Berakhir
Rani menunggu kehadiran Maraka, katanya Maraka ingin membicarakan suatu hal. Rani sibuk dengan pikirannya, memikirkan apa yang akan Maraka bicarakan dengannya.
Maraka tiba di taman kampus, sesuai dengan yang Rani sampaikan tadi. Maraka mencari kehadiran Rani, akhirnya dia menemukan Rani yang sedang duduk bersantai di salah satu bangku di sana.
Maraka menghampiri Rani. “Ran,” panggil Maraka saat berada tepat di sebelah Rani.
Rani menoleh dan menyuruh Maraka untuk duduk di sebelahnya. Hening terjadi, tidak ada yang bersuara. Rani memberanikan dirinya untuk berbicara dengan Maraka, “Mau ngomong apa?”
Maraka mendongakkan kepalanya, menatap mata Rani. Tangannya bergerak mengambil tangan Rani untuk ia genggam. “Hari ini, tepat sebulan dari waktu gue nembak lo dulu.”
“Hari ini, sekali lagi gue nyatain perasaan gue. Sebulan kita hampir ngelakuin semuanya bareng, dan gue makin yakin sama perasaan gue sendiri.” Rani sudah menduga jika hal ini yang akan dikatakan Maraka.
“Ran, waktu sebulan kemarin udah cukup buat nunjukin keseriusan gue belum?” tanya Maraka di akhir ucapannya.
Rani bangkit dari duduknya, melepas genggaman Maraka. “Gue tau lo serius, tapi jawaban gue dari awal tetep sama. Gue ngga bisa, kita ngga bisa bersama.”
Maraka ikut bangkit dari duduknya. “Kenapa? Lo selalu bilang itu, tapi lo ngga pernah kasih tau gue alasannya. Lo selalu bilang rasa cinta gue akan berubah jadi rasa benci. Kenapa? Kenapa, Ran? Jelasin semuanya biar gue tau.”
Maraka menarik napasnya dalam, ia hanya ingin mendengar penjelasan Rani atas semua perkataan yang Rani ucapkan selama ini. Rani terus menerus berkata kita ia tak akan bisa bersanding dengan Maraka.
Rani selalu membiarkan Maraka sendiri dengan segala praduga atas ucapan Rani. Tak pernah sekalipun Rani menjelaskan alasan di balik ucapannya.
Rani ingin Maraka tahu sendiri, tetapi sepertinya Maraka tidak akan pernah tahu jika tidak diberi tahu. Maka hari ini, Rani rasa adalah waktu yang tepat untuk memberi tahu Maraka.
“Oke, gue bakal jelasin semuanya.” Rani akan menjelaskan semuanya, segala alasan mengapa ia merasa jika ia tidak bisa bersanding dengan Maraka.
“Lo tau Pak Haryanto?” tanya Rani sebelum mulai menjelaskan.
“Haryanto? Namanya mirip sama orang yang gue ngga suka. Tapi, ngga mungkin 'kan?” Maraka mengingat jelas nama itu di pikirannya, karena orang itu jelas sudah menjadi memori buruk untuk Maraka.
“Pak Haryanto itu ayah gue. Orang yang sekarang di dalam sel penjara karena tabrak ibu lo, itu ayah gue.” Maraka diam, apa yang sudah ia dengar? Sungguh tidak bisa ia cerna.
“Itu kenapa dari awal gue selalu bilang kalau kita ngga akan bisa bersama. Karena, setelah lo tau ini, lo pasti bakal benci gue, kayak lo benci ayah gue.” Rani menunduk, ia sudah siap mendengar segala cacian dari Maraka.
“Lo bohong 'kan? Ngga mungkin lo anak dari pembunuh.” Rani diam tak mengelak, bagaimanapun itulah fakta sebenarnya.
Maraka menggenggam erat pundak Rani, meminta Rani menatap matanya. “Ran, bilang ke gue ini ngga bener. Jangan diem doang, bilang kalo ini bohong. Lo cuma cari alasan buat nolak gue 'kan? Iya 'kan, Ran?”
Hanya satu jawaban Rani, ia menggeleng dan berkata, “Gue ngga bohong.”
“Anjing!” umpat Maraka.
Maraka tertawa, tawanya sangat menyeramkan. “Lo bener, lo bener, Ran. Now, i hate you. Gue nyesel kenapa gue harus punya rasa ini ke lo. Kalau gini, harusnya dari awal gue ngga akan jatuhin hati gue ke lo.”
Maraka melepaskan genggaman tangannya pada pundak Rani. “Gue udah ngingetin dari awal,” ucap Rani pada Maraka.
Maraka mengacak rambutnya frustasi. “Argh. Kenapa harus lo? Kenapa harus lo yang jadi cinta paling sakit gue?”
Maraka menatap kembali mata Rani. “As your wished. Now, i'm stop to loving you. Thanks, and once again, i hate you so much.” Maraka pergi meninggalkan Rani sendiri.
Di saat Maraka sudah menghilang dari pandangan Rani, Rani menjatuhkan satu tetes air mata dari matanya. “So, what about me?”
Maraka tidak menyangka jika Rani adalah anak dari orang yang sudah membuat ia kehilangan cinta pertamanya. Rani adalah anak dari seorang pria yang sudah menabrak ibunya, hingga kehilangan nyawa.
Dari lubuk terdalam Maraka, ia sangat ingin memukuli bahkan mengeluarkan segala umpatan dalam dirinya ke Rani. Namun, Maraka sadar jika orang tadi ialah wanita. Tak etis jika ia memukuli atau mengumpati seorang wanita.
Maraka memilih pergi agat semua emosinya tidak berdampak buruk bagi siapapun. Mau bagaimanapun itu, Rani memang tak salah, tetapi ia juga tidak akan bisa menerima anak dari seseorang yang sudah membuatnya hancur beberapa tahun yang lalu.
Bukankah ini akhir yang sudah diperkirakan Rani? Tapi mengapa justru kini ia merasa menjadi yang paling sakit?