eltta

Belum sempat Rani membalas pesan Maraka, tangannya terlebih dahulu ditarik Maraka. “Ayo naik sama gue.”

Maraka mengajaknya pergi naik ke atas, tempat bermain wahana flying fox. Rani sudah berkali-kali menolak, tetapi Maraka tetap memaksa Rani agar mengikutinya.

Pada saat di tangga, Maraka tidak terburu-buru, ia paham Rani takut akan ketinggian, maka ia tuntun Rani perlahan untuk naik ke atas.

Sesampainya di atas, Rani masih mencoba menolak. “Ngga mau Ka, gue takut.”

“Ada gue, lo ngga perlu takut.” Setelahnya, Maraka meminta petugas wahana untuk memasangkan alat pengaman padanya dan Rani.

Posisi Rani berada di depan Maraka, petugas meminta Maraka untuk memeluk Rani dari belakang. Mereka sudah bersiap untuk melaju, tangan Rani menggenggam erat tangan Maraka yang berada di perutnya saat ia takut melihat ke bawah.

“Gapapa, cuma bentar doang kok.” Maraka berusaha menenangkan Rani.

Petugas mulai menghitung, dan dalam hitungan terakhir mereka melesat ke depan. Jarak tali flying fox lumayan panjang, sehingga ada waktu untuk Maraka berbicara sebentar.

“Buka mata lo, lihat, bagus kan pemandangannya?” Rani membuka matanya lalu menoleh ke bawah, Rani menggelengkan kepalanya dengan cepat.

“Jangan lihat ke bawah, lihat ke depan atau ke atas aja.” Rani tetap menggeleng, ia tetap enggan membuka matanya. “Kalo lo ngga melek sekarang, lo bakal nyesel karena ngga lihat pemandangan ini.”

Rani memberanikan dirinya untuk membuka mata, kali ini ia tidak melihat ke bawah, melainkan menatap pemandangan di depannya. Benar kata Maraka, pemandangan di depan mereka sangat ini sangatlah cantik.

“Cantik, 'kan? Kayak lo.” Setelah itu, mereka sampai di ujung tali itu. Rani diam sejenak setelah melepas pelindung pada tubuhnya.

“Ran? Lo gapapa?” Rani tak menggubris pertanyaan Maraka, dia masih tetap diam. “Ran, sumpah gue minta maaf, lo pasti kaget, ya?”

Rani sontak menggeleng. “Kaget iya, tapi lo ngga perlu minta maaf. Gue justru berterima kasih karna lo mau ajak gue tadi. Kalo lo ngga ngajak gue, mungkin gue ngga akan pernah nyoba naik flying fox.”

“Sama-sama, ayo turun.” Maraka kembali menarik tangan Rani, tetapi kali ini bukanlah tarikan memaksa, tapi lebih mengarah untuk menggandeng.

Rani memperhatikan tangan yang sedang menggenggamnya, lalu ia sadar di tangan yang menggandengnya ada sebuah luka kecil. “Tangan lo kenapa?” tanyanya pada Maraka.

“Kayaknya kena kuku lo tadi.” Rani mengingat kembali apa yang ia lakukan hingga ia menciptakan goresan kecil di tangan Maraka.

“Ya ampun, gara-gara tadi, ya? Gue minta maaf, gue ngga nyadar sumpah.” Rani merasa bersalah akibat perbuatannya.

“Gapapa, ini bukan salah lo, anggap aja ini hukuman buat gue karna maksa lo tadi.” Bagi Maraka luka kecil pada tangannya tak begitu sakit, bahkan Maraka tak menyadari jika ada luka di sana.

“Jangan gapapa-gapapa aja, ayo ikut gue, lukanya dicuci terus ditutup dulu.” Kini giliran Rani yang menarik tangan Maraka untuk mengikutinya.

Diskusi telah usai, Ray menjalankan rencana yang sudah ia sepakati tadi. Ray berjalan mendekat ke Jay di ruang makan.

Ray mendudukan dirinya di hadapan Jay, mengeluarkan ponselnya dan mulai mencari sesuatu untuk mengambil perhatian Jay.

Ray menemukan cara mengambil perhatian Jay, ia akan meminta Jay untuk membantunya memilihkan sepatu di toko online. “Jay, sini deh, gue bingung mau pilih yang mana.”

Jay memalingkan pandangannya menatap Ray. “Apa?” tanyanya.

“Makanya sini.” Sesungguhnya Jay sangat malas menuruti permintaan Ray. Namun, ia paham dengan sifat kembarannya ini, jika tidak dituruti, mereka akan beradu mulut dan Jay tak menyukainya.

Jay bangkit dari duduknya dan mendekat ke arah Ray. Dari kejauhan, terdapat Amel yang sedari tadi memperhatikan mereka.

Saat mendapati Jay yang sudah membelakangi rak dapur, maka Amel langsung saja menjalankan aksinya.

Mata Jay menangkap pergerakan Amel, ia menolehkan pandangannya menatap Amel yang berjalan masuk ke dapur. “Ngapain?”

“Mau bikin susu, lo mau?” Jay sontak menggeleng, sebab ia tak menyukai susu.

Ray merasa fokus Jay justru memperhatikan Amel, Ray kembali meminta Jay agar fokus pada ponselnya, untuk membantunya memilih sepatu yang akan ia beli.

Karena Jay pun tidak tertarik pada susu yang dibuat Amel, maka ia juga tak menghiraukan Amel. Jay kembali berfokus pada ponsel Ray.

Setelah selesai membuat susu, Amel menoleh ke arah kedua saudaranya. Rupanya anak kembar di sana sedang sedikit beradu argumen saat memilih sepatu.

Memilih sepatu hanyalah alibi untuk mengelabui Jay, tetapi Ray melakukannya seolah-olah ia benar-benar sedang memilih sepatu.

Amel membuka lemari dapur paling pojok seperti yang Ray beri tahu kepadanya. Ia mengambil satu bungkus martabak dengan perlahan, tanpa ada suara apapun yang muncul.

Ray menoleh singkat pada adiknya, melihat Amel yang sudah membawa martabak. Ray mengode Amel untuk segera meninggalkan dapur.

Amel paham dengan kode itu dan segera meninggalkan dapur tanpa berpamitan kepada kedua saudaranya. Amel meminimalisir keadaan, takut jika Jay sadar kalau Amel sedang membawa makanan.

Ray mengakhiri perdebatan dengan saudara kembarnya agar ia bisa cepat meninggalkan Jay. Ia tak sepenuhnya percaya pada sang adik, ia pula takut jika makanan yang dibawa adiknya tadi langsung habis oleh Amel.

Jay menatap sekeliling dapur, ia tidak mendapati kehadiran sang adik. “Lah, si Amel udah balik ke kamar?”

“Udah, masa lo ngga lihat sih?” Jay menggeleng, tetapi ia tak mengambil pusing akan hal itu.

Ray meninggalkan Jay seorang diri, sekarang ia melangkahkan kakinya menuju balkon. Ia buka pintu balkon, dugaannya benar, adiknya sudah terlebih dahulu memakan martabak yang ia bawa.

“Wah parah, masa gue ditinggal, padahal ini yang beli gue.” Ray menatap Amel yang santai memakan makanan di depannya.

Amel melirik Ray, ia memutar bola matanya malas. Tangannya mengambil satu potong martabak dan langsung ia masukan ke dalam mulut kakaknya. “Bawel, gue baru makan satu doang.”

Ray tersedak karena ulah sang adik, Amel justru tertawa bahagia melihat Ray, ia tak mempunyai belas kasihan sedikitpun pada Ray.

Batuk Ray langsung berhenti ketika melihat Jay berada di ambang pintu. Ray terkejut bukan main, seperti tengah melihat sosok tak kasat mata.

Jay bukanlah orang yang mudah untuk dikelabui, maka saat tingkah saudaranya aneh, ia langsung mencurigainya.

Kecurigaan Jay benar, kini ia melihat dua saudaranya sedang asik menikmati makanan tanpanya. “Enak ya makan tanpa gue?”

Amel menghentikan kegiatan mulutnya saat mendengar suara itu, lalu ia menoleh pada sumber suara. “Eh? Bukan gitu, Bang.”

“Duh, ini tuh yang nyuruh Bang Ray serius, gue cuma disuruh aja.” Amel gelagapan, berakhir ia menyudutkan saja kakaknya.

Mata Ray terbelak saat mendengar jawaban Amel, bisa-bisanya ia disalahkan oleh Amel.

“Terus lo mau disuruh kaya gitu? Sekalian aja besok kalo Ray nyuruh lo loncat ke sumur, lo turutin dia.” Nada bicara Jay memberat, sepertinya kini ia tengah marah.

“Mau hehe, soalnya makanan.” Amel menggaruk pelan kepalanya yang sama sekali tidak merasakan gatal.

“Maaf deh maaf, udah sini, kita makan bareng aja kalo gitu.” Ray mencoba membujuk Jay yang langsung diimbuhi oleh Amel, “Iya sini Bang, masih banyak kok.”

Jay berjalan mendekat ke mereka, Amel pun menyambutnya dengan senyuman yang lebar. Namun, Jay juga membalas senyuman itu tak kalah lebar. Amel dan Ray saling bertatapan heran, mengapa Jay tersenyum seperti penjahat saat ini?

Tangan Jay mengambil bungkus martabak itu, membawa semuanya pergi. Membuat Amel dan Ray paham dengan senyuman yang baru saja diberi Jay.

“Dasar rakus, awas aja lo, ngga akan gue bagi makanan lagi.” Amel berteriak pada Jay yang sudah pergi meninggalkan balkon.

Ray dan Amel menunjukan tatapan kecewa, usaha mereka sia-sia, lebih tepatnya rugi besar.

TW // mention of death

Farhan duduk di kursi yang berada di depan ruang operasi, menunggu sang istri yang sedang berada di dalam. Pikirannya terus berfokus pada Maria, merapalkan doa demi keselamatan Maria.

Operasi bukanlah pilihan mudah yang dapat diambil, karena dengan operasi kemungkinan untuk sembuh pun sedikit.

Setelah tiga jam menunggu, akhirnya operasi selesai. Dokter keluar dari ruang operasi dengan pakaian medis yang masih terpasang pada tubuhnya.

Farhan menghampiri dokter dan menanyakan kondisi Maria. Namun, kabar yang diberikan dokter justru tidak seperti yang diharapkan Farhan.

Dokter berkata, “Kondisi pasien turun drastis di tengah operasi berlangsung. Dan pada pukul 15.03 pasien atas nama Maria Melody Hanggara dinyatakan meninggal dunia.”

Bagai dihantam benda keras, Farhan tersungkur ke lantai. Kakinya sudah tak kuasa kembali untuk menumpu tubuhnya. Sebab, alasannya untuk berdiri sudah tak ada lagi. Maria sudah pergi meninggalkan dirinya.

Tatapan Farhan kosong tetapi terus mengeluarkan air mata. Diam di tempatnya tak berpindah sedikitpun, membuat Adit dan Naka membopong Farhan agar bangun.

Dokter mempersilahkannya untuk masuk ke dalam menemui Maria, sebelum jenazah Maria dipindah ke ruang jenazah. Farhan menguatkan kakinya untuk berjalan menemui Maria, ia meminta untuk semua orang meninggalkannya berdua dengan Maria.

Dari jauh, Farhan dapat melihat jelas istrinya yang memejamkan matanya dengan damai. Tambah ia mendekat, tambah pula sesak yang menyelimuti dadanya.

Farhan genggam dan angkat tangan Maria yang sudah dingin. “Mar, coba bilang ke aku kalau dokter tadi bohong.” Farhan masih terus berharap jika ini adalah tipuan dokter padanya untuk memberi kejutan di hari pernikahannya.

Namun, ini memang benar kejutan, bukan dari dokter, melainkan dari semesta. Sebuah kejutan yang tidak akan pernah diharapkan oleh siapapun.

“Mar, genggam balik tangan aku.” Biasanya, saat Farhan menggenggam tangan Maria, Maria akan membalas genggaman itu. Tetapi sekarang kondisinya sudah berubah, Maria sudah tak dapat lagi menggenggam balik tangan Farhan.

Farhan memandangi wajah Maria yang perlahan mulai memucat. Masih dengan harapan yang sama, Farhan berharap adanya suara yang keluar dari bibir Maria.

Suara Maria menjadi hal yang akan sangat Farhan rindukan kembali. Bagaimana siara yang dulu melayaninya di sebuah kafe, suara yang menyuruhnya untuk tidak melewatkan makan, suara yang memberikan segala pujian kepadanya.

“Mar, tatapan mata kamu bakal aku kangenin.” Farhan lalu mencubit pelan hidung Maria, tentu saja tak mendapat respon apapun. “Kata kamu, kalau nakal hidungnya harus dicubit buat hukuman. Kamu nakal karna ninggalin aku, jadi ini hukuman buat kamu, cubitan terakhir yang kamu terima.”

Setelah ini tidak ada yang mencubit hidung Farhan lagi ketika Farhan melewatkan sarapannya. Setelah ini pula Farhan tidak akan dapat mencubit hidung Maria saat gemas dengan Maria.

Farhan menjatuhkan tubuhnya merengkuh Maria, nama Maria terus ia sebut, berharap Maria akan membalas panggilannya.

“Mar, bangun. Shelly gimana kalau ngga ada kamu? Aku gimana kalau ngga ada kamu, Mar? Kamu tega ninggalin aku sama Shelly?” Tidak dapat menahan tangis, air matanya terus jatuh tanpa disuruh.

Mengingat kembali janji yang sudah ia katakan bersama Maria beberapa waktu yang lalu, rupanya ini alasan Maria berteguh pada pendiriannya untuk menikah sebelum melakukan operasi.


Farhan tiba di rumahnya bersama dengan jenazah Maria yang esok akan segera dimakamkan. Shelly berlari dari jauh dan langsung memeluk Farhan.

“Kak, Kak Maria mana?” Pertanyaan yang Farhan hindari justru menjadi pertanyaan paling awal yang ditanyakan Shelly padanya.

Farhan berlutut untuk menyamakan tingginya dengan Shelly, tangannya memegang pundak Shelly. “Kakak pergi ke tempat paling indah. Kakak nyusul ayah sama ibu Shelly.”

Sungguh berat hati Farhan mengatakan hal itu, tetapi ia juga tak mungkin menyembunyikan hal ini pada Shelly.

Shelly paham dengan perkataan Farhan, air matanya jatuh. “Kenapa kakak ninggalin Shelly? Shelly ngga punya siapa-siapa lagi selain kakak.”

Farhan langsung merengkuh tubuh kecil Shelly. “Shelly ngga sendiri, ada Kakak di sini, Shelly punya Kakak.”

Keesokan harinya, setelah pemakaman Maria selesai, Farhan masih tetap setia di samping makam sang istri. “Mar, kenapa di hari aku memiliki kamu sepenuhnya juga menjadi hari aku untuk merelakan kamu sepenuhnya?”

“Kenapa di hari yang harusnya penuh kebahagiaan justru menjadi hari penuh duka?” Tangan Farhan mengusap air matanya yang mulai jatuh kembali.

“Mar, aku ngga tahu harus mengenang kemarin sebagai hari apa. Apakah sebagai hari anniversary kita, atau justru mengenang kamu?”

Di sisi lain, Maria mulai membuka matanya. Kepalanya terasa begitu amat sakit, seperti ada yang sedang memukuli kepalanya.

Perawat dan dokter yang berada di sekitar Maria pun menjelaskan mengapa Maria berada di sini. Maria memohon pada dokter agar ia bisa bertemu dengan keluarganya sebentar.

Atas izin dari dokter, Farhan dapat masuk ke ruangan Maria untuk menemui Maria. “Mar, kamu ngga kenapa-kenapa, kan? Habis ini kamu mau kan untuk operasi? Kondisi kamu bakal lebih bahaya kalo ngga operasi. Mau ya?” Tangan Farhan menggenggam erat tangan Maria.

“Separah itu ya Kak?” Farhan mengangguk menjawab Maria. “Iya, Kak. Aku gapapa untuk operasi, tapi aku boleh minta sesuatu?”

Farhan mengerutkan dahinya. “Minta apa?”

“Aku minta kita udah sah jadi suami istri sebelum aku operasi.” Maria mengatakan hal itu sembari sesekali merintih sakit pada kepalanya.

“Kita ulang pernikahan kita setelah kamu sembuh ya? Sekarang fokus sama kesembuhan kamu, jangan mikirin yang lain dulu.” Farhan ingin Maria untuk memikirkan kondisinya terlebih dahulu.

“Kata Kakak, pernikahan kita bisa jadi mudah, kan? Kalau gitu, panggil Pendeta dan kita ucap janji di sini. Kakak buktiin omongan Kakak kemarin.” Semua perkataan Farhan untuk menunda pernikahannya sama sekali tidak dituruti Maria.

Maria hanya ingin menjadi istri Farhan sebelum ia menjalani operasi. Farhan berupaya untuk terus menolak Maria. Namun, rintihan terakhir Maria membuat Farhan memutuskan untuk menuruti permintaan Maria.

Maria menolak melakukan operasi jika ia belum menjadi istri Farhan. Mengulurkan waktu lebih banyak pula tak baik untuk kondisi Maria.

Berakhir Farhan meminta izin atas dokter untuk menghadiri Pendeta dan beberapa saksi untuknya dan Maria mengucap janji suci. Dokter menolak permintaan itu, tetapi Farhan tak henti-hentinya memohon pada dokter.

Farhan sampai berlutut di depan dokter agar memberikan izin dan dapat membuat Maria dengan segera dilakukan tindakan operasi. Dengan perasaan tidak tega, dokter akhirnya memberi izin pada mereka untuk melakukan janji sakral di rumah sakit.

Farhan selalu membuktikan ucapannya, hadirnya Pendeta dan para saksi dapat dengan cepat dihadirkan oleh Farhan. Ruangan rawat Maria menjadi tempat di mana mereka akan mengucapkan janji sakral.

Farhan menangis dalam mengucapkan janji pernikahannya diselingi suara Maria yang sangat lemah. Tidak butuh waktu cukup lama, kini mereka sudah menjadi sepasang suami istri.

Para saksi yang menyaksikan menjatuhkan air mata mereka karena haru. Air mata yang tidak bisa mereka tahan lagi pun tumpah ruah saat Farhan mendekat ke Maria dan mengecup singkat dahi Maria.

“Suami aku cengeng,” ucap Maria dengan selingan tawa kecil. Bagaimana bisa dalam kondisi seperti ini Maria masih bisa menunjukan senyumnya?

Farhan diam dalam tangisnya, ia tak kuasa melihat kondisi wanitanya saat ini. Hingga saat rintihan Maria menahan sakit terdengar kembali, Farhan langsung mengangkat kepalanya dan menyuruh dokter untuk segera melakukan operasi.

“Dok, ayo dok, segera lakukan operasi. Saya mohon jangan buat istri saya merasakan sakit lebih lama. Dok, buat istri saya sembuh dan tidak merasakan sakit lagi.” Farhan menatap dokter yang berada tak jauh darinya.

Matanya kembali fokus ke Maria, Farhan merasakan sakit luar biasa ketika melihat senyum Maria. “Mar, aku mohon sama kamu buat tetep kuat, ya? Habis ini kita bangun keluarga kita, kita wujudin satu per satu mimpi kita dari dulu, oke?”

Di sisi lain, Maria mulai membuka matanya. Kepalanya terasa begitu amat sakit, seperti ada yang sedang memukuli kepalanya.

Perawat dan dokter yang berada di sekitar Maria pun menjelaskan mengapa Maria berada di sini. Maria memohon pada dokter agar ia bisa bertemu dengan keluarganya sebentar.

Atas izin dari dokter, Farhan dapat masuk ke ruangan Maria untuk menemui Maria. “Mar, kamu ngga kenapa-kenapa, kan? Habis ini kamu mau kan untuk operasi? Kondisi kamu bakal lebih bahaya kalo ngga operasi. Mau ya?” Tangan Farhan menggenggam erat tangan Maria.

“Separah itu ya Kak?” Farhan mengangguk menjawab Maria. “Iya, Kak. Aku gapapa untuk operasi, tapi aku boleh minta sesuatu?”

Farhan mengerutkan dahinya. “Minta apa?”

“Aku minta kita udah sah jadi suami istri sebelum aku operasi.” Maria mengatakan hal itu sembari sesekali merintih sakit pada kepalanya.

“Kita ulang pernikahan kita setelah kamu sembuh ya? Sekarang fokus sama kesembuhan kamu, jangan mikirin yang lain dulu.” Farhan ingin Maria untuk memikirkan kondisinya terlebih dahulu.

“Kata Kakak, pernikahan kita bisa jadi mudah, kan? Kalau gitu, panggil Pendeta dan kita ucap janji di sini. Kakak buktiin omongan Kakak kemarin.” Semua perkataan Farhan untuk menunda pernikahannya sama sekali tidak dituruti Maria.

Maria hanya ingin menjadi istri Farhan sebelum ia menjalani operasi. Farhan berupaya untuk terus menolak Maria. Namun, rintihan terakhir Maria membuat Farhan memutuskan untuk menuruti permintaan Maria.

Maria menolak melakukan operasi jika ia belum menjadi istri Farhan. Mengulur waktu lebih banyak pula tak baik untuk kondisi Maria.

Berakhir Farhan meminta izin atas dokter untuk menghadiri Pendeta dan beberapa saksi untuknya dan Maria mengucap janji suci. Dokter menolak permintaan itu, tetapi Farhan tak henti-hentinya memohon pada dokter.

Farhan sampai berlutut di depan dokter agar memberikan izin dan dapat membuat Maria dengan segera dilakukan tindakan operasi. Dengan perasaan tidak tega, dokter akhirnya memberi izin pada mereka untuk melakukan janji sakral di rumah sakit.

Farhan selalu membuktikan ucapannya, hadirnya Pendeta dan para saksi dapat dengan cepat dihadirkan oleh Farhan. Ruangan rawat Maria menjadi tempat di mana mereka akan mengucapkan janji sakral.

Farhan menangis dalam mengucapkan janji pernikahannya diselingi suara Maria yang sangat lemah. Tidak butuh waktu cukup lama, kini mereka sudah menjadi sepasang suami istri.

Para saksi yang menyaksikan menjatuhkan air mata mereka karena haru. Air mata yang tidak bisa mereka tahan lagi pun tumpah ruah saat Farhan mendekat ke Maria dan mengecup singkat dahi Maria.

“Suami aku cengeng,” ucap Maria dengan selingan tawa kecil. Bagaimana bisa dalam kondisi seperti ini Maria masih bisa menunjukan senyumnya?

Farhan diam dalam tangisnya, ia tak kuasa melihat kondisi wanitanya saat ini. Hingga saat rintihan Maria menahan sakit terdengar kembali, Farhan langsung mengangkat kepalanya dan menyuruh dokter untuk segera melakukan tindakan.

“Dok, ayo dok, segera lakukan operasi. Saya mohon jangan buat istri saya merasakan sakit lebih lama. Dok, buat istri saya sembuh dan tidak merasakan sakit lagi.” Farhan menatap dokter yang berada tak jauh darinya.

Matanya kembali fokus ke Maria, Farhan merasakan sakit luar biasa ketika melihat senyum Maria. “Mar, aku mohon sama kamu buat tetep kuat, ya? Habis ini kita bangun keluarga kita, kita wujudin satu per satu mimpi kita dari dulu, oke?”

Jarum jam menunjukan pukul sepuluh lebih lima belas menit. Sudah waktunya untuk pengucapan janji pernikahan.

Farhan dan Maria akan dipertemukan dari kedua sisi berbeda yang berlawanan. Pintu dari sisi kiri terbuka, menampilkan mempelai pria dengan para pendamping di belakangnya.

Pintu dari sisi kanan ikut terbuka, menampilkan mempelai wanita dengan para pendamping di belakangnya. Keduanya dibiarkan untuk berpandangan satu sama lain dari jauh terlebih dahulu.

Maria memandang Farhan yang mengenakan jas hitam, membuat pesona Farhan menambah. Farhan merasakan detak jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Mereka dipersilahkan untuk berjalan maju, menuju Pendeta yang berada di tengah jalan mereka. Langkah demi langkah diambil, Farhan dan Maria semakin mendekat.

Sekarang, Farhan dan Maria sudah berhadapan. Mata Farhan tidak berkedip memandang paras ayu Maria. Maria hari ini menjadi berkali-kali lipat lebih cantik, dengan gaun putih yang ia kenakan.

Farhan tidak pernah menyangka bahwa gadis yang berada di depannya ialah gadis yang ia temui lima tahun yang lalu karena Shelly. Menurutnya, Shelly adalah penghubung antara dirinya dan Maria. Jika Shelly tak menghilang hari itu, mungkin ia tidak akan bersama Maria hari ini.

Selangkah lagi gadis di depannya akan sah menjadi istrinya. Pendeta memulai untuk menuntun Farhan dan Maria mengucapkan janji pernikahan.

Belum sempat Farhan mengucapkan janji, Maria terlebih dahulu jatuh dari tempatnya berdiri. Maria kehilangan kesadarannya, membuat Farhan panik.

Farhan dengan reflek langsung menggendong Maria dan berjalan tanpa arah. “Awas-awas, Maria harus dibawa ke rumah sakit.” Farhan meminta untuk semua orang tidak menghalangi jalannya.

“Han, bawa ke mobil Adit aja, mobilnya udah di depan.” Dika ikut berlarian menemani Farhan dan memberi tahu Farhan agar langsung mengarah ke area depan.

“Mar, bangun, Mar.” Farhan menepuk-nepuk pipi Maria di sela-sela larinya.

Farhan sudah kelewat panik, di saat berada di depan mobil Adit pun ia kebingungan sendiri untuk membuka pintu mobil. Farhan seperti kehilangan pikirannya dan tak kunjung membuka pintu mobil.

“Han, lo tenang dikit. Lo bisa minta gue buat bukain.” Dika yang berada di sebelah Farhan langsung membukakan pintu mobil.

Setelah pintu terbuka, Farhan langsung membawa dirinya bersama Maria masuk. Dika menutup pintu mobilnya dan berlari menuju kursi penumpang di sebelah Adit.

“Dit, gue mohon cepet, Dit.” Farhan memohon pada Adit agar lebih cepat melajukan mobilnya.

“Mar, kamu kenapa, Mar? Bangun, Mar.” Farhan tak henti-hentinya meminta Maria untuk bangun.

Kondisi jalan lumayan ramai, membuat mereka terjebak kemacetan sebentar. Membuat Farhan kembali dalam resahnya, memikirkan segala kemungkinan pada Maria.

Adit dan Dika pula tak henti-hentinya menenangkan Farhan dan menyuruh Farhan untuk memikirkan segala kemungkinan yang terjadi.

Mama Farhan sempat menghubungi Dika untuk memastikan kondisi anak dan calon menantunya. Dika langsung memberi tahu lokasi rumah sakit yang mereka tuju, agar keluarga Farhan dapat menyusul.

Tibalah mereka di rumah sakit, Farhan memasuki rumah sakit dengan tergesa sembari berteriak memanggil dokter atau siapapun yang dapat membantunya.

Mata semua orang tertuju pada mereka, karena Farhan dan Maria menggunakan busana pernikahan. Cukup terjadi sedikit kegaduhan akibat Farhan yang terlampau sangat panik.

Akhirnya beberapa perawat datang dan langsung mengarahkan Farhan untuk membawa Maria ke ruang UGD. Farhan diminta untuk menunggu di luar saat dokter memeriksa kondisi Maria.

Hampir lima belas menit dokter tak kunjung keluar dari ruang UGD, membuat Farhan tidak bisa tenang sama sekali. Ditemani oleh Adit dan Dika, kedua sahabatnya terus memberikan segala usaha mereka untuk menenangkan Farhan.

Farhan menghampiri seorang dokter yang keluar dari ruang UGD. “Pasien harus melakukan ronsen di bagian kepalanya, saya menduga ada suatu kerusakan pada organ dalam kepalanya. Tetapi saya harap jika dugaan saya salah.” Dokter berkata seperti itu.

Farhan langsung meminta dokter untuk melakukan apapun untuk Maria, yang terpenting adalah kondisi Maria. Tiga puluh menit berlalu, sudah ada Papa dan Mama Farhan serta Naka yang ikut menemani Farhan.

Setelah Maria selesai dironsen dan hasil ronsen sudah keluar, dokter meminta untuk wali dari Maria menemuinya. Dikarenakan kondisi Farhan tidak memungkinkan untuk menemui dokter, maka Papa Farhanlah yang menjadi wali Maria.

Di dalam, dokter memperlihatkan hasil dari ronsen kepala Maria. Tentu saja gambar yang ditunjukan sama sekali tidak Papa Farhan pahami. Dokter pun menjelaskan kondisi Maria, “Otak bagian belakang pasien mengalami pendarahan dalam, kemungkinan besar penyebabnya adalah karena benturan yang cukup keras.”

Dokter menjelaskan rinci dengan kondisi Maria saat ini. “Lalu apa yang harus dilakukan?” tanya Papa Farhan.

“Harus segera dilakukan operasi, pendarahan pada otaknya sudah cukup parah dikarenakan terlalu lama dibiarkan.” Langkah yang harus diambil adalah operasi, ternyata kecelakaan beberapa waktu lalu membuat pendarahan di otak bagian belakang Maria.

Papa Farhan meminta sedikit waktu berdiskusi dengan yang lain untuk keputusan operasi Maria. Dokter paham dan mempersilahkan Papa Farhan untuk berdiskusi dengan catatan jangan terlalu lama.

Farhan menuruni anak tangga, ia berjalan dari kamarnya menuju kamar di dekat ruang televisi. Ia tidak bisa tertidur, dan berakhir menghampiri seseorang untuk menemaninya.

Farhan mengetuk pintu kamar Maria. “Sebentar,” sahut Maria dari dalam.

“Eh Kakak, kenapa Kak?” tanya Maria saat membuka pintu kamar dan mendapati sosok Farhan.

“Udah ngantuk belum?” Maria membalas dengan gelengan, lalu Farhan menarik tangan Maria agar keluar dari kamarnya. “Nonton film aja yuk.”

Farhan mengajak Maria ke depan televisi, ia menyuruh Maria untuk duduk terlebih dahulu, dan Farhan pergi meninggalkan Maria sejenak untuk mengambil beberapa camilan.

“Kak, itu punya Shelly.” Maria melihat makanan yang dibawa oleh Farhan dan mengenal pemilik makanan tersebut. Pasalnya, Shelly bisa saja merajuk saat menyadari makanannya telah diambil seseorang.

“Gapapa, besok beli lagi.” Farhan menaruh beberapa makanan yang ia bawa ke meja.

Farhan duduk di sebelah Maria, ia mengarahkan kepala Maria agar bersandar pada pundaknya. “Sini, biar enak nontonnya.”

Farhan mengambil remote televisi dan mulai memencet tombol demi tombol untuk memutar film yang diinginkan. Setelah menemukan film yang diinginkan, Farhan menyandarkan punggungnya pada kursi, ia pula ikut menyandarkan kepalanya pada kepala Maria.

Tangan Farhan merengkuh pelan pinggang Maria, membuat Maria merasakan rasa setrum singkat pada tubuhnya.

Maria memainkan jemari milik Farhan yang berada di pinggangnya. “Kak, aku kesel deh sama Icha.”

“Emang dia ngapain?” Farhan melirik ke bawah, melihat apa yang sedang dilakukan kekasihnya.

“Minggu depan Icha sama Yadi nikah, dan aku ngga dikasih tau mereka sama sekali.” Maria mencubit kecil tangan Farhan, menyalurkan kekesalannya.

“Serius?” Farhan pula sama terkejutnya dengan Maria saat diberi tahu jika pekan depan Yadi dan Icha akan menikah.

Maria mengangguk. “Serius, makanya aku kesel banget. Masa acara penting kaya gini, aku ngga dikasih tau.”

“Mungkin mereka mau kasih surprise.” Dengan cepat Maria langsung membantah ucapan Farhan, “Surprise apaan kaya gini.”

“Bibirnya biasa aja dong, ngga usah maju-maju gitu. Gemes deh.” Farhan mencubit singkat hidung Maria. “Udah, keselnya udahan. Besok mending kita cari kado buat mereka.”

Maria mengangguk lalu memposisikan dirinya untuk sepenuhnya bersandar ke tubuh Farhan. Membuat Farhan tambah leluasa merengkuh tubuh kecil di sebelahnya.

“Mar, mau outdoor atau indoor?” tanya Farhan karena tiba-tiba saja memikirkan tentang pernikahannya.

“Kalau upacaranya indoor, terus resepsinya outdoor bisa ngga sih?” Maria ingin begitu dalam pernikahannya.

“Bisa, mau gitu aja?” Maria langsung mengangguk dengan semangat. “Iya Kak, gitu aja.”

“Kamu mau konsep foto prewedding-nya gimana?” Maria diam mencoba memikirkan serta membayangkan tentang konsep foto prewedding yang akan mereka gunakan.

“Kakak maunya kayak gimana?” Maria bingung, jadi ia serahkan saja pada Farhan.

“Kalau semisal kita kita ambil konsepnya simpel aja gimana? Bajunya ngga usah aneh-aneh, terus di dalem studio aja.” Maria mengangguk-angguk mendengar jawaban Farhan. “Ya udah, gitu aja, Kak.”

Pada dasarnya Farhan dan Maria adalah pribadi yang tidak ribet, jadi rencana seperti ini mereka tak butuh waktu lama untuk memikirkannya.

Sekarang keduanya fokus dengan film yang diputar, sesekali pula memakan camilan di depan mereka.

“Gimana filmnya, Mar? Bagus ngga menurut kamu?” Film sudah habis diputar, Farhan menanyakan pendapat Maria tentang film tadi.

Cukup lama Farhan menunggu jawaban Maria, tetapi tak diimbuhi apapun oleh Maria. Farhan menolehkan kepalanya melihat Maria, rupanya gadis itu sudah terlelap.

Farhan tertawa pelan, merasa gemas dengan Maria. Bagi Farhan, wajah Maria saat tertidur pulas sangatlah lucu.

Tangan Farhan meraih remote televisi dan memencet tombol off. Ia mulai mengangkat Maria, tetapi Maria menyadari adanya pergerakan, Maria pun langsung merasakan gelisah.

“Gapapa, ini aku, gapapa.” Farhan mengelus pundak Maria untuk menenangkannya.

Setelah Maria kembali tenang, Farhan mulai menggendongnya dan membawanya ke kamar. Farhan menidurkan Maria pada ranjang, ia tarik pula selimut untuk menyelimuti Maria.

Farhan berikan kecupan singkat pada dahi Maria dan mengucapkan selamat malam. Lantas setelah itu ia pergi keluar dari kamar Maria dan pergi menuju kamarnya sendiri.

“Maksud lo?” tanya Salma yabg terbingung dengan ucapan Daffa.

“Ini pacar lo, kan?” Daffa menunjuk pria di dekat Salma.

“Dia?” Salma menunjuk pria di sebelahnya yang dibalas anggukan oleh Daffa. “Hahaha, ngarang lo. Dia bukan pacar gue, dia pacarnya temen gue. Lah ini temen gue baru balik dari kamar mandi.”

Ada sosok perempuan yang keluar dari rumah Salma. Ternyata, pria tadi bukanlah kekasih Salma. Daffa malu, apalagi ia sempat memberi selamat kepada pria tadi.

Salma menarik tangan Daffa untuk pergi berdua saja. “Gue ngga punya pacar, Daff.” Salma kembali menegaskan berita sebenarnya.

“Diem, gue malu.” Salma tertawa mendengar penuturan Daffa.

“Mending sekarang lo jelasin ke gue, kenapa lo bisa ngga ada kabar selama ini?” Daffa meminta kejelasan akan kejadian kemarin.

“Waktu itu, hp gue ilang. Lo tau sendiri kalo selama ini gue pake uang tabungan bokap nyokap yang ditinggalin ke gue. Gue ngga bisa beli hp, gue cuma ada laptop dan gue cuma bisa berhubungan lewat email aja. Temen gue cuma satu, soalnya kita satu kost, sisanya cuma temen yang ngga begitu akrab.” Salma diam sejenak mengambil napas.

“Hidup gue di Jogja terlampau susah, Daff. Gue coba cari kerjaan sampingan pun ngga dapet-dapet. Alhasil gue harus hemat banget buat keperluan gue. Beberapa bulan lalu gue ada hp, itupun dikasih temen gue waktu gue ulang tahun. Kalo lo mikir gue ngga pernah nyoba hubungin lo, lo salah, gue udah coba chat email lo, soalnya gue lupa nomor lo.” Daffa terdiam mendengar cerita Salma, ternyata pikirannya salah pada Salma.

Sorry, gue ngga tau kalo keadaan lo kaya gitu.” Salma menggeleng. “Gapapa, ngga usah minta maaf.”

Daffa menghentikan langkahnya, memposisikan tubuhnya menghadap Salma. Tangan Daffa terulur menggenggam tangan Salma. “Gue mau nagih omongan lo empat tahun yang lalu. Gue juga bakal ngulang kalimat yang sama, will you be mine?”

Yes, I will.” Daffa langsung menarik Salma ke dalam dekapannya. Akhirnya ia mendapatkan ending indah dari skenario semesta.

Berakhirlah perjalanan Daffa dan Salma. Perjalanan yang penuh lika-liku, perjalanan yang tak mudah. Namun, mereka berhasil melewatinya.

Akhiri kisah mereka dengan senyum yang terukir di wajah. Sudahi saja kisah ini di sini, agar semesta tak kembali memberi mereka cobaan.

Daffa berjalan sembari memainkan sebuah kunci dengan gantungan karakter spongebob. Biasanya ia datang ke rumah Salma untuk melihat kondisi rumah dan membersihkannya.

Sejak menjadi mahasiswa semester akhir, ia tak pernah datang ke rumah Salma lagi. Daffa sibuk dengan segala tugasnya, dan barulah hari ini ia sempat datang ke rumah Salma lagi.

Langkah Daffa terhenti ketika melihat dua sosok di depan rumah Salma. Ada sosok yang teramat sangat ia rindukan dan ada sosok pria di sampingnya.

Senyumnya yang melihat Salma langsung luntur ketika melihat ada sosok pria lain. Daffa menyimpulkan jika Salma tengah bersama kekasihnya.

“Gue nungguin lo, Sal. Kenapa lo udah sama orang lain? Ini alasan lo nyuruh gue buat ngga maksain nunggu lo? Harusnya dari awal lo ngga usah nyuruh gue nunggu, dan harusnya dari awal gue ngga nunggu lo.” Daffa bermonolog dengan pikirannya sendiri.

Daffa kembali menertawakan skenario semesta yang tak pernah indah. “Kali ini, gue bener-bener kehilangan lo, Sal.”

Langkahnya berat, tetapi dia memberanikan untuk melangkah mendekat ke arah Salma. Tawa Salma terdengar, masih sama seperti yang terakhir Daffa dengar.

Daffa tiba di belakang Salma, Salma membalikan badannya ketika menyadari ada seseorang di belakangnya. Salma terkejut bukan main melihat Daffa, sosok yang juga amat sangat dirindukannya.

Daffa bersumpah, jika senyum Salma tidak ada yang pernah menandingi keindahannya. Parasnya yang ayu sekarang tambah teramat cantik. Salma pula terkejut dengan Daffa yang semakin memiliki badan kekar, penampilan Daffa pula berubah.

Salma meloncat bahagia lalu memeluk Daffa dengan sangat erat. “Gue kangen lo, Daff.”

Daffa tersenyum kikuk dan membalas pelukan Salma. “Gue juga. Ngomong-ngomong, selamat ya, sekarang udah ngga jomblo lagi. Tapi emang gue bodoh, gue nekat nungguin lo yang sama sekali ngga mengharapkan gue.”

Dua tahun sudah satu wanita yang Daffa cintai hilang tanpa kabar satupun. Daffa rindu akan sosok wanita itu, rindu dengan suaranya, rindu semua tentang wanita itu.

Salma, hanya nama itu yang berhasil memenuhi segala penjuru pikiran Daffa. Hanya berharap jika keadaan Salma baik-baik saja.

Ke manapun Salma pergi, ia selalu berada di pikiran Daffa, tak akan berpindah ke mana-mana. Kondisi Daffa sudah bisa bersosialisasi, seperti yang diharapkan Salma. Salma selalu meminta Daffa agar bersosialisasi karena Salma yakin, dirinya tak akan selalu ada untuk Daffa.

Malam ini Daffa terduduk di kamarnya, dengan memandang langit bintang dari dalam kamarnya. “Lagi dan lagi, gue kangen lo, Sal.”

Rasa rindu yang tak kunjung mereda, bahkan tiap harinya justru bertambah. Daffa sendiri tak tahu cara agar bisa meredakan rasa rindunya pada Salma.

Daffa memandangi satu per satu bintang di langit dengan jeli, tangannya terangkat lalu menunjuk satu per satu dari bintang di sana, menghubungkannya satu sama lain. “Sal, arti bintang itu, lo milik gue, dan gue milik lo. Hahaha, gue ngarang doang sih, gue ngga ahli dalam hal bintang. Gue juga ngga tau lo milik siapa.”

Seperti inilah Daffa tiap malam, selalu memikirkan Salma. Memikirkan segala skenario yang belum pernah terjadi. Daffa mengandai-andai jika dirinya sedang bersama Salma.

Hanya duduk dan menatap langit, atau berbaring dan menatap langit-langit atap. Diam tanpa kata apapun, tetapi pikirannya yang tak pernah bisa diam.

Daffa tak bisa melakukan apapun selain membuat skenarionya sendiri, di mana hanya ada dirinya dan Salma, tak ada orang lain.

Kemarin Daffa sudah berkunjung ke Jogja. Daffa mendatangi universitas di mana Salma menimba ilmu. Daffa pula mendatangi tempat yang terakhir kali Salma ceritakan padanya. Namun, semuanya nihil, Daffa sama sekali tak menemukan Salma.

Daffa sempat bertanya dengan petugas di sana, mereka berkata jika Salma sampai saat ini masih menimba ilmu di sana. Tandanya, Salma masih hidup, perkataan teman-temannya salah besar.

Daffa mencoba meminta sedikit informasi dari petugas di sana, tetapi tidak bisa, mereka sangat menjaga privasi dari mahasiswanya. Sekuat tenaga Daffa membujuk, tak kunjung ada imbuhan yang Daffa harapkan.

Daffa kembali ke Jakarta dengan perasaan kecewa. Tiga hari di Jogja ia tidak bisa menemukan Salma.

Daffa selalu menunggu malam tiba, mengapa? Karena malam adalah penghubung Daffa dengan Salma. Hanya di tidurnya, Daffa dapat melihat Salma.

Karena itulah Daffa selalu menunggu hadirnya malam, memang tak mudah untuk tidur, tetapi setidaknya ia masih bisa tidur sejenak. Tidak selalu bertemu Salma di alam bawah sadarnya, tetapi ia sering bertemu Salma di alam bawah sadarnya.

Kali kedua Daffa kehilangan sosok yang Daffa cintai, pertama ibunya lalu yang kedua Salma. Daffa menertawakan sendiri skenario semesta. Nyatanya, skenario paling indah adalah skenario miliknya sendiri.