Akhir

TW // mention of death

Farhan duduk di kursi yang berada di depan ruang operasi, menunggu sang istri yang sedang berada di dalam. Pikirannya terus berfokus pada Maria, merapalkan doa demi keselamatan Maria.

Operasi bukanlah pilihan mudah yang dapat diambil, karena dengan operasi kemungkinan untuk sembuh pun sedikit.

Setelah tiga jam menunggu, akhirnya operasi selesai. Dokter keluar dari ruang operasi dengan pakaian medis yang masih terpasang pada tubuhnya.

Farhan menghampiri dokter dan menanyakan kondisi Maria. Namun, kabar yang diberikan dokter justru tidak seperti yang diharapkan Farhan.

Dokter berkata, “Kondisi pasien turun drastis di tengah operasi berlangsung. Dan pada pukul 15.03 pasien atas nama Maria Melody Hanggara dinyatakan meninggal dunia.”

Bagai dihantam benda keras, Farhan tersungkur ke lantai. Kakinya sudah tak kuasa kembali untuk menumpu tubuhnya. Sebab, alasannya untuk berdiri sudah tak ada lagi. Maria sudah pergi meninggalkan dirinya.

Tatapan Farhan kosong tetapi terus mengeluarkan air mata. Diam di tempatnya tak berpindah sedikitpun, membuat Adit dan Naka membopong Farhan agar bangun.

Dokter mempersilahkannya untuk masuk ke dalam menemui Maria, sebelum jenazah Maria dipindah ke ruang jenazah. Farhan menguatkan kakinya untuk berjalan menemui Maria, ia meminta untuk semua orang meninggalkannya berdua dengan Maria.

Dari jauh, Farhan dapat melihat jelas istrinya yang memejamkan matanya dengan damai. Tambah ia mendekat, tambah pula sesak yang menyelimuti dadanya.

Farhan genggam dan angkat tangan Maria yang sudah dingin. “Mar, coba bilang ke aku kalau dokter tadi bohong.” Farhan masih terus berharap jika ini adalah tipuan dokter padanya untuk memberi kejutan di hari pernikahannya.

Namun, ini memang benar kejutan, bukan dari dokter, melainkan dari semesta. Sebuah kejutan yang tidak akan pernah diharapkan oleh siapapun.

“Mar, genggam balik tangan aku.” Biasanya, saat Farhan menggenggam tangan Maria, Maria akan membalas genggaman itu. Tetapi sekarang kondisinya sudah berubah, Maria sudah tak dapat lagi menggenggam balik tangan Farhan.

Farhan memandangi wajah Maria yang perlahan mulai memucat. Masih dengan harapan yang sama, Farhan berharap adanya suara yang keluar dari bibir Maria.

Suara Maria menjadi hal yang akan sangat Farhan rindukan kembali. Bagaimana siara yang dulu melayaninya di sebuah kafe, suara yang menyuruhnya untuk tidak melewatkan makan, suara yang memberikan segala pujian kepadanya.

“Mar, tatapan mata kamu bakal aku kangenin.” Farhan lalu mencubit pelan hidung Maria, tentu saja tak mendapat respon apapun. “Kata kamu, kalau nakal hidungnya harus dicubit buat hukuman. Kamu nakal karna ninggalin aku, jadi ini hukuman buat kamu, cubitan terakhir yang kamu terima.”

Setelah ini tidak ada yang mencubit hidung Farhan lagi ketika Farhan melewatkan sarapannya. Setelah ini pula Farhan tidak akan dapat mencubit hidung Maria saat gemas dengan Maria.

Farhan menjatuhkan tubuhnya merengkuh Maria, nama Maria terus ia sebut, berharap Maria akan membalas panggilannya.

“Mar, bangun. Shelly gimana kalau ngga ada kamu? Aku gimana kalau ngga ada kamu, Mar? Kamu tega ninggalin aku sama Shelly?” Tidak dapat menahan tangis, air matanya terus jatuh tanpa disuruh.

Mengingat kembali janji yang sudah ia katakan bersama Maria beberapa waktu yang lalu, rupanya ini alasan Maria berteguh pada pendiriannya untuk menikah sebelum melakukan operasi.


Farhan tiba di rumahnya bersama dengan jenazah Maria yang esok akan segera dimakamkan. Shelly berlari dari jauh dan langsung memeluk Farhan.

“Kak, Kak Maria mana?” Pertanyaan yang Farhan hindari justru menjadi pertanyaan paling awal yang ditanyakan Shelly padanya.

Farhan berlutut untuk menyamakan tingginya dengan Shelly, tangannya memegang pundak Shelly. “Kakak pergi ke tempat paling indah. Kakak nyusul ayah sama ibu Shelly.”

Sungguh berat hati Farhan mengatakan hal itu, tetapi ia juga tak mungkin menyembunyikan hal ini pada Shelly.

Shelly paham dengan perkataan Farhan, air matanya jatuh. “Kenapa kakak ninggalin Shelly? Shelly ngga punya siapa-siapa lagi selain kakak.”

Farhan langsung merengkuh tubuh kecil Shelly. “Shelly ngga sendiri, ada Kakak di sini, Shelly punya Kakak.”

Keesokan harinya, setelah pemakaman Maria selesai, Farhan masih tetap setia di samping makam sang istri. “Mar, kenapa di hari aku memiliki kamu sepenuhnya juga menjadi hari aku untuk merelakan kamu sepenuhnya?”

“Kenapa di hari yang harusnya penuh kebahagiaan justru menjadi hari penuh duka?” Tangan Farhan mengusap air matanya yang mulai jatuh kembali.

“Mar, aku ngga tahu harus mengenang kemarin sebagai hari apa. Apakah sebagai hari anniversary kita, atau justru mengenang kamu?”