Pacar Gue

Malas, sebenarnya Juli sangat malas menemani Azra basket. Namun, apa boleh buat, ia mau tak mau harus menemani Azra.

Ya sudah, anggap saja Juli akan mencuci matanya dengan melihat anak-anak lain yang ia anggap memiliki pesona berbeda ketika sedang bermain basket.

Terlihat Azra, Riyan, serta teman yang lain sudah berkumpul di tengah lapangan dengan pelatih basket. Mereka melakukan pemanasan lalu terbagi menjadi dua tim.

Juli duduk persis di samping lapangan, ia mendekat ke stopkontak untuk mengisi daya ponselnya yang mulai habis. Sebelumnya ia ingin melihat dari lantai dua sekolahnya, tetapi ia malas melihat para gadis lain yang sangat heboh.

Merasa bosan, Juli membuka ponselnya dan mengambil beberapa foto selfie untuk menghilangkan rasa bosannya. Tak sadar jika Azra sudah selesai melakukan pemanasan dan menghampirinya.

“Nitip dong.” Azra memberikan ponsel dan botol minumnya pada Juli.

Juli mengangguk dan menerima ponsel dan botol minum milik Azra. “Kalo hp-nya lagi dicas tuh jangan dimainin. Pake hp gue aja selfie-nya, nanti gue kirim ke lo,” ucap Azra yang setelah itu meninggalkan Juli.

Juli membuka ponsel Azra, ia mengetikkan sandi pada ponsel Azra. Yang ia tahu, hanya ia sendiri yang mengetahui sandi ponsel Azra.

Juli membuka kamera ponsel Azra, mengarahkannya untuk berfoto. Lagi-lagi Azra tiba-tiba muncul di hadapan Juli, Azra berjalan menuju belakang Juli.

“Jul, foto Jul, kayaknya gue keren pake jersei gini.” Juli mengarahkan kameranya sedikit ke belakang agar Azra terlihat di kamera. Azra berpose dengan gaya seperti sedang merapikan rambut, dan Juli berpose dengan menunjukan jempolnya.

“Eh, Juli. Lo nggak ikut main?” tanya seseorang dari belakang. Juli sontak menoleh ke belakang, rupanya itu adalah Rafael.

“Enggak,” jawab singkat Juli.

“Ikut main aja lah,” ucap Rafael sembari menunjuk ke lapangan. Juli hanya menggeleng sebagai jawabannya. Rafael berjalan ke arah lapangan dengan tawa menggodanya.

Entah mengapa rahang Azra justru mengeras melihat Rafael. “Lo jangan ganggu pacar gue,” ucapnya pada Rafael dengan sedikit keras agar Rafael dapat mendengarnya. Rafael menarik bibir sebelahnya dan mengangkat alis sebelahnya untuk menanggapi Azra.

“Songong ni anak.” Azra mengepalkan satu tangannya, siap untuk menghajar orang yang sepertinya sedang bermain-main dengannya.

“Lo nggak usah aneh-aneh, awas aja lo,” peringat Juli dari bawah. Azra menoleh ke bawah dan melihat Juli yang duduk di bawah dengan menggelengkan kepalanya serta dengan mata tajam menatapnya.

Kepalan tangan Azra terbuka, ia melangkahkan kakinya kembali ke lapangan. Di sana sudah terbagi dua tim, mereka akan memainkan empat match kali ini.

Bola pertama pada match pertama dimasukkan oleh Azra. Membuat banyak gadis bersorak, berisik banget mereka, batin Juli.

Juli hanya memicingkan matanya menghadap ke atas dengan tatapan tak suka atas reaksi para gadis di sana, yang menurutnya terlalu lebay. Padahal, reaksi seperti itu sudah biasa saat melihat pertandingan bola basket seperti ini.

Tangannya menyatu menutupi matanya dari sinar matahari yang menyorotnya. Ia ingin berpindah tempat, tetapi daya ponselnya masih belum penuh untuk ia cabut.

Match pertama dimenangkan oleh tim Rafael, tim Azra sedikit merasa kecewa atas kekalahan mereka karena yang memasukkan bola pertama kali ialah Azra, seharusnya tim mereka bisa menang.

Namun, pelatih kembali mengingatkan mereka jika mereka adalah teman, tidak boleh ada permusuhan di antara mereka. Lagi pula, memasukkan bola pertama belum tentu akan menjadi pemenang di akhir.

Hanya jeda sebentar yang diberikan pelatih untuk mengevaluasi permainan match pertama. Mereka langsung lanjut ke match kedua setelah evaluasi dari pelatih.

Match kedua cukup kacau, sepertinya terjadi persaingan amat sengit di antara kedua tim. Pandangan Juli yang awalnya menghadap ponsel, kini beralih menatap pertandingan akibat Azra yang berteriak, “JANGAN MAIN FISIK, ANJING!”

Azra tak peduli teriakannya akan didengar pelatihnya, ia kesal karena tim lawan justru terus-menerus mencari kesempatan menjatuhkan timnya. Membuat timnya pula ingin bermain fisik dengan tim lawan, ia hanya ingin permainan yang sportif.

Match kedua selesai, pelatih memberi waktu sepuluh menit untuk beristirahat setelah memberikan evaluasi. Azra berjalan ke arah Juli, meminta botol minumnya.

Azra berdiri persis di hadapan Juli, Juli mendongak ke atas menatap Azra yang terlihat masih dengan napas tak beraturan. “Ngapa tadi teriak-teriak?” tanya Juli.

“Pada kebawa emosi, main fisik. Ada yang nyenggol sana-sini.” Azra menjelaskan pada Juli sembari sibuk mengusap keringat pada kening dan sekitar kepalanya.

“Lo nggak bawa handuk?” tanya Juli melihat Azra yang kesulitan membasuh keringatnya.

“Enggak, ketinggalan tadi.” Juli berdiri dan berjalan menuju tasnya, ia mengambil tisu yang ia bawa. Berjalan mendekat kembali pada Azra, lalu ia usap keringat yang membasahi wajah dan leher Azra.

Peluit berbunyi, tanda jika match tiga akan segera dimulai. “Gue balik dulu, sabar ya, masih dua match lagi,” pamit Azra yang langsung masuk kembali ke lapangan.

Juli memperhatikan permainan yang berlangsung, walau ia tak mengerti bagaimana peraturan dalam permainan bola basket. Dari jauh ia melihat jika sebuah bola basket akan mendekat padanya, dengan cepat ia tepis bola itu menggunakan jarinya saat bola itu mendekat.

Pandangan seluruh pemain dan penonton terarah padanya, sebab hampir saja bola ikut mengenainya. “Woi, kalo main yang bener dong. Ini ketiga kalinya lo buat bola out ke arah pacar gue.” Azra berteriak pada Rafael, ini ketiga kalinya Rafael melesetkan bolanya ke arah Juli.

“Woi, gue baru tau kalo Azra punya cewek. Wah emang orang ganteng ga ada yang jomblo.” Samar-samar Juli mendengar ucapan itu dari gerombolan di lantai dua, membuatnya malu setengah mati.

Karena malu, Juli memutuskan untuk pergi dari pinggir halaman, menuju kursi di dalam lobi yang masih tetap bisa melihat ke arah lapangan.

Ia sudah tak mempedulikan lagi yang terjadi di lapangan, tetapi namanya disebut tiba-tiba, membuatnya sontak menengok ke arah lapangan. “Jul, bisa tolong ambil obat merah ke UKS? Ini Rafael jatuh, terus jatuh.”

Juli berlari ke ruangan UKS untuk mengambil sebuah obat merah dan kapas. Sesampainya di pinggir halaman, Riyan berbicara padanya, “Jul, tolong obatin Rafael dulu, ya? Gue sama yang lain masih disuruh lanjut main.” Acungan jempol Juli menjadi jawaban untuk Riyan.

“Shh, pelan-pelan Jul,” ringis Rafael ketika Juli menempelkan kapas yang sudah diberi obat merah pada lutut Rafael.

“Iya-iya, lagian kenapa bisa sampe jatuh gini sih?” tanya Juli yang masih menatap luka Rafael dengan telaten mengobatinya.

“Cowok lo tuh, mainnya nggak bisa nyantai. Katanya jangan main fisik, eh dia sendiri yang main fisik.” Azra terbawa emosi, ia memberikan sebuah sandungan pada kaki Rafael ketika bermain tadi.

Seusai mengobati luka Rafael, Juli memutuskan duduk di samping Rafael untuk menemaninya menonton teman-temannya bermain. Mereka asik mengobrol, sesekali Rafael menjelaskan tentang cara bermain serta peraturan dalam permainan bola basket.

Tak sadar jika dari kejauhan ada yang diam-diam memperhatikan mereka dengan tatapan tak suka. Permainan Azra tak fokus, membuatnya kalah sore hari ini. Mood-nya terasa sangat jelek, entah mengapa.

Selesai bermain, Azra menghampiri Juli seusai berpamitan dengan seluruh tim dan pelatihnya. Ia berdiri di depan Juli dan memainkan rambut Juli iseng.

“Pulang yuk, capek 'kan?” ajak Azra pada Juli yang kini sedang mendongak dan berkerut heran menatapnya. Ni cowok satu ngapa dah buset, aneh banget, batinnya.

Azra seolah mengabaikan seseorang di dekat mereka. Rafael berdehem mengode Azra dan Juli jika dirinya masih berada di sini. “Eh Rafael, sorry ya tentang tadi, gue nggak sengaja, lo gapapa 'kan?” ucap Azra pada Rafael.

Rafael mengangguk dan mengacungkan jempolnya, menandakan ia baik-baik saja. Azra menarik tangan Juli agar Juli berdiri. “Sayang, ayo pulang, capek,” rengek Azra dengan suara cukup keras, yang dapat Juli yakini jika seluruh orang di sana dapat mendengarnya.