eltta

Azra menggandeng tangan Juli dari halaman rumahnya hingga masuk ke dalam rumahnya. Sudah Juli tolak genggaman tangan Azra, tapi Azra tetap kekeh menggandeng tangan Juli.

Saat masuk ke dalam, rupanya ada Mama Azra yang sedang menonton televisi. “Eh Adek udah pulang, bawa siapa itu, Dek?” tanya Mama Azra yang sontak berdiri dan menghampiri Azra dan Juli.

“Pacar Adek, Ma,” jawab Azra yang langsung mendapat tatapan tajam dari Juli.

“Maksud lo apa?” tanya Juli dengan tersenyum canggung ke arah Mama Azra tetapi mulutnya mendekat ke telinga Azra dan berbisik.

Azra tak menjawab pertanyaan Juli, Azra mencium tangan sang ibu dan segera berpamitan. “Ma, aku ke ruang kerja Papa dulu, mau coba baca buku-buku Papa,” pamit Azra.

Azra menarik tangan Juli tiba-tiba. “Duluan ya, Tante,” pamit Juli yang langsung mengikuti langkah Azra.

Tanpa permisi, Azra membuka pintu yang berukuran lumayan besar di satu lorong rumahnya. Ruangan di dalamnya sangat rapi, ada sebuah meja kerja dengan rak buku besar di belakangnya.

Azra sebenarnya sangat asing dengan ruangan ini, karena ia sangat malas masuk ke dalam sini untuk menemui ayahnya atau hanya sekadar masuk saja.

Mereka menatap kagum memandangi satu ruangan dengan nuansa berwarna cokelat. Azra berpikir kemungkinan besar ruangan ini akan menjadi miliknya kelak.

Azra menuntun Juli agar duduk di sebuah sofa yang terdapat tak jauh dari meja kerja. Ia meninggalkan Juli yang masih sibuk memandangi ruangan ini dengan sangat jeli.

Langkah Azra mendekat pada rak buku di belakang meja kerja ayahnya. Tangannya menyentuh banyaknya buku sembari membaca satu per satu dari judul buku di sana.

Bermacam-macam judul buku yang ia tak tahu apa maksud dari buku tersebut. Maka ia ambil dengan asal salah satu buku di sana.

Langkahnya mendekat ke kursi di meja kerja ayahnya. Ia mendudukkan dirinya di sana, bersandar pada sandaran bangku dan berkhayal jika ia menjadi sosok seperti ayahnya.

Mungkin aja wibawanya akan semakin tinggi, orang-orang yang berurusan dengannya hanyalah orang-orang penting dan tidak sembarang orang bisa berkerja sama dengannya.

Ia lupa jika ada sosok lain di dalam ruangan ini. Sosok itu sedang memandanginya dengan tatapan geli dan menahan ketawa.

“Lo ngapain coba gayanya kayak gitu?” tanya Juli yang mendekat ke arahnya.

“Gapapa, gue lagi halu kalo besok jadi pengacara atau hakim,” jawab Azra dengan santai.

Juli justru tertawa kencang mendengar jawaban dari Azra, membuat kedua alis Azra berkerut.

“Jangan halu dulu lah, halu doang tapi nggak ada usahanya mah percuma.”

Azra tak menghiraukan ucapan Juli, ia beralih membuka buku yang tadi sudah ia ambil. Netranya dengan pelan membaca satu persatu kata yang tertulis di sana.

Baru membaca daftar isinya saja, ia langsung menutup bukunya. “Gue nggak jadi masuk hukum deh, pusing ternyata.”

“HEH!” Juli memukul meja di hadapannya, Azra tentu terkejut atas perbuatan Juli.

“Lo tuh jangan plin plan deh, dulu nggak mau, terus kemarin mau, sekarang balik lagi nggak mau. Punya pendirian dong, jadinya lo mau atau nggak mau?!” lanjut Juli dengan rahang menguat.

“Ampun, ampun, iya gue mau.”

Juli meninggalkan Azra yang kembali membuka bukunya, ia ikut mencari sebuah buku yang ingin dia baca.

Saat memandang judul buku yang berjajar rapi di sana, ia tertarik dengan satu buku yang berada di rak atas. Tangannya mencoba meraih buku itu, tapi ia tak sampai. Kakinya bahkan sudah berjinjit, tapi ia tak kunjung meraih buku itu.

Hingga tak sadar ada tangan yang lebih besar dari ukuran tangannya mengambil buku yang ia inginkan. Ia menoleh ke belakang dan dihadapkan dengan dada besar Azra.

Usai mengambil buku yang Juli ingin, Azra menolehkan pandangannya ke bawah menatap Juli. Wajahnya kian lama kian mendekat ke arah wajah Juli.

Juli terdiam atas tatapan yang Azra berikan, wanita itu memejamkan matanya yang seolah tahu apa yang terjadi selanjutnya.

Saat wajah mereka hanya berjarak lima sentimeter, mereka dikejutkan dengan ketukan pintu yang menyerukan nama Azra. “Adek, ini Mama bawa minum sama cemilan buat kamu sama pacar kamu,” ucap Mama Azra dari luar ruangan.

Mereka gelagapan dan segera Azra membuka pintu ruangan tersebut dan menerima minum serta camilan yang dibawakan mamanya.

Masih bungkam seribu kata, mereka akhirnya berpisah menjauh. Azra di meja kerja ayahnya, dan Juli di sofa dekat sana.

Suasana menjadi canggung akibat kejadian barusan. Keduanya mencoba melupakannya dengan membaca buku, tetapi justru mereka kembali mengingat kejadian tadi.

Tama mengangkat tangannya untuk melihat arloji yang menempel pada pergelangan tangan kirinya. Tertampil jarum jam menunjukkan pukul dua belas dini hari.

Namun, sang anak masih belum terlelap. Ken masih gelisah tak nyaman tidur di dekapan Sandra. Berakhir Tama yang sekarang menimang sang anak agar kembali terlelap dalam tidurnya.

“Tam, aku keluar bentar, ya. Sumpek di dalem kamar,” ucap Sandra sembari berusaha turun dari ranjang rumah sakitnya.

Tama bergegas menghampiri Sandra dan mengulurkan tangan kanannya membantu Sandra. “Udah malem gini mau ke mana?” tanya Tama.

“Cari udara aja, paling ke taman rumah sakit aja.” Sandra mengambil cairan infusnya dan akan ia bawa keluar.

“Aku temenin aja sini.” Tama meraih kantung cairan infus yang dibawa Sandra, tetapi Sandra dengan cepat merebutnya kembali.

“Nggak, kamu di sini aja nidurin Ken,” ucap Sandra.

“Tapi kamu kuat jalan sendiri?” tanya Tama mengingat kondisi Sandra pasca melahirkan.

Acungan jempol menjadi jawaban dari Sandra. Tama pun membiarkan istrinya berjalan keluar dengan perasaan khawatir.

Dengan langkah pelan dengan sedikit menahan rasa sakit, Sandra keluar dari kamar rawatnya. Di depan kamar sudah ada yang menunggunya dengan membawa satu kue ulang tahun.

“Mama gapapa keluar kayak gini?” tanya Keyna yang mendapati mamanya keluar dari kamar.

Sebelumnya Keyna sudah melarang Sandra untuk keluar, tetapi Sandra tetap nekat keluar untuk menemui sang anak. Ia bersikeras ingin sama-sama memberikan kejutan untuk ulang tahun sang suami.

“Gapapa, aman. Kamu yang bawa kuenya ya, Mama bawa ini soalnya.” Sandra menunjukkan kantung infus yang ia bawa.

“Ini mau masuk sekarang atau nanti?” tanya Keyna dengan suara pelan, takut jika suara mereka terdengar hingga dalam kamar.

“Sekarang aja deh, Mama takut lama-lama di luar gini.” Sandra melihat ke sekeliling lorong yang kosong dan sepi.

Keyna mengangguk dan tertawa pelan melihat mamanya sedikit ketakutan. Sandra membuka kenop pintu kamarnya dan membiarkan Keyna masuk terlebih dahulu.

Happy birthday Papa, happy birthday Papa. Happy birthday, happy birthday, happy birthday Papa.” Sandra dan Keyna bernyanyi dengan pelan takut jika membangunkan bayi yang sedang digendong Tama.

Tama memandang ke arah istri dan anaknya yang sedang membawa kue dengan satu lilin kecil tertancap di sana. Tama menggelengkan kepalanya pelan, tak menyangka ia akan mendapatkan sebuah kejutan kecil seperti ini.

“Ayo make a wish dulu,” ucap Keyna mendekatkan kue yang ia bawa ke hadapan Tama.

Tama menutup matanya, semoga kami bisa selalu berkumpul seperti ini dengan hangat, permintaan Tama dalam hati. Seusai membuat permintaan, Tama membuka matanya dan meniup pelan lilin kecil di sana.

“Yey,” sorak Keyna dan Sandra dengan memberikan tepuk tangan pelan.

“Pa, mau kado apa?” tanya Keyna sembari menaruh kue yang ia bawa ke meja di dekat ranjang rumah sakit.

“Tahun ini Papa udah dapat banyak kado indah. Nikah sama Mama, punya kamu, dan paling indah adalah Ken.” Tama memandang anak laki-lakinya dengan senyum mengembang.

Kebahagiaan saya tahun ini lengkap, terima kasih, Tuhan.

Lima belas menit setelah Azra mengirimkan pesan pada abangnya, ia benar-benar sampai di rumah. Ia buka pintu rumahnya, ia melihat papa dan abangnya duduk di depan televisi, menunggunya untuk pulang.

Pandangan mata papa, abang, serta mama yang berada di dapur langsung terarah ke pintu yang terbuka. Mama menghampiri Azra dengan senyum lebar. “Azra, udah pulang, Nak? Yuk, sini, makan dulu, kamu pasti belum makan 'kan?”

Azra menggeleng, ia menepis pelan tangan sang mama yang berada di lengannya. “Nggak usah Ma, aku udah makan.”

Azra duduk di sofa single dekat papanya, ia mengambil remot televisi yang berada di meja depannya. Jari jempolnya menekan tombol off, mematikan televisi yang tadinya tengah ditonton papa dan abangnya.

“Nggak perlu basa-basi, Papa mau bilang apa?” Nada dingin keluar dari mulut Azra, tetapi membuat suasana kian memanas.

Papa Azra memposisikan dirinya menyerong menatap Azra. “Papa minta kamu buat masuk ke hukum,” ucap papanya yang membuat Azra memutar bola matanya malas.

“Azra udah bilang 'kan? Azra enggak mau.” Azra hendak beranjak dari tempat duduknya, tetapi Gion tahan. “Gue udah bilang 'kan buat lo dengerin dulu alesan Papa?”

“Ya,” jawab singkat Azra yang langsung kembali ke tempat duduknya.

“Azra, alasan pertama Papa itu karena hanya kamu penerus Papa untuk hal ini. Abang kamu udah nggak mungkin lagi, dia udah jadi model, dan dia nggak punya pengalaman apa pun tentang hukum.” Papa Azra menghela napasnya dalam, mulutnya terbuka untuk melanjutkan ucapannya, tetapi Azra memotongnya.

“Jadi, cuma Abang doang yang boleh kejar hal yang dia mau? Dan aku yang harus jadi tumbal? Aku juga nggak ada pengalaman apa pun di dunia hukum.” Rahang Papa Azra mulai mengeras, urat di dahinya mulai bermunculan tanda menahan emosi.

“Azra! Bisa kamu dengerin Papa dulu? Bisa dengerin Papa sampai selesai bicara?! Kamu harusnya tau sopan santun ngomong sama orang tua.” Terlontar sudah semua emosi yang Papa Azra tahan, menurutnya Azra sudah melewati batas.

Ia paham jika anaknya masih ingin menentang permintaannya, tetapi bukan seperti ini caranya untuk melawan atau membela.

Azra bungkam, ia terdiam atas nada tinggi yang baru saja terlontarkan papanya. Nada tinggi yang baru saja terlontar sedikit membuatnya merasa takut.

Papa mencoba meredakan amarahnya dan mulai berbicara kembali, “Kesempatan buat kamu sukses di dunia hukum juga besar. Papa udah ada perusahaan yang tinggal kamu teruskan aja. Kamu masih bisa melakukan semua hobi kamu, atau mungkin kamu mau punya pekerjaan lain pun masih bisa.”

“Terakhir, karena Papa tau kamu bisa. Kamu hanya nggak mau, bukan nggak bisa. Cuma kamu yang jadi satu-satunya harapan Papa. Kalau memang kamu enggak mau, perusahaan akan Papa turunkan ke orang lain. Tapi kalau kamu mau, Papa dengan senang hati menunggu kamu siap.” Papa mendaratkan dua tepukan pada bahu Azra, lalu ia sunggingkan senyum lebar pada putra bungsunya.

“Udah?” tanya Azra yang dibalas anggukan kecil dari papa.

“Ya udah, Azra capek, mau tidur. Papa, Mama, sama Abang juga istirahat. Malam semua,” pamit Azra meninggalkan seluruh anggota keluarganya yang lain.

Malam ini tidurnya tidak tenang karena menimang semuanya. Manakah yang harus ia pilih? Rasanya tak tega melihat papa yang begitu berharap ia untuk meneruskan pekerjaannya.

Namun, ia tak ingin pula mengerjakan sebuah pekerjaan yang bukan ia minati. Ia berharap ada seseorang yang mampu membantunya memilih pilihan yang tepat, siapakah itu?

Malas, sebenarnya Juli sangat malas menemani Azra basket. Namun, apa boleh buat, ia mau tak mau harus menemani Azra.

Ya sudah, anggap saja Juli akan mencuci matanya dengan melihat anak-anak lain yang ia anggap memiliki pesona berbeda ketika sedang bermain basket.

Terlihat Azra, Riyan, serta teman yang lain sudah berkumpul di tengah lapangan dengan pelatih basket. Mereka melakukan pemanasan lalu terbagi menjadi dua tim.

Juli duduk persis di samping lapangan, ia mendekat ke stopkontak untuk mengisi daya ponselnya yang mulai habis. Sebelumnya ia ingin melihat dari lantai dua sekolahnya, tetapi ia malas melihat para gadis lain yang sangat heboh.

Merasa bosan, Juli membuka ponselnya dan mengambil beberapa foto selfie untuk menghilangkan rasa bosannya. Tak sadar jika Azra sudah selesai melakukan pemanasan dan menghampirinya.

“Nitip dong.” Azra memberikan ponsel dan botol minumnya pada Juli.

Juli mengangguk dan menerima ponsel dan botol minum milik Azra. “Kalo hp-nya lagi dicas tuh jangan dimainin. Pake hp gue aja selfie-nya, nanti gue kirim ke lo,” ucap Azra yang setelah itu meninggalkan Juli.

Juli membuka ponsel Azra, ia mengetikkan sandi pada ponsel Azra. Yang ia tahu, hanya ia sendiri yang mengetahui sandi ponsel Azra.

Juli membuka kamera ponsel Azra, mengarahkannya untuk berfoto. Lagi-lagi Azra tiba-tiba muncul di hadapan Juli, Azra berjalan menuju belakang Juli.

“Jul, foto Jul, kayaknya gue keren pake jersei gini.” Juli mengarahkan kameranya sedikit ke belakang agar Azra terlihat di kamera. Azra berpose dengan gaya seperti sedang merapikan rambut, dan Juli berpose dengan menunjukan jempolnya.

“Eh, Juli. Lo nggak ikut main?” tanya seseorang dari belakang. Juli sontak menoleh ke belakang, rupanya itu adalah Rafael.

“Enggak,” jawab singkat Juli.

“Ikut main aja lah,” ucap Rafael sembari menunjuk ke lapangan. Juli hanya menggeleng sebagai jawabannya. Rafael berjalan ke arah lapangan dengan tawa menggodanya.

Entah mengapa rahang Azra justru mengeras melihat Rafael. “Lo jangan ganggu pacar gue,” ucapnya pada Rafael dengan sedikit keras agar Rafael dapat mendengarnya. Rafael menarik bibir sebelahnya dan mengangkat alis sebelahnya untuk menanggapi Azra.

“Songong ni anak.” Azra mengepalkan satu tangannya, siap untuk menghajar orang yang sepertinya sedang bermain-main dengannya.

“Lo nggak usah aneh-aneh, awas aja lo,” peringat Juli dari bawah. Azra menoleh ke bawah dan melihat Juli yang duduk di bawah dengan menggelengkan kepalanya serta dengan mata tajam menatapnya.

Kepalan tangan Azra terbuka, ia melangkahkan kakinya kembali ke lapangan. Di sana sudah terbagi dua tim, mereka akan memainkan empat match kali ini.

Bola pertama pada match pertama dimasukkan oleh Azra. Membuat banyak gadis bersorak, berisik banget mereka, batin Juli.

Juli hanya memicingkan matanya menghadap ke atas dengan tatapan tak suka atas reaksi para gadis di sana, yang menurutnya terlalu lebay. Padahal, reaksi seperti itu sudah biasa saat melihat pertandingan bola basket seperti ini.

Tangannya menyatu menutupi matanya dari sinar matahari yang menyorotnya. Ia ingin berpindah tempat, tetapi daya ponselnya masih belum penuh untuk ia cabut.

Match pertama dimenangkan oleh tim Rafael, tim Azra sedikit merasa kecewa atas kekalahan mereka karena yang memasukkan bola pertama kali ialah Azra, seharusnya tim mereka bisa menang.

Namun, pelatih kembali mengingatkan mereka jika mereka adalah teman, tidak boleh ada permusuhan di antara mereka. Lagi pula, memasukkan bola pertama belum tentu akan menjadi pemenang di akhir.

Hanya jeda sebentar yang diberikan pelatih untuk mengevaluasi permainan match pertama. Mereka langsung lanjut ke match kedua setelah evaluasi dari pelatih.

Match kedua cukup kacau, sepertinya terjadi persaingan amat sengit di antara kedua tim. Pandangan Juli yang awalnya menghadap ponsel, kini beralih menatap pertandingan akibat Azra yang berteriak, “JANGAN MAIN FISIK, ANJING!”

Azra tak peduli teriakannya akan didengar pelatihnya, ia kesal karena tim lawan justru terus-menerus mencari kesempatan menjatuhkan timnya. Membuat timnya pula ingin bermain fisik dengan tim lawan, ia hanya ingin permainan yang sportif.

Match kedua selesai, pelatih memberi waktu sepuluh menit untuk beristirahat setelah memberikan evaluasi. Azra berjalan ke arah Juli, meminta botol minumnya.

Azra berdiri persis di hadapan Juli, Juli mendongak ke atas menatap Azra yang terlihat masih dengan napas tak beraturan. “Ngapa tadi teriak-teriak?” tanya Juli.

“Pada kebawa emosi, main fisik. Ada yang nyenggol sana-sini.” Azra menjelaskan pada Juli sembari sibuk mengusap keringat pada kening dan sekitar kepalanya.

“Lo nggak bawa handuk?” tanya Juli melihat Azra yang kesulitan membasuh keringatnya.

“Enggak, ketinggalan tadi.” Juli berdiri dan berjalan menuju tasnya, ia mengambil tisu yang ia bawa. Berjalan mendekat kembali pada Azra, lalu ia usap keringat yang membasahi wajah dan leher Azra.

Peluit berbunyi, tanda jika match tiga akan segera dimulai. “Gue balik dulu, sabar ya, masih dua match lagi,” pamit Azra yang langsung masuk kembali ke lapangan.

Juli memperhatikan permainan yang berlangsung, walau ia tak mengerti bagaimana peraturan dalam permainan bola basket. Dari jauh ia melihat jika sebuah bola basket akan mendekat padanya, dengan cepat ia tepis bola itu menggunakan jarinya saat bola itu mendekat.

Pandangan seluruh pemain dan penonton terarah padanya, sebab hampir saja bola ikut mengenainya. “Woi, kalo main yang bener dong. Ini ketiga kalinya lo buat bola out ke arah pacar gue.” Azra berteriak pada Rafael, ini ketiga kalinya Rafael melesetkan bolanya ke arah Juli.

“Woi, gue baru tau kalo Azra punya cewek. Wah emang orang ganteng ga ada yang jomblo.” Samar-samar Juli mendengar ucapan itu dari gerombolan di lantai dua, membuatnya malu setengah mati.

Karena malu, Juli memutuskan untuk pergi dari pinggir halaman, menuju kursi di dalam lobi yang masih tetap bisa melihat ke arah lapangan.

Ia sudah tak mempedulikan lagi yang terjadi di lapangan, tetapi namanya disebut tiba-tiba, membuatnya sontak menengok ke arah lapangan. “Jul, bisa tolong ambil obat merah ke UKS? Ini Rafael jatuh, terus jatuh.”

Juli berlari ke ruangan UKS untuk mengambil sebuah obat merah dan kapas. Sesampainya di pinggir halaman, Riyan berbicara padanya, “Jul, tolong obatin Rafael dulu, ya? Gue sama yang lain masih disuruh lanjut main.” Acungan jempol Juli menjadi jawaban untuk Riyan.

“Shh, pelan-pelan Jul,” ringis Rafael ketika Juli menempelkan kapas yang sudah diberi obat merah pada lutut Rafael.

“Iya-iya, lagian kenapa bisa sampe jatuh gini sih?” tanya Juli yang masih menatap luka Rafael dengan telaten mengobatinya.

“Cowok lo tuh, mainnya nggak bisa nyantai. Katanya jangan main fisik, eh dia sendiri yang main fisik.” Azra terbawa emosi, ia memberikan sebuah sandungan pada kaki Rafael ketika bermain tadi.

Seusai mengobati luka Rafael, Juli memutuskan duduk di samping Rafael untuk menemaninya menonton teman-temannya bermain. Mereka asik mengobrol, sesekali Rafael menjelaskan tentang cara bermain serta peraturan dalam permainan bola basket.

Tak sadar jika dari kejauhan ada yang diam-diam memperhatikan mereka dengan tatapan tak suka. Permainan Azra tak fokus, membuatnya kalah sore hari ini. Mood-nya terasa sangat jelek, entah mengapa.

Selesai bermain, Azra menghampiri Juli seusai berpamitan dengan seluruh tim dan pelatihnya. Ia berdiri di depan Juli dan memainkan rambut Juli iseng.

“Pulang yuk, capek 'kan?” ajak Azra pada Juli yang kini sedang mendongak dan berkerut heran menatapnya. Ni cowok satu ngapa dah buset, aneh banget, batinnya.

Azra seolah mengabaikan seseorang di dekat mereka. Rafael berdehem mengode Azra dan Juli jika dirinya masih berada di sini. “Eh Rafael, sorry ya tentang tadi, gue nggak sengaja, lo gapapa 'kan?” ucap Azra pada Rafael.

Rafael mengangguk dan mengacungkan jempolnya, menandakan ia baik-baik saja. Azra menarik tangan Juli agar Juli berdiri. “Sayang, ayo pulang, capek,” rengek Azra dengan suara cukup keras, yang dapat Juli yakini jika seluruh orang di sana dapat mendengarnya.

I'm feel so tired now, can I skip this moment? Only in this moment, please?

Keluhan terus menerus keluar, merutuki segala hal yang terjadi. Mengolok diri sendiri akibat kebodohan orang lain.

Menjadi tempat pembuangan kesalahan orang lain. Harus menanggung kesalahan orang lain. Tak mudah menolak kesalahan orang lain itu. Karena orang itu ialah orang terdekatnya, bahkan orang itu adalah bagian terpenting di hidupnya.

Hanya ingin melewati satu step perjalanan ini, ingin pergi sejenak dari moment ini. Ingin sekali saja lari dari masalah yang bukan ia buat. Bolehkah?

Motor hitam milik Azra berhenti di depan rumah Juli. Azra memencet tombol klaksonnya sekali untuk memberi tanda kepada Juli, jika ia sudah sampai.

Juli mendengar suara klakson milik Azra pun lantas bergegas keluar dari rumah dengan terburu-buru, takut jika Azra terlalu lama menunggunya.

Ia berlari ke arah Azra sembari memasukan beberapa barang ke dalam tasnya. Sampai-sampai Juli hampir terjatuh karena tak memperhatikan langkahnya.

“Nggak usah lari-lari 'kan bisa. Sakit nggak kakinya?” tanya Azra saat Juli sudah mendekat padanya.

“Dikit,” cicit Juli sembari meringis kecil.

Heels lo copot aja. Ganti pake sepatu atau sendal biasa.” Azra menatap kaki Juli yang memakai sepatu dengan hak lumayan tinggi.

Kaki Juli akan terasa lebih sakit lagi jika memakai sepatu itu, maka Azra meminta Juli menggantinya.

“Nggak usah, gue mager ganti. Mau pake ini aja.” Juli enggan mengganti sepatunya. Ia langsung mengambil satu helm pada genggaman tangan Azra dan naik ke motor Azra.

Ngeyel banget ni bocah, batin Azra.

“Bokap nyokap lo di rumah nggak?” tanya Azra menoleh pada kaca spionnya menatap Juli.

“Nggak ada, kenapa emang?”

“Pamitan lah, 'kan gue mau ngajak anak gadisnya pergi. Eh, lo masih gadis, kan?” ucap Azra yang langsung mendapat satu pukulan di pundaknya.

“Ngomong apa lo?!” Juli memukul pundak Azra cukup keras hingga sang empu meringis kecil.

“Bercanda elah. Ya udah berangkat aja kita, nanti di sana jangan pake gue-lo, tapi pake aku-kamu.” Juli tak menjawab, ia justru mengeluarkan ponselnya dan memainkannya.

“Paham, Sayang?” ucap Azra dengan penekanan pada kata terakhirnya. Membuat Juli tersontak terkejut mendengarnya.

“Monyet. Iya paham.” Azra terkekeh dan segera melajukan motornya. Sesekali menoleh pada kaca spionnya yang terarah ke Juli.

Azra dan Juli sudah hampir dua tahun berteman, dan itulah yang membuat mereka tidak begitu canggung. Mereka terkenal dengan julukan Tom and Jerry, karena mereka tak pernah akur.

Maka dari itu, mungkin ini alasan Andi memberi sebuah dare seperti ini kepada mereka. Andi ingin melihat Azra dan Juli jika menjadi akur tanpa ada adu mulut di antara keduanya.

Jujur saja Juli merasa sangat konyol karena menerima tantangan dari Andi begitu saja. Padahal itu tadi hanyalah permainan biasa saja, yang seharusnya tidak akan ada tantangan seperti ini.

Tapi apa boleh buat, ia terlanjur menerima tantangan itu agar tak terkalahkan dari Azra. Azra pun mau tak mau harus menerima tantangan dari Andi agar ia terlihat seperti lelaki sejati yang selalu menerima segala tantangan.

“Gue duluan ya,” pamit Tiara pada Lia sembari memasuki mobil.

“Iya, hati-hati.” Lia menemani Tiara hingga dijemput, ketika Tiara sudah dijemput, maka ini gilirannya untuk pulang.

Lia berjalan menuju halte bus yang berada tak jauh darinya. Di kejauhan, ia bisa melihat Jeri yang membawa kamera.

Lensa kamera Jeri terarah ke arahnya, Lia sudah dapat menduga jika Jeri sedang memotretnya. Dari posisi awal yang merapikan rambut, kini tangannya terangkat mendekati pipi dengan menunjukan dua jari.

Dirasa Jeri sudah selesai memotretnya, Lia pun mendekat ke arah Jeri untuk melihat hasil fotonya. Karena tali kamera menggantung pada leher Jeri, maka Lia tidak bisa menarik kameranya terlalu jauh.

Sejujurnya Lia sama sekali tidak bisa melihat hasil fotonya, karena pantulan matahari pada layar kamera membuatnya tak bisa melihat apapun. Tetapi diamnya masih fokus pada kamera walau ia membeku karena kini jaraknya dan Jeri sudah terlampau sangat dekat, bahkan kepala mereka hampir menempel.

Jari Lia terarah memencet tombol pada kamera dengan niat hati melihat foto lain, tetapi justru ia memencet tombol yang salah. Kamera Jeri diserahkan pada Lia dan tangan Jeri menyentuh tangan Lia untuk mengajarinya arti dari masing-masing tombol yang berada di sana.

Ternyata hasil dari foto Jeri barusan ialah tangan Lia yang sudah telat berpose, membuat hasil foto menjadi kurang bagus.

“Tangan lo sih ngga bisa diem, sini gue fotoin lagi.” Jeri menarik kembali kamera yang sedang dibawa Lia dan ia memundurkan kakinya beberapa langkah.

Jeri mulai mengarahkan kameranya pada Lia, jujur saja Lia sudah tak tahu harus memberikan pose apa lagi, dirinya terlanjur salah tingkah dan berakhir berpose apa adanya.

Lia sudah tak bisa menahan hal ini terlalu lama, ia memutuskan pamit pada Jeri agar muka merahnya tidak terlihat oleh Jeri. “Gue duluan ya, keburu busnya dateng. Lo lagi nunggu Ekal?”

“Iya, mau main dulu kita. Lo ati-ati ya,” jawab Jeri dengan tangan yang melambai pada Lia.

Lia melangkahkan kakinya sedikit cepat untuk segera ke halte bus, beruntungnya bus datang tidak lama dari ia masuk ke halte. Perasaan berkecamuk yang dirasakan Lia selama perjalanan pulang.

Senyumnya tidak bisa berhenti ia tarik, perutnya seperti ada yang menggelitiki. Turun dari bus pun ia tidak bisa berhenti melupakan kejadian tadi, mengingat jika Jeri adalah pria idamannya di sekolah.

“Mampir ke minimarket di depan sebentar dong,” ucap Pio kepada sang kekasih di sebelahnya.

Okta menolehkan pandangannya sekilas menatap Pio. “Mau ngapain?”

“Mau beli baju.” Pio tersenyum dan melanjutkan kembali ucapannya, “Ya mau beli jajan dong, ganteng.”

Bagi Pio, pertanyaan yang dilontarkan Okta adalah pertanyaan bodoh. Untuk apa pula selain membeli makanan atau minuman di minimarket.

Okta menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah minimarket dengan kondisi minimarket yang sepi.

“Kamu mau ikut ngga?” Pio menawarkan Okta untuk ikut masuk ke dalam. Sebagai lelaki gentle, Okta ikut turun dari mobil dan ikut pergi ke dalam minimarket.

Pio mengambil satu es krim dan pergi ke kasir. Okta heran pada kekasihnya, mengapa dia hanya membeli satu buah es krim saja.

Pio mengeluarkan dompetnya dari dalam tasnya, tetapi langsung ditahan Okta. “Ini Mbak, kembaliannya ambil aja.” Okta memberikan selembar uang berwarna hijau pada meja kasir.

Okta menarik tangan Pio perlahan, mengajaknya keluar dan kembali memasuki mobil.

Okta sudah ingin menginjak gas mobilnya, tetapi ditahan oleh Pio. “Di sini dulu aja, aku habisin es krimku dulu.” Okta menuruti kekasihnya dan langsung mematikan mesin mobilnya.

Memandangi sang kekasih yang sibuk dengan satu es krim yang sedang ia genggam. Matanya tidak beralih ke mana pun selain dari wajah Pio yang menikmati es krim rasa stroberinya.

Niat jelek terselubung dalam pikiran Pio. Ia sengaja memakan es krimnya dengan sedikit berantakan, membuat Okta gemas akan hal itu. “Pi, itu yang di bibir jangan didiemin aja dong, buruan dimakan.”

“Ha? Yang di mana? Perasaan ngga ada apa-apa deh.” Pio berbohong, sebetulnya memang ia sengaja.

Tangan Okta terulur untuk membersihkan sedikit es krim yang berada di bibir Pio. Namun tangannya langsung ditepis oleh Pio. “Ngga boleh pake tangan,” ucap Pio dengan senyum singkat di bibirnya.

Okta membalas senyuman Pio. “Oh, jadi kamu mancing, hm?” Intonasi suara Okta sontak menurun, membuat atmosfer di dalam mobil kian memanas.

Okta memajukan tubuhnya mendekat ke Pio, tangannya memegang tengkuk leher Pio dan menariknya agar semakin dekat dengannya. Satu tangan Pio sontak memegang pundak Okta untuk sedikit menahan kekasihnya.

Percuma saja, tenaga Pio tak akan mampu menahan tenaga Okta. Hidung mereka yang pertama kali saling bersentuhan. Pio sudah tak dapat lagi membuka matanya saat merasakan hembusan napas Okta benar-benar berada di bawah hidungnya.

Detik berikutnya Okta menyentuhkan bibirnya dengan bibir Pio. Pio meremat pelan pundak Okta menyalurkan rasa terkejutnya.

Dua benda kenyal itu sekarang tengah bergelut, tangan Pio yang semulanya meremat pundak Okta pun kini sudah merambat ke kepala Okta bagian belakang.

Pio diam atas kendali Okta, kekasihnya adalah good kisser, Okta mampu membuat Pio melayang menikmati kegiatan yang tengah mereka lakukan.

Setelah dirasa cukup, Okta melepas tautan bibirnya. Menatap dalam Pio seolah mendominasinya.

“Manis,” ucap singkat Okta yang setelah itu memberikan satu kecupan singkat kembali pada bibir Pio.

JIAKH KATANYA MAU TIDUR?? KEPANCING DIKIT AJA LANGSUNG BATAL TIDUR. HAHAFAHHAAH KESIAN 😎🤘🏻🤘🏻

Rani menunggu kehadiran Maraka, katanya Maraka ingin membicarakan suatu hal. Rani sibuk dengan pikirannya, memikirkan apa yang akan Maraka bicarakan dengannya.

Maraka tiba di taman kampus, sesuai dengan yang Rani sampaikan tadi. Maraka mencari kehadiran Rani, akhirnya dia menemukan Rani yang sedang duduk bersantai di salah satu bangku di sana.

Maraka menghampiri Rani. “Ran,” panggil Maraka saat berada tepat di sebelah Rani.

Rani menoleh dan menyuruh Maraka untuk duduk di sebelahnya. Hening terjadi, tidak ada yang bersuara. Rani memberanikan dirinya untuk berbicara dengan Maraka, “Mau ngomong apa?”

Maraka mendongakkan kepalanya, menatap mata Rani. Tangannya bergerak mengambil tangan Rani untuk ia genggam. “Hari ini, tepat sebulan dari waktu gue nembak lo dulu.”

“Hari ini, sekali lagi gue nyatain perasaan gue. Sebulan kita hampir ngelakuin semuanya bareng, dan gue makin yakin sama perasaan gue sendiri.” Rani sudah menduga jika hal ini yang akan dikatakan Maraka.

“Ran, waktu sebulan kemarin udah cukup buat nunjukin keseriusan gue belum?” tanya Maraka di akhir ucapannya.

Rani bangkit dari duduknya, melepas genggaman Maraka. “Gue tau lo serius, tapi jawaban gue dari awal tetep sama. Gue ngga bisa, kita ngga bisa bersama.”

Maraka ikut bangkit dari duduknya. “Kenapa? Lo selalu bilang itu, tapi lo ngga pernah kasih tau gue alasannya. Lo selalu bilang rasa cinta gue akan berubah jadi rasa benci. Kenapa? Kenapa, Ran? Jelasin semuanya biar gue tau.”

Maraka menarik napasnya dalam, ia hanya ingin mendengar penjelasan Rani atas semua perkataan yang Rani ucapkan selama ini. Rani terus menerus berkata kita ia tak akan bisa bersanding dengan Maraka.

Rani selalu membiarkan Maraka sendiri dengan segala praduga atas ucapan Rani. Tak pernah sekalipun Rani menjelaskan alasan di balik ucapannya.

Rani ingin Maraka tahu sendiri, tetapi sepertinya Maraka tidak akan pernah tahu jika tidak diberi tahu. Maka hari ini, Rani rasa adalah waktu yang tepat untuk memberi tahu Maraka.

“Oke, gue bakal jelasin semuanya.” Rani akan menjelaskan semuanya, segala alasan mengapa ia merasa jika ia tidak bisa bersanding dengan Maraka.

“Lo tau Pak Haryanto?” tanya Rani sebelum mulai menjelaskan.

“Haryanto? Namanya mirip sama orang yang gue ngga suka. Tapi, ngga mungkin 'kan?” Maraka mengingat jelas nama itu di pikirannya, karena orang itu jelas sudah menjadi memori buruk untuk Maraka.

“Pak Haryanto itu ayah gue. Orang yang sekarang di dalam sel penjara karena tabrak ibu lo, itu ayah gue.” Maraka diam, apa yang sudah ia dengar? Sungguh tidak bisa ia cerna.

“Itu kenapa dari awal gue selalu bilang kalau kita ngga akan bisa bersama. Karena, setelah lo tau ini, lo pasti bakal benci gue, kayak lo benci ayah gue.” Rani menunduk, ia sudah siap mendengar segala cacian dari Maraka.

“Lo bohong 'kan? Ngga mungkin lo anak dari pembunuh.” Rani diam tak mengelak, bagaimanapun itulah fakta sebenarnya.

Maraka menggenggam erat pundak Rani, meminta Rani menatap matanya. “Ran, bilang ke gue ini ngga bener. Jangan diem doang, bilang kalo ini bohong. Lo cuma cari alasan buat nolak gue 'kan? Iya 'kan, Ran?”

Hanya satu jawaban Rani, ia menggeleng dan berkata, “Gue ngga bohong.”

“Anjing!” umpat Maraka.

Maraka tertawa, tawanya sangat menyeramkan. “Lo bener, lo bener, Ran. Now, i hate you. Gue nyesel kenapa gue harus punya rasa ini ke lo. Kalau gini, harusnya dari awal gue ngga akan jatuhin hati gue ke lo.”

Maraka melepaskan genggaman tangannya pada pundak Rani. “Gue udah ngingetin dari awal,” ucap Rani pada Maraka.

Maraka mengacak rambutnya frustasi. “Argh. Kenapa harus lo? Kenapa harus lo yang jadi cinta paling sakit gue?”

Maraka menatap kembali mata Rani. “As your wished. Now, i'm stop to loving you. Thanks, and once again, i hate you so much.” Maraka pergi meninggalkan Rani sendiri.

Di saat Maraka sudah menghilang dari pandangan Rani, Rani menjatuhkan satu tetes air mata dari matanya. “So, what about me?”

Maraka tidak menyangka jika Rani adalah anak dari orang yang sudah membuat ia kehilangan cinta pertamanya. Rani adalah anak dari seorang pria yang sudah menabrak ibunya, hingga kehilangan nyawa.

Dari lubuk terdalam Maraka, ia sangat ingin memukuli bahkan mengeluarkan segala umpatan dalam dirinya ke Rani. Namun, Maraka sadar jika orang tadi ialah wanita. Tak etis jika ia memukuli atau mengumpati seorang wanita.

Maraka memilih pergi agat semua emosinya tidak berdampak buruk bagi siapapun. Mau bagaimanapun itu, Rani memang tak salah, tetapi ia juga tidak akan bisa menerima anak dari seseorang yang sudah membuatnya hancur beberapa tahun yang lalu.

Bukankah ini akhir yang sudah diperkirakan Rani? Tapi mengapa justru kini ia merasa menjadi yang paling sakit?