?” tanya Daffa di sela tangisnya.

“Gue bakal temenin lo terus, sampai kapanpun itu. Sampe lo nikah mungkin? Pokoknya sampe lo bahagia.”

Salma menepuk punggung Daffa sekali, untuk menyudahi kegiatan berpelukan mereka. “Udahan nangisnya. Lo inget ngga sih, waktu dulu kita pergi kemah? Yang kita ngerjain anak-anak yang lain pas jurit malam.” Salma mulai mengalihkan topik pembicaraan, agar suasana tidak terus-terusan sedih.

“Inget lah, sumpah sih ngakak banget.” Daffa dan Salma asik mengingat masa-masa mereka saat berkemah dengan teman-temannya.

Mereka terkenal sebagai anak usil. Dulu, mereka memasang suara tawa kuntilanak saat melakukan jurit malam. Alhasil mereka membuat teman-temannya berlarian berhamburan ketakutan.

Namun, hanya merekalah yang sangat puas tertawa. “Tapi, sialnya kita malah dilihatin mbak kunti beneran.” Karma, Daffa dan Salma justru benar-benar melihat sosok itu di belakang mereka.

“Hahaha, beneran apes banget dulu. Jadi kangen kemah deh, sayang banget kelas akhir ngga ada kemah lagi.” Daffa ingin kembali berkemah, tetapi fakta ia sudah berada di kelas akhir membuatnya menguburkan keinginannya.

Keduanya teramat asik saling tertawa mengingat memori-memori lucu saat dulu. Salma senang bisa menjadi tempat bercerita Daffa dalam kondisi apapun, dalam tangis maupun tawa.

Salma memencet bel rumah Daffa, yang tak lama pintu rumah terbuka, menampilkan Daffa dengan keadaan kacau. Matanya sembab dan mulai membengkak, matanya kosong, dan tubuhnya berdiri tanpa ada tenaga sedikitpun.

“Lo baik, kan?” Belum sempat Daffa jawab, Salma kembali melanjutkan ucapannya, “Pertanyaan bodoh, jelas-jelas kondisi lo ngga baik-baik aja.”

“Udah ayo sini makan dulu.” Salma mengajak Daffa menuju meja makan. Salma menyusun makanan yang sudah ia bawa di meja makan.

Daffa hanya duduk terdiam memperhatikan Salma, sesekali Daffa tersenyum atas kecerobohan Salma saat memindahkan masakannya.

“Nggak usah senyum-senyum lo, ngga lucu.” Salma menatap Daffa dengan sinis.

Hal itu justru membuat Daffa semakin tersenyum lebar bahkan sedikit tertawa. “Makanya jangan ceroboh jadi orang.”

“Ya mana gue tau kalo bakal tumpah?” Salma masih sibuk membersihkan kuah soto yang baru saja ia tumpahkan, tak banyak, tetapi cukup membuat kotor.

Di balik muka sinisnya, Salma justru senang karena bisa kembali melihat senyum dan sedikit tawa milik Daffa.

Salma mengambil dua mangkok dan ia isi dengan nasi. Salma berikan satu mangkok berisi nasi ke Daffa. Salma tuangkan kuah soto pada mangkoknya dan mangkok Daffa.

“Lauknya ambil sendiri,” pinta Salma.

Salma duduk di depan Daffa dan bersiap menyantap makanannya. “Selamat makan!” ucap Salma bersemangat.

Daffa hanya mengangguk dan mulai menyuapkan satu suapan pada mulutnya. Ia rasakan perlahan masakan milik Salma. Bibirnya tertarik ke atas bersamaan dengan air mata yang jatuh dari matanya.

Rasanya mirip dengan masakan sosok yang sedang ia rindukan. Daffa senang rindunya akan masakan ibunya terbayarkan, tetapi ia tetap merasakan rindu yang semakin mendalam pada ibunya.

“Kok nangis?” Salma terkejut karena melihat Daffa yang menangis. “Nggak enak ya? Kalo iya, nggak usah dimakan,” lanjutnya.

Daffa menggeleng. “Enggak, ini enak. Gue keinget ibu, rasanya mirip kaya yang ibu masak.”

Salma menghela napasnya lega, ternyata bukan karena masakannya tak enak, tetapi karena masakannya mirip dengan masakan Ibu Daffa. “Kan emang pake resep ibu.”

“Udahan nangisnya, nanti sotonya makin asin. Tuh lihat air mata lo jatuh ke kuahnya, hapus dulu, jelek.” Daffa mengusapkan tangannya pada pipinya, membasuh air matanya.

“Besok masuk sekolah, kan?” tanya Daffa mengingat jika dirinya sudah hampir tiga hari tidak masuk sekolah.

“Iya, tapi kalo lo mau libur lagi, ya gapapa. Libur dulu aja, nanti tinggal nyalin catetan gue.”

“Besok gue masuk.” Salma membulatkan matanya menatap Daffa. “Serius?” tanya Salma memastikan.

“Serius, gue nggak mau terlalu larut dalam kesedihan. Kasihan ibu, tadi gue baca di internet, kalo semisal kita belum merelakan orang yang udah nggak ada, orang itu justru sakit di atas sana. Gue nggak mau ibu sakit, jadi gue bakal perlahan belajar buat ikhlasin ibu.” Suara Daffa bergetar mengucapkan itu, belum sepenuhnya siap, tetapi dia harus siap.

“Ibu pasti seneng lihat lo mulai mau ikhlasin dia, pelan-pelan aja, ngga usah buru-buru.”

Daffa menghentikan kegiatan makannya. “Tapi, gue belum jadi anak berbakti selama ibu hidup.”

Ucapan Daffa membuat Salma ikut mengehentikan kegiatan makannya. “Engga, ibu pernah bilang ke gue, lo itu baik, lo penurut, lo berbakti sama ibu. Ibu bangga punya anak kaya lo, Daff. Jangan mikir gitu lagi, sekarang pun lo masih bisa berbakti ke ibu, cukup dengan lo kirim doa ke ibu.”

“Lo pasti cuma nyenengin gue aja, kan?” Daffa terkekeh pelan. “Tapi makasih, bohong lo udah bikin gue seneng dikit.”

“Gue nggak bohong, Daff.”

Daffa melanjutkan kegiatan makannya. “Iya-iya, percaya. Lanjutin makannya, nanti pulangnya gue anter.”

Tangan Salma menggenggam tangan Daffa, mereka berdiri di depan ruangan yang baru saja dimasuki dokter dan beberapa perawat.

“Tenang, please tenang ya Daff.” Tangan Salma tak henti-hentinya memberi usapan untuk menenangkan Daffa yang sangat panik.

Bagaimana tak panik, sekarang kondisi ibunya turun drastis. Entah apa yang sedang terjadi dengan ibunya di dalam, ia tak diperbolehkan masuk oleh dokter. Hanya merapalkan doa yang dapat ia lakukan.

Salma dengan pelan mengajak Daffa untuk duduk di bangku, karena mereka menghalangi jalan untuk orang lain. Sekarang justru tangan Daffa yang menggenggam tangan Salma dengan sangat erat.

Salma merasakan sedikit sakit pada tangannya, tetapi tak apa, ia tau rasa sakitnya tak sebanding dengan sakit yang dirasakan Daffa.

Salma dan Daffa setia pada duduknya sampai dengan dokter berkata pada Ayah Daffa tentang kabar Ibu Daffa. “Saya selaku dokter yang menangani istri Bapak mewakili seluruh perawat mengucapkan maaf. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Tuhan berkehendak lain, istri bapak meninggal hari ini pada pukul 10.04. Semoga Bapak beserta keluarga diberikan ketabahan.”

Betapa terkejutnya Daffa mendengar penuturan dokter kepada ayahnya. Setetes air jatuh dari matanya begitu saja, sudah tidak dapat lagi Daffa tahan.

Daffa berharap ini hanyalah mimpi belaka, tetapi inilah kenyataannya, ibunya telah tiada. Daffa meraung di depan jasad ibunya, meminta agar ibunya kembali bangun lagi. Namun, sia-sia saja Daffa melakukan hal itu, ibunya tak akan pernah kembali bangun.

Selama proses pemakaman Ibu Daffa, Daffa tak henti-hentinya menangis. Siapa yang tak hancur ketika kehilangan seseorang yang telah melahirkannya ke dunia ini? Tentu saja Daffa sangat merasa hancur serta sangat terpukul.

Ayah Daffa sibuk mengurusi pemakaman istrinya, sehingga ia melupakan anak sematawayangnya yang sedang amat sangat terpukul. Ayah Daffa sedang tak bisa dijadikan tempat berbagi kesedihan, ia sedang tidak bisa berada di sisi Daffa sekarang.

Hanya ada satu orang yang setia di samping Daffa, mulai dari awal proses pemakaman hingga proses pemakaman selesai. Hanya Salma yang mampu menjadi sandaran Daffa saat ini.

Daffa dan Salma berjongkok di hadapan gundukan tanah. Pemakaman Ibu Daffa telah usai, para warga satu per satu meninggalkan makan Ibu Daffa, menyisakan Daffa dan Salma.

Tatapan Daffa tak berpaling dari nisan sang ibu, Daffa memandangi tulisan yang mengukirkan nama ibunya. Kini, air mata Daffa tak ada yang jatuh, seperti sudah habis karena sedari tadi menangis.

Salma memberanikan dirinya untuk berbicara pada Daffa, “Daff, pulang dulu yuk? Udah sore, nanti keburu gelap.”

“Duluan aja, gue masih mau di sini.” Daffa tak menoleh, matanya masih terus memandang nisan ibunya.

Kini, Salma mengalihkan pandangannya pada nisan Ibu Daffa. “Bu, lihat deh anak ibu, bandel banget jadi orang. Dia nggak inget kali ya sama janji dia dulu. Dulu dia janji bakal jadi anak yang nurut, tapi mana? Ini dia nggak mau nurut.”

Salma menoleh menatap Daffa dan melanjutkan ucapannya, “Lo mau dimarahin ibu karna ingkar janji?”

Daffa menggeleng. “Ya udah, ayo pulang dulu. Besok kalo emang mau ke sini, kita ke sini lagi.”

Daffa diam, membuat Salma merasa usahanya gagal. Namun, sekarang Daffa mengangguk, ia berdiri dan mengajak Salma untuk pulang.

Daffa berjalan tanpa arah, sesekali Salma lah yang mengarahkan Daffa ke arah yang benar. Sempat tadi Daffa hampir ditabrak motor karena tak memperhatikan jalannya. Beruntungnya, ada Salma yang dengan cekatan menarik tangan Daffa untuk menghindar.

Setelah sampai di rumah Daffa, Salma langsung melihat sekeliling, masih ada beberapa warga yang mengobrol dengan Ayah Daffa. Ayah Daffa menyadari kehadiran sang anak dan ikut menyadari rasa yang dirasakan anaknya.

Ayah Daffa langsung memberikan kode ke Salma untuk mengajak Daffa masuk terlebih dahulu. Salma mengangguk lalu mengikuti langkah Daffa yang masuk ke rumahnya.

Langkah Daffa berhenti tiba-tiba, membuat Salma yang berjalan di belakangnya menabrak tubuhnya. “Kenapa?” Salma menolehkan kepalanya melihat Daffa.

“Mejanya kosong, biasanya ada masakan ibu di sana.” Daffa menunjuk pada meja makan di depannya.

“Sekarang udah nggak ada masakan ibu lagi, ya?” Daffa membalikkan tubuhnya menatap Salma.

Salma mendongakkan kepalanya, mereka beradu mata. “Ibu pernah ngasih resep masakannya ke gue, besok gue masakin, siapa tau rasanya mirip kayak masakan ibu.”

Daffa mengangguk lemah, dirinya kembali berjalan menuju kamarnya. “Gue pulang dulu ya, mau bersih-bersih. Lo habis ini mandi, makan, terus istirahat. Oke?” ucap Salma yang lagi-lagi hanya dijawab anggukan lemah oleh Daffa.

Setidaknya Daffa masih memberi respon, walau bukan dengan respon yang Salma harapkan. Salma tersenyum dan meninggalkan Daffa.

Daffa merasa dunianya sedang tak berpihak padanya. Daffa ingin mencurahkan segala kesesakan dalam hatinya.

Daffa hanya punya Salma sebagai temannya, hanya Salma tempat ia mencurahkan segalanya. Salma satu-satunya orang yang Daffa jadikan tempat bercerita. Dari cerita bahagia maupun sedih, Salma lah yang mendengarkan.

Daffa berdiri di depan rumah Salma, ia tak berani mengetuk dan memanggil Salma. Pikirannya sudah terbang entah ke mana.

Namun tiba-tiba saja Salma membuka pintu rumahnya, ia berniat untuk membuang sampah di depan rumahnya, tapi justru mendapati hadirnya Daffa.

Terkejut bukan main saat Salma melihat sosok tinggi dan mempunyai badan besar menggunakan hoodie berwarna hitam.

“Lo kok ngga bilang kalo udah sampe?” tanya Salma sembari membuang sampahnya.

Daffa hanya menggeleng. “Ya udah, ayo masuk dulu.” Salma mempersilahkan Daffa untuk masuk ke dalam rumahnya.

Salma membuatkan Daffa teh hangat di dapur, Salma mengerti kondisi Daffa. Sosok periang kini menjadi sosok pendiam, tandanya ada yang tidak baik-baik saja pada Daffa.

Salma menghampiri Daffa dengan membawa gelas di tangannya. Ia taruh gelas itu di meja, lalu ia duduk di sebelah Daffa.

“Kenapa?” Salma langsung saja masuk pada intinya, tak ingin banyak berbasa-basi.

“Ibu,” ucap Daffa menggantung.

“Ibu kenapa?”

Daffa menoleh pada Salma. “Ibu gagal ginjal.”

Mata Salma terbelak mendengar ucapan Daffa. “Lo ngga lagi bercanda, kan?”

Daffa Menggeleng. “Buat apa gue bercanda?” Mata Daffa berair, sebentar lagi air matanya akan tumpah.

Daffa mengalihkan pandangannya pada langit-langit atap, air matanya berhasil lolos keluar. “Gue ngga tau lagi harus gimana, Sal.”

“Ibu di mana?” tanya Salma yang dibalas gelengan oleh Daffa. “Ngga tau, mungkin di rumah.”

“Kok mungkin sih?”

Daffa mengusap air matanya. “Tadi gue nemenin ibu ke rumah sakit buat ambil hasil tesnya. Waktu ibu bilang dia kena gagal ginjal, gue ninggalin ibu gitu aja.”

“Daff? Kok lo goblok banget sih. Kenapa lo tinggalin ibu? Lo tau ngga? Ibu butuh support lo, Dap.” Salma menatap Daffa dengan tatapan kesal.

“Ibu sama ayah, tenang aja. Gue yakin ibu baik-baik aja sama ayah.”

“Tetep aja Dap, harusnya lo ngga ninggalin ibu gitu aja. Harusnya lo temenin ibu, dan bukan ke sini.” Daffa menoleh pada Salma. “Salah ya kalau gue mau berbagi cerita ke lo? Salah kalo gue masih ngga bisa nerima kondisi ini? Salah kalo gue ngerasa hidup gue ngga ada gunanya lagi?”

“Gue pulang aja, Sal.” Daffa menghapus jejak air mata yang tersisa pada matanya lalu bangkit berdiri dari tempat duduknya.

Salma menahan tangan Daffa saat Daffa ingin pergi. “Bukan gitu maksud gue.”

Daffa membalikkan tubuhnya, berkontak mata dengan Salma. “Terus maksud lo gimana?”

Salma tak menjawab, Salma langsung merengkuh badan di depannya saat ini. Sedikit berjinjit untuk meraih pundak Daffa.

Daffa tertegun atas pelukan Salma. Ini yang ia harapkan, ia hanya berharap adanya sebuah pelukan yang dulu sering diberikan Salma saat dirinya merasa sedang tak baik-baik saja.

Salma menepuk pundak Daffa. “Turunan anjir, gue capek jinjit gini.”

Daffa terkekeh dan menurunkan pundaknya agar menyamakan tinggi Salma.

Salma tidak mengelus ataupun menepuk punggung Daffa untuk menenangkannya, karena Daffa justru tak nyaman. Tangan Salma hanya diam tak melakukan apapun.

“Berat, ya? Habis ini lo temenin ibu, ya? Gue yang bakal temenin lo. Gue di sini kok, gue ngga ke mana-mana. Lo bebas kapanpun itu hubungin gue, kita sama-sama kasih support ibu.” Daffa mengangguk dan mempererat pelukannya.

Salma tergoda dengan gambar yang dikirim oleh Daffa. Perutnya berbunyi saat melihat tumpukan bakpao yang terlihat sangat lezat.

Salma mengambil cardigan-nya dan memakai sandal bermotif polkadotnya. Salma pergi keluar dari rumahnya dan menyusul Daffa.

Dari jarak yang cukup jauh, Salma sudah dapat melihat Daffa yang sedang antre di depan gerobak bakpao. Salma melambaikan tangannya, namun Daffa tak melihatnya.

“Dor!” Salma menepuk kedua pundak Daffa.

“Eh aduh mamang kaget aduh.” Daffa mengeluarkan latahnya. “Anjir, lo ternyata,” lanjutnya.

Salma tertawa, ia merindukan reaksi terkejut dari temannya ini. Sementara itu, Daffa memasang muka kesal, dirinya merasa malu karena latahnya dilihat oleh banyak orang.

Setelah membeli bakpao, mereka berjalan berdua menuju rumah Salma. Daffa memutuskan untuk mampir ke rumah Salma karena dekat saja, pikirnya.

“Malu gue, Sal. Lo ngga kira-kira ya kalo mau ngagetin. Lain kali breafing dulu, biar gue latahnya bisa bagusan dikit.” Daffa mendumel dengan mulut yang penuh dengan bakpao.

“Habisin dulu bakpao di mulut lo, baru ngomong.” Salma menoleh pada Daffa sekilas, lalu kembali menikmati bakpaonya.

“Dap, ngga kepikiran buat punya temen?” tanya Salma tiba-tiba. Daffa hanya diam mengunyah makanannya tanpa membalas pertanyaan Salma.

Salma merasa teracuhkan dan kembali bertanya, “Kok diem aja sih?”

Daffa menelan makanan di dalam mulutnya. “Katanya suruh dihabisin dulu yang di mulut, makanya gue diem.”

Salma memukul keningnya pelan dan menggeleng. “Sekarang udah habis, kan? Jawab pertanyaan gue.”

“Gue punya temen kok.” Daffa menjawab sembari membuang sampahnya pada tempat sampah.

“Ha? Iya kah? Siapa?” Salma penasaran, karena selama ini Daffa tak mempunyai teman siapapun selain dirinya.

“Namanya, Putri Salma Anaya.” Salma kecewa mendengar jawaban Daffa. Bukan ini jawaban yang ia inginkan, ia ingin Daffa benar-benar menyebutkan nama temannya, selain Salma.

“Lo harus cari temen, Dap. Gue ngga bisa selamanya ada di samping lo.” Salma menatap Daffa yang sibuk memainkan kerikil di sekitar kakinya.

“Kalo gue sampingan mulu sama lo, kita bukan temen namanya, tapi pasutri.” Salma memukul pelan pundak Daffa. “Bukan gitu maksudnya, anjir.”

Daffa dan Salma memasuki rumah milih Salma. Salma langsung ke dapur untuk mengambil minum karena merasakan haus. Daffa memandang sekelilingnya, ia memandangi Salma dari jauh.

“Sal, ngga kesepian?” tanya Daffa tiba-tiba.

Salma tersenyum lalu berkata, “Mau gimana lagi? Lo tau sendiri kalo gue ngga punya siapa-siapa.”

“Lo punya gue, Sal. Lo ngga sendiri.” Salma mengangguk membalas ucapan Daffa. “Iya, Dap.”

Aku sedang berada di rumah nenekku, aku sedang menghabiskan masa liburku di sini. Saat ini aku berada di kamar bersama ayahku.

Aku menoleh pada luar jendela kamarku, aku melihat ada sebuah warung makan di sana. Aku melihat ada seorang pria paruh baya sedang memotong kambing di depan anak kecil yang usianya sekitar lima tahun.

Aku tertegun heran, mengapa pria di sana bisa dengan santai memotong kambing di depan anak kecil? Namun keheranan itu aku simpan sendiri dalam benakku. Aku tak ingin ambil pusing akan hal itu.

Setelah selesai memandangi pria di luar sana, aku kembali duduk di samping ayahku. Aku memainkan ponselku seperti biasanya, sesekali aku bercanda gurau dengan ayahku.

Setelah banyak mengobrol, tenggorokanku merasa kering. Aku memutuskan untuk ke dapur dan mengambil minum. Aku memasuki area dapur dan membuka kulkas.

Namun saat kubuka kulkas, ada sesuatu yang menghalangi di bawah. Aku menolehkan pandanganku ke bawah, aku melihat ada sebuah badan tanpa kepala, tangan, dan kaki di sana.

Ada tiga badan tergeletak di lantai dapur, entah di mana kepala, tangan, dan kaki tiga badan tersebut.

Aku sudah sangat panik, aku memutuskan masuk kembali ke kamarku dan bersikap seolah tak terjadi apapun. Aku mengatur napasku agar tak seperti orang panik di depan ayahku.

Aku tak berani bercerita akan hal yang aku lihat di dapur, aku sudah terlanjur panik dan takut jika aku bercerita, nantinya aku akan dituduh sebagai tersangka.

Sepuluh menit berlalu, napasku mulai beraturan dan aku mulai tenang, walau pikiranku masih mengingat jelas bagaimana kondisi tubuh yang aku lihat.

Aku melihat pamanku berjalan ke arah dapur. Aku melihat ia memasuki dapur dan melihat pula ketiga badan yang aku lihat tadi.

Anehnya, pamanku tidak menunjukan ekspresi apapun, ia tak terkejut atau bahkan panik. Pamanku memanggil beberapa anggota lain untuk berkumpul di dapur, mereka berdiri mengelilingi tiga potongan badan tersebut.

Aku hanya melihat dari jauh bersama ayahku. Ayahku tiba-tiba saja berucap padaku, “Gapapa, udah biasa kaya gini. Ayah juga tau siapa yang berbuat.”

Aku termenung mendengar ucapan ayahku barusan. Apakah ayahku mengetahui dalang dibaliknya pembunuhan ini?

Maria dan Icha bersebelahan dan berjalan menuju satu ruangan dengan dua lelaki di belakang mereka.

“Gue masuk dulu ya,” ucap Maria pada Icha saat sudah sampai di depan ruangan milik Farhan.

Maria mengetuk pelan pintu ruangan itu lalu masuk ke dalam, melihat Farhan yang sedang berkutik dengan beberapa berkas di mejanya.

Farhan menoleh melihat siapa yang masuk ke dalam ruangannya. Melihat Maria, Farhan langsung mengukir senyum.

“Lagi sibuk, Kak?” tanya Maria pada Farhan.

Farhan menggeleng, “Engga, Mar.”

“Mau ketemu papah sekarang?” tanya Farhan sembari berdiri dari kursinya dan menghampiri Maria.

Maria mengangguk, “Sekarang aja Kak, yang punya tanah nunggu di luar sama Icha.”

“Oh, ya udah ayo.” Farhan menggenggam tangan Maria dan mengajaknya keluar.

Saat pintu dibuka oleh Farhan, Maria langsung memberi kode ke Icha untuk mengikutinya.

Tangan Farhan tak melepaskan genggamannya, membuat seluruh karyawan memperhatikan mereka. Tak heran jika karyawan di sana terkejut melihat Farhan menggandeng tangan wanita, karena selama ini Farhan sama sekali tak melihatkan hubungannya pada publik.

Farhan tak peduli dengan tatapan mereka, namun Maria merasa sedikit gugup akibat semua mata berfokus padanya.

Mereka telah sampai di depan ruangan yang cukup besar, itu adalah ruangan milik Papa Farhan. Farhan langsung saja membuka pintu di depannya tanpa ada aba-aba. Membuat orang di dalam ruangan terkejut, di sana ada Papa Farhan dan Indy.

Betapa terkejutnya Maria saat melihat ada Indy di dalam ruangan itu, rasa itu juga sama seperti yang Indy rasakan saat melihat Farhan dengan wanita lain.

“Dia siapa, Farhan?” tanya Indy yang langsung berdiri dari tempatnya duduk semula.

“Dia pacarku,” ucap Farhan dengan penuh penekanan.

Maria melepas tangannya dari Farhan dan mendekat ke Indy. Awalnya Farhan menahan Maria, namun Maria tetap mendekat ke Indy.

Tangan Maia terulur ke arah Indy, “Kenalin, Maria.”

Indy membalas uluran tangan Maria, “Indy.”

Maria menolehkan pandangannya pada Papa Farhan, “Om, saya udah nemuin tanah yang sesuai dengan semua syarat yang Om kasih. Pemilik tanah dan saksinya udah ada di depan.”

“Suruh masuk saja,” jawab Papa Indy.

“Indy, kamu bisa keluar dulu? Ada beberapa persoalan yang mau dibahas,” ucap Maria pada Indy.

“Loh? Kenapa harus keluar? Gue nggak akan ganggu kok.” Indy enggan untuk menuruti Maria.

“Biarin Indy di sini.” Papa Farhan ikut bersuara.

“Tuh, dengerin.” Indy merasa puas karena ada yang membelanya.

“Om, ini adalah perjanjian untuk projek yang besar, nggak tiap orang bisa ada di sini. Yang berhak di sini adalah orang-orang yang terlibat di projek ini. Saya mohon Om bisa profesional dengan tidak membawa urusan pribadi ke urusan kerjaan.” Telak, Maria membungkam mulut Papa Farhan dengan ucapannya.

“Indy, tolong keluar dulu, ya?” ucap Papa Farhan pada Indy.

Tanpa menjawab Indy langsung melangkahkan kakinya dengan kesal dan menutup pintu dengan sedikit dibanting, membuat Farhan menggelengkan kepalanya.

Setelahnya, Maria menyelesaikan pekerjaannya sebagai penyalur Papa Farhan pada pemilik tanah.

Hingga sekarang menyisakan Farhan, Maria, dan Papa Farhan di dalam ruangan.

“Jadi sekarang saya dapat izin, kan, Om?” Maria menatap Papa Farhan yang berada di depannya.

Mau tidak mau Papa Farhan harus mengangguk dan mengiyakan pertanyaan Maria.

Maria menarik bibirnya ke atas memperlihatkan senyumnya, “Makasih, Om.”

Sandra tiba di depan rumahnya. Setelah ia berpamitan dan mengucap terima kasih pada temannya, ia langsung masuk ke dalam.

“Key,” panggilnya pada anak semata wayangnya sembari melihat sekeliling rumah, memperhatikan semua keadaan rumah. Semua tata letak barang masih seperti sebelum ia pergi, tandanya rumah baik-baik saja saat ia tinggal.

Keyna mendengar suara yang tak asing, maka ia segera keluar dari kamar dan menghampiri asal suara itu.

Keyna tak begitu terkejut melihat Sandra, karena memang Sandra sudah mengabarinya semalam. Keyna masih berdiri memperhatikan Sandra, memastikan bahwa orang di depannya adalah mamanya.

“Sini.” Sandra menepuk sisi sofa di sampingnya.

Keyna menurut dan duduk di samping mamanya. “Mamah kapan nyampenya?”

“Basa-basi kamu terlalu basi, udah jelas Mamah barusan sampe.”

“Gimana?” Sandra kembali berucap tanpa konteks yang membuat Keyna mengerutkan keningnya.

“Jadi kamu mau punya papah baru siapa?” Sandra menangkap kondisi Keyna yang bingung, maka ia menjelaskan konteks pertanyaannya.

“Mah, kenapa harus aku yang milih? Ini pasangan untuk Mamah, bukan untuk aku.”

Sandra tersenyum, “Karena Mamah mentingin kamu, Mamah mau kamu cocok sama calon papah kamu. Mamah ga mau, cuma dengan ke egoisan Mamah yang ingin menikah lagi, kamu justru ga suka.”

“Mah, aku ga bisa pilih siapa, aku mau Mamah pilih sesuai pilihan hati Mamah, jangan pilihan aku.” Keyna menggenggam tangan sang mamah.

“Kamu yakin?” Keyna mengangguk menjawab pertanyaan Sandra.

Dengan langkah cepat Kinara menghampiri seseorang yang sudah menghinanya. Kinara sebenarnya malas menghampiri Niskala, namun karena dirinya sudah dihina, maka Kinara tak terima.

Kinara masuk ke lorong tempat Niskala menunggu, di sana sudah terdapat Niskala yang duduk di kursi dengan mengangkat satu kakinya.

“Turunkan kakimu, tidak sopan.” Niskala menoleh pada seorang wanita yang menegurnya.

“Kamu tidak ada hak memerintah saya.” Bukannya menurunkan kakinya, Niskala justru membalas ucapan Kinara.

“Saya mentor kamu, jelas saya berhak memerintah kamu.”

“Bukannya kamu belum menyetujuinya? Lantas mengapa sekarang kamu mengakui jika kamu adalah mentor saya?” Kinara diam, ia tak membalas apapun.

“Termakan ucapan sendiri?” ucap Niskala lagi.

“Sudah, ayo masuk, kita mulai lesnya.” Kinara membuka pintu di depannya, lalu masuk ke dalam. Niskala hanya mengikutinya dari belakang.

Kinara dan Niskala duduk berhadapan, Niskala menaruh tasnya diantara dirinya dan Kinara.

“Sudah sampai mana materi kamu?” tanya Kinara pada Niskala agar cepat.

“Buka saja tas saya, ambil buku di dalamnya, dan buka halaman terakhir.” Niskala mendorong tasnya agar lebih mendekat ke arah Kinara.

Kinara mengambil tas Niskala dengan kesal. Ia mengoceh, “Anak tengil, saya kan mentornya, bukan babunya.”

“Saya tidak tuli, saya mendengarnya.” Kinara sudah bersuara pelan, namun ternyata Niskala masih saja mendengarnya.

Kinara membuka tas milik Niskala, lalu ia terkejut. “Kamu hanya membawa satu buku saja? Kamu tidak niat sekolah?”

“Banyak bicara kamu, cepat buka saja buku itu.” Niskala mengalihkan pandangannya menatap sekeliling.

Kinara membuka pelan buku milik Niskala, ia pandangi satu per satu lembar buku itu. Berbagai materi dengan mata pelajaran berbeda.

Kinara menggeleng pelan, apakah anak ini tidak mempunyai uang untuk membeli buku? Itulah pikir Kinara.

Kinara sampai pada halaman terakhir buku itu, dia beralih menatap Niskala. “Kosong, halaman terakhir kosong, apa yang mau dibahas?”

Niskala mengurut pelan batang hidung teratasnya. “Bodoh, bukan itu yang saya maksud. Buka halaman terakhir yang saya tulis, Kinara.”

“Kamu panggil saya apa? Kinara?”

“Ya memang itu nama kamu, bukan?”

Kinara langsung saja membuka lembaran-lembaran buku itu kembali, mencari di mana letak terakhir tulisan Niskala.

“Yang ini?” Kinara menunjukan satu halaman pada Niskala.

Niskala tak menoleh, ia mengangguk dan membalas, “Iya.”

“Suhu yang dibutuhkan agar tanaman dapat mengalami pertumbuhan terbaik adalah?” Kinara membaca soal pertama pada buku Niskala.

“Jawabannya apa?” tanya Niskala.

“Jelas saja D, yaitu tinggi.” Kinara dengan pede menjawab Niskala.

“Bodoh, yang benar itu optimum. Kamu ini bagaimana? Mentor macam apa kamu?” Niskala menatap mata Kinara lekat.

“Kalau kamu tahu jawabannya, kenapa tanya saya?” Kinara menatap balik mata Niskala.

“Karena itu tugas kamu sebagai mentor saya.”

Kinara merasa dibuat malu oleh Niskala. Tidak ingin berlama-lama, Kinara langsung saja melanjutkan soal selanjutnya.

“Dominasi apikal terjadi karena adanya? Kamu coba jawab pertanyaan ini.” Kinara meminta Niskala untuk menjawab pertanyaan ini. Karena jujur saja Kinara tak mengetahui jawaban dari soal ini.

“Jawabannya A, karena adanya auksin pada bagian ujung akar,” jawab Niskala dengan singkat.

“Nah, itu kamu tau. Kita lan—” ucapan Kinara terpotong oleh Niskala.

“Jawaban A benar? Astaga, yang benar itu yang B, karena adanya auksin pada bagian tunas ujung.” Lagi-lagi Niskala memijat bagian teratas hidungnya.

“Tadi saya salah dengar.” Kinara mencari alasan agar dirinya tidak terlalu malu.

“Alasan saja kamu bisanya.”

“Sudah, lanjut ke nomor tiga. Pada musim kemarau, tumbuhan sering menggugurkan daunnya untuk menghindari kekurangan air akibat transpirasi. Hormon yang memengaruhi peluruhan daun adalah?” Kinara melanjutkannya pada nomor tiga, sejauh ini Niskala lah yang selalu benar dan Kinara yang selalu kalah.

“Jadi, apa jawabannya, Kinara?” tanya Niskala dengan mata yang melirik Kinara.

“Asam traumalin,” jawab Kinara.

“Asam traumalin itu gabungan dari auksin, sitokinin, giberelin, dan asam absisat. Fungsinya untuk memperbaiki jaringan pada tumbuhan yang terluka. Jawaban kamu salah, yang benar adalah asam absisat.” Niskala menjelaskan pada Kinara jika jawaban Kinara salah.

Kinara diam, ia bahkan tak tahu apa itu asam traumalin, ia hanya iseng menjawab saja.

Sekarang posisinya seperti terbalik, bukan Niskala yang menjadi murid dan Kinara yang menjadi mentor. Namun justru Niskala yang menjadi mentor dan Kinara yang menjadi murid.

“Sudah, saya pulang saja. Mentor macam apa kamu? Saya bahkan lebih pintar dari kamu.” Niskala mengambil tasnya lalu pergi dan meninggalkan Kinara seorang diri.

Kinara memukul meja di depannya untuk menyalurkan kekesalannya. Ia berjanji untuk kembali mengulang pelajaran SMAnya untuk mengalahkan Niskala.

Kinara tidak terima jabatannya sebagai mentor diinjak oleh murid tengil yang pengalamannya belum mencapai pengalaman Kinara.

Berbanding terbalik, Niskala justru tak acuh atas yang terjadi tadi. Dirinya hanya tambah menganggap jika Kinara adalah orang bodoh.

Kalau ini bukan perintah ibunya, Niskala tidak akan pernah mau les di Naratama Edu dan di mana pun itu.