Rasa yang Sama

Salma memencet bel rumah Daffa, yang tak lama pintu rumah terbuka, menampilkan Daffa dengan keadaan kacau. Matanya sembab dan mulai membengkak, matanya kosong, dan tubuhnya berdiri tanpa ada tenaga sedikitpun.

“Lo baik, kan?” Belum sempat Daffa jawab, Salma kembali melanjutkan ucapannya, “Pertanyaan bodoh, jelas-jelas kondisi lo ngga baik-baik aja.”

“Udah ayo sini makan dulu.” Salma mengajak Daffa menuju meja makan. Salma menyusun makanan yang sudah ia bawa di meja makan.

Daffa hanya duduk terdiam memperhatikan Salma, sesekali Daffa tersenyum atas kecerobohan Salma saat memindahkan masakannya.

“Nggak usah senyum-senyum lo, ngga lucu.” Salma menatap Daffa dengan sinis.

Hal itu justru membuat Daffa semakin tersenyum lebar bahkan sedikit tertawa. “Makanya jangan ceroboh jadi orang.”

“Ya mana gue tau kalo bakal tumpah?” Salma masih sibuk membersihkan kuah soto yang baru saja ia tumpahkan, tak banyak, tetapi cukup membuat kotor.

Di balik muka sinisnya, Salma justru senang karena bisa kembali melihat senyum dan sedikit tawa milik Daffa.

Salma mengambil dua mangkok dan ia isi dengan nasi. Salma berikan satu mangkok berisi nasi ke Daffa. Salma tuangkan kuah soto pada mangkoknya dan mangkok Daffa.

“Lauknya ambil sendiri,” pinta Salma.

Salma duduk di depan Daffa dan bersiap menyantap makanannya. “Selamat makan!” ucap Salma bersemangat.

Daffa hanya mengangguk dan mulai menyuapkan satu suapan pada mulutnya. Ia rasakan perlahan masakan milik Salma. Bibirnya tertarik ke atas bersamaan dengan air mata yang jatuh dari matanya.

Rasanya mirip dengan masakan sosok yang sedang ia rindukan. Daffa senang rindunya akan masakan ibunya terbayarkan, tetapi ia tetap merasakan rindu yang semakin mendalam pada ibunya.

“Kok nangis?” Salma terkejut karena melihat Daffa yang menangis. “Nggak enak ya? Kalo iya, nggak usah dimakan,” lanjutnya.

Daffa menggeleng. “Enggak, ini enak. Gue keinget ibu, rasanya mirip kaya yang ibu masak.”

Salma menghela napasnya lega, ternyata bukan karena masakannya tak enak, tetapi karena masakannya mirip dengan masakan Ibu Daffa. “Kan emang pake resep ibu.”

“Udahan nangisnya, nanti sotonya makin asin. Tuh lihat air mata lo jatuh ke kuahnya, hapus dulu, jelek.” Daffa mengusapkan tangannya pada pipinya, membasuh air matanya.

“Besok masuk sekolah, kan?” tanya Daffa mengingat jika dirinya sudah hampir tiga hari tidak masuk sekolah.

“Iya, tapi kalo lo mau libur lagi, ya gapapa. Libur dulu aja, nanti tinggal nyalin catetan gue.”

“Besok gue masuk.” Salma membulatkan matanya menatap Daffa. “Serius?” tanya Salma memastikan.

“Serius, gue nggak mau terlalu larut dalam kesedihan. Kasihan ibu, tadi gue baca di internet, kalo semisal kita belum merelakan orang yang udah nggak ada, orang itu justru sakit di atas sana. Gue nggak mau ibu sakit, jadi gue bakal perlahan belajar buat ikhlasin ibu.” Suara Daffa bergetar mengucapkan itu, belum sepenuhnya siap, tetapi dia harus siap.

“Ibu pasti seneng lihat lo mulai mau ikhlasin dia, pelan-pelan aja, ngga usah buru-buru.”

Daffa menghentikan kegiatan makannya. “Tapi, gue belum jadi anak berbakti selama ibu hidup.”

Ucapan Daffa membuat Salma ikut mengehentikan kegiatan makannya. “Engga, ibu pernah bilang ke gue, lo itu baik, lo penurut, lo berbakti sama ibu. Ibu bangga punya anak kaya lo, Daff. Jangan mikir gitu lagi, sekarang pun lo masih bisa berbakti ke ibu, cukup dengan lo kirim doa ke ibu.”

“Lo pasti cuma nyenengin gue aja, kan?” Daffa terkekeh pelan. “Tapi makasih, bohong lo udah bikin gue seneng dikit.”

“Gue nggak bohong, Daff.”

Daffa melanjutkan kegiatan makannya. “Iya-iya, percaya. Lanjutin makannya, nanti pulangnya gue anter.”