Kamera
“Gue duluan ya,” pamit Tiara pada Lia sembari memasuki mobil.
“Iya, hati-hati.” Lia menemani Tiara hingga dijemput, ketika Tiara sudah dijemput, maka ini gilirannya untuk pulang.
Lia berjalan menuju halte bus yang berada tak jauh darinya. Di kejauhan, ia bisa melihat Jeri yang membawa kamera.
Lensa kamera Jeri terarah ke arahnya, Lia sudah dapat menduga jika Jeri sedang memotretnya. Dari posisi awal yang merapikan rambut, kini tangannya terangkat mendekati pipi dengan menunjukan dua jari.
Dirasa Jeri sudah selesai memotretnya, Lia pun mendekat ke arah Jeri untuk melihat hasil fotonya. Karena tali kamera menggantung pada leher Jeri, maka Lia tidak bisa menarik kameranya terlalu jauh.
Sejujurnya Lia sama sekali tidak bisa melihat hasil fotonya, karena pantulan matahari pada layar kamera membuatnya tak bisa melihat apapun. Tetapi diamnya masih fokus pada kamera walau ia membeku karena kini jaraknya dan Jeri sudah terlampau sangat dekat, bahkan kepala mereka hampir menempel.
Jari Lia terarah memencet tombol pada kamera dengan niat hati melihat foto lain, tetapi justru ia memencet tombol yang salah. Kamera Jeri diserahkan pada Lia dan tangan Jeri menyentuh tangan Lia untuk mengajarinya arti dari masing-masing tombol yang berada di sana.
Ternyata hasil dari foto Jeri barusan ialah tangan Lia yang sudah telat berpose, membuat hasil foto menjadi kurang bagus.
“Tangan lo sih ngga bisa diem, sini gue fotoin lagi.” Jeri menarik kembali kamera yang sedang dibawa Lia dan ia memundurkan kakinya beberapa langkah.
Jeri mulai mengarahkan kameranya pada Lia, jujur saja Lia sudah tak tahu harus memberikan pose apa lagi, dirinya terlanjur salah tingkah dan berakhir berpose apa adanya.
Lia sudah tak bisa menahan hal ini terlalu lama, ia memutuskan pamit pada Jeri agar muka merahnya tidak terlihat oleh Jeri. “Gue duluan ya, keburu busnya dateng. Lo lagi nunggu Ekal?”
“Iya, mau main dulu kita. Lo ati-ati ya,” jawab Jeri dengan tangan yang melambai pada Lia.
Lia melangkahkan kakinya sedikit cepat untuk segera ke halte bus, beruntungnya bus datang tidak lama dari ia masuk ke halte. Perasaan berkecamuk yang dirasakan Lia selama perjalanan pulang.
Senyumnya tidak bisa berhenti ia tarik, perutnya seperti ada yang menggelitiki. Turun dari bus pun ia tidak bisa berhenti melupakan kejadian tadi, mengingat jika Jeri adalah pria idamannya di sekolah.