Runtuh
Tangan Salma menggenggam tangan Daffa, mereka berdiri di depan ruangan yang baru saja dimasuki dokter dan beberapa perawat.
“Tenang, please tenang ya Daff.” Tangan Salma tak henti-hentinya memberi usapan untuk menenangkan Daffa yang sangat panik.
Bagaimana tak panik, sekarang kondisi ibunya turun drastis. Entah apa yang sedang terjadi dengan ibunya di dalam, ia tak diperbolehkan masuk oleh dokter. Hanya merapalkan doa yang dapat ia lakukan.
Salma dengan pelan mengajak Daffa untuk duduk di bangku, karena mereka menghalangi jalan untuk orang lain. Sekarang justru tangan Daffa yang menggenggam tangan Salma dengan sangat erat.
Salma merasakan sedikit sakit pada tangannya, tetapi tak apa, ia tau rasa sakitnya tak sebanding dengan sakit yang dirasakan Daffa.
Salma dan Daffa setia pada duduknya sampai dengan dokter berkata pada Ayah Daffa tentang kabar Ibu Daffa. “Saya selaku dokter yang menangani istri Bapak mewakili seluruh perawat mengucapkan maaf. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Tuhan berkehendak lain, istri bapak meninggal hari ini pada pukul 10.04. Semoga Bapak beserta keluarga diberikan ketabahan.”
Betapa terkejutnya Daffa mendengar penuturan dokter kepada ayahnya. Setetes air jatuh dari matanya begitu saja, sudah tidak dapat lagi Daffa tahan.
Daffa berharap ini hanyalah mimpi belaka, tetapi inilah kenyataannya, ibunya telah tiada. Daffa meraung di depan jasad ibunya, meminta agar ibunya kembali bangun lagi. Namun, sia-sia saja Daffa melakukan hal itu, ibunya tak akan pernah kembali bangun.
Selama proses pemakaman Ibu Daffa, Daffa tak henti-hentinya menangis. Siapa yang tak hancur ketika kehilangan seseorang yang telah melahirkannya ke dunia ini? Tentu saja Daffa sangat merasa hancur serta sangat terpukul.
Ayah Daffa sibuk mengurusi pemakaman istrinya, sehingga ia melupakan anak sematawayangnya yang sedang amat sangat terpukul. Ayah Daffa sedang tak bisa dijadikan tempat berbagi kesedihan, ia sedang tidak bisa berada di sisi Daffa sekarang.
Hanya ada satu orang yang setia di samping Daffa, mulai dari awal proses pemakaman hingga proses pemakaman selesai. Hanya Salma yang mampu menjadi sandaran Daffa saat ini.
Daffa dan Salma berjongkok di hadapan gundukan tanah. Pemakaman Ibu Daffa telah usai, para warga satu per satu meninggalkan makan Ibu Daffa, menyisakan Daffa dan Salma.
Tatapan Daffa tak berpaling dari nisan sang ibu, Daffa memandangi tulisan yang mengukirkan nama ibunya. Kini, air mata Daffa tak ada yang jatuh, seperti sudah habis karena sedari tadi menangis.
Salma memberanikan dirinya untuk berbicara pada Daffa, “Daff, pulang dulu yuk? Udah sore, nanti keburu gelap.”
“Duluan aja, gue masih mau di sini.” Daffa tak menoleh, matanya masih terus memandang nisan ibunya.
Kini, Salma mengalihkan pandangannya pada nisan Ibu Daffa. “Bu, lihat deh anak ibu, bandel banget jadi orang. Dia nggak inget kali ya sama janji dia dulu. Dulu dia janji bakal jadi anak yang nurut, tapi mana? Ini dia nggak mau nurut.”
Salma menoleh menatap Daffa dan melanjutkan ucapannya, “Lo mau dimarahin ibu karna ingkar janji?”
Daffa menggeleng. “Ya udah, ayo pulang dulu. Besok kalo emang mau ke sini, kita ke sini lagi.”
Daffa diam, membuat Salma merasa usahanya gagal. Namun, sekarang Daffa mengangguk, ia berdiri dan mengajak Salma untuk pulang.
Daffa berjalan tanpa arah, sesekali Salma lah yang mengarahkan Daffa ke arah yang benar. Sempat tadi Daffa hampir ditabrak motor karena tak memperhatikan jalannya. Beruntungnya, ada Salma yang dengan cekatan menarik tangan Daffa untuk menghindar.
Setelah sampai di rumah Daffa, Salma langsung melihat sekeliling, masih ada beberapa warga yang mengobrol dengan Ayah Daffa. Ayah Daffa menyadari kehadiran sang anak dan ikut menyadari rasa yang dirasakan anaknya.
Ayah Daffa langsung memberikan kode ke Salma untuk mengajak Daffa masuk terlebih dahulu. Salma mengangguk lalu mengikuti langkah Daffa yang masuk ke rumahnya.
Langkah Daffa berhenti tiba-tiba, membuat Salma yang berjalan di belakangnya menabrak tubuhnya. “Kenapa?” Salma menolehkan kepalanya melihat Daffa.
“Mejanya kosong, biasanya ada masakan ibu di sana.” Daffa menunjuk pada meja makan di depannya.
“Sekarang udah nggak ada masakan ibu lagi, ya?” Daffa membalikkan tubuhnya menatap Salma.
Salma mendongakkan kepalanya, mereka beradu mata. “Ibu pernah ngasih resep masakannya ke gue, besok gue masakin, siapa tau rasanya mirip kayak masakan ibu.”
Daffa mengangguk lemah, dirinya kembali berjalan menuju kamarnya. “Gue pulang dulu ya, mau bersih-bersih. Lo habis ini mandi, makan, terus istirahat. Oke?” ucap Salma yang lagi-lagi hanya dijawab anggukan lemah oleh Daffa.
Setidaknya Daffa masih memberi respon, walau bukan dengan respon yang Salma harapkan. Salma tersenyum dan meninggalkan Daffa.