Sebuah Penjelasan

Lima belas menit setelah Azra mengirimkan pesan pada abangnya, ia benar-benar sampai di rumah. Ia buka pintu rumahnya, ia melihat papa dan abangnya duduk di depan televisi, menunggunya untuk pulang.

Pandangan mata papa, abang, serta mama yang berada di dapur langsung terarah ke pintu yang terbuka. Mama menghampiri Azra dengan senyum lebar. “Azra, udah pulang, Nak? Yuk, sini, makan dulu, kamu pasti belum makan 'kan?”

Azra menggeleng, ia menepis pelan tangan sang mama yang berada di lengannya. “Nggak usah Ma, aku udah makan.”

Azra duduk di sofa single dekat papanya, ia mengambil remot televisi yang berada di meja depannya. Jari jempolnya menekan tombol off, mematikan televisi yang tadinya tengah ditonton papa dan abangnya.

“Nggak perlu basa-basi, Papa mau bilang apa?” Nada dingin keluar dari mulut Azra, tetapi membuat suasana kian memanas.

Papa Azra memposisikan dirinya menyerong menatap Azra. “Papa minta kamu buat masuk ke hukum,” ucap papanya yang membuat Azra memutar bola matanya malas.

“Azra udah bilang 'kan? Azra enggak mau.” Azra hendak beranjak dari tempat duduknya, tetapi Gion tahan. “Gue udah bilang 'kan buat lo dengerin dulu alesan Papa?”

“Ya,” jawab singkat Azra yang langsung kembali ke tempat duduknya.

“Azra, alasan pertama Papa itu karena hanya kamu penerus Papa untuk hal ini. Abang kamu udah nggak mungkin lagi, dia udah jadi model, dan dia nggak punya pengalaman apa pun tentang hukum.” Papa Azra menghela napasnya dalam, mulutnya terbuka untuk melanjutkan ucapannya, tetapi Azra memotongnya.

“Jadi, cuma Abang doang yang boleh kejar hal yang dia mau? Dan aku yang harus jadi tumbal? Aku juga nggak ada pengalaman apa pun di dunia hukum.” Rahang Papa Azra mulai mengeras, urat di dahinya mulai bermunculan tanda menahan emosi.

“Azra! Bisa kamu dengerin Papa dulu? Bisa dengerin Papa sampai selesai bicara?! Kamu harusnya tau sopan santun ngomong sama orang tua.” Terlontar sudah semua emosi yang Papa Azra tahan, menurutnya Azra sudah melewati batas.

Ia paham jika anaknya masih ingin menentang permintaannya, tetapi bukan seperti ini caranya untuk melawan atau membela.

Azra bungkam, ia terdiam atas nada tinggi yang baru saja terlontarkan papanya. Nada tinggi yang baru saja terlontar sedikit membuatnya merasa takut.

Papa mencoba meredakan amarahnya dan mulai berbicara kembali, “Kesempatan buat kamu sukses di dunia hukum juga besar. Papa udah ada perusahaan yang tinggal kamu teruskan aja. Kamu masih bisa melakukan semua hobi kamu, atau mungkin kamu mau punya pekerjaan lain pun masih bisa.”

“Terakhir, karena Papa tau kamu bisa. Kamu hanya nggak mau, bukan nggak bisa. Cuma kamu yang jadi satu-satunya harapan Papa. Kalau memang kamu enggak mau, perusahaan akan Papa turunkan ke orang lain. Tapi kalau kamu mau, Papa dengan senang hati menunggu kamu siap.” Papa mendaratkan dua tepukan pada bahu Azra, lalu ia sunggingkan senyum lebar pada putra bungsunya.

“Udah?” tanya Azra yang dibalas anggukan kecil dari papa.

“Ya udah, Azra capek, mau tidur. Papa, Mama, sama Abang juga istirahat. Malam semua,” pamit Azra meninggalkan seluruh anggota keluarganya yang lain.

Malam ini tidurnya tidak tenang karena menimang semuanya. Manakah yang harus ia pilih? Rasanya tak tega melihat papa yang begitu berharap ia untuk meneruskan pekerjaannya.

Namun, ia tak ingin pula mengerjakan sebuah pekerjaan yang bukan ia minati. Ia berharap ada seseorang yang mampu membantunya memilih pilihan yang tepat, siapakah itu?