Caper Berkedok Baca Buku
Azra menggandeng tangan Juli dari halaman rumahnya hingga masuk ke dalam rumahnya. Sudah Juli tolak genggaman tangan Azra, tapi Azra tetap kekeh menggandeng tangan Juli.
Saat masuk ke dalam, rupanya ada Mama Azra yang sedang menonton televisi. “Eh Adek udah pulang, bawa siapa itu, Dek?” tanya Mama Azra yang sontak berdiri dan menghampiri Azra dan Juli.
“Pacar Adek, Ma,” jawab Azra yang langsung mendapat tatapan tajam dari Juli.
“Maksud lo apa?” tanya Juli dengan tersenyum canggung ke arah Mama Azra tetapi mulutnya mendekat ke telinga Azra dan berbisik.
Azra tak menjawab pertanyaan Juli, Azra mencium tangan sang ibu dan segera berpamitan. “Ma, aku ke ruang kerja Papa dulu, mau coba baca buku-buku Papa,” pamit Azra.
Azra menarik tangan Juli tiba-tiba. “Duluan ya, Tante,” pamit Juli yang langsung mengikuti langkah Azra.
Tanpa permisi, Azra membuka pintu yang berukuran lumayan besar di satu lorong rumahnya. Ruangan di dalamnya sangat rapi, ada sebuah meja kerja dengan rak buku besar di belakangnya.
Azra sebenarnya sangat asing dengan ruangan ini, karena ia sangat malas masuk ke dalam sini untuk menemui ayahnya atau hanya sekadar masuk saja.
Mereka menatap kagum memandangi satu ruangan dengan nuansa berwarna cokelat. Azra berpikir kemungkinan besar ruangan ini akan menjadi miliknya kelak.
Azra menuntun Juli agar duduk di sebuah sofa yang terdapat tak jauh dari meja kerja. Ia meninggalkan Juli yang masih sibuk memandangi ruangan ini dengan sangat jeli.
Langkah Azra mendekat pada rak buku di belakang meja kerja ayahnya. Tangannya menyentuh banyaknya buku sembari membaca satu per satu dari judul buku di sana.
Bermacam-macam judul buku yang ia tak tahu apa maksud dari buku tersebut. Maka ia ambil dengan asal salah satu buku di sana.
Langkahnya mendekat ke kursi di meja kerja ayahnya. Ia mendudukkan dirinya di sana, bersandar pada sandaran bangku dan berkhayal jika ia menjadi sosok seperti ayahnya.
Mungkin aja wibawanya akan semakin tinggi, orang-orang yang berurusan dengannya hanyalah orang-orang penting dan tidak sembarang orang bisa berkerja sama dengannya.
Ia lupa jika ada sosok lain di dalam ruangan ini. Sosok itu sedang memandanginya dengan tatapan geli dan menahan ketawa.
“Lo ngapain coba gayanya kayak gitu?” tanya Juli yang mendekat ke arahnya.
“Gapapa, gue lagi halu kalo besok jadi pengacara atau hakim,” jawab Azra dengan santai.
Juli justru tertawa kencang mendengar jawaban dari Azra, membuat kedua alis Azra berkerut.
“Jangan halu dulu lah, halu doang tapi nggak ada usahanya mah percuma.”
Azra tak menghiraukan ucapan Juli, ia beralih membuka buku yang tadi sudah ia ambil. Netranya dengan pelan membaca satu persatu kata yang tertulis di sana.
Baru membaca daftar isinya saja, ia langsung menutup bukunya. “Gue nggak jadi masuk hukum deh, pusing ternyata.”
“HEH!” Juli memukul meja di hadapannya, Azra tentu terkejut atas perbuatan Juli.
“Lo tuh jangan plin plan deh, dulu nggak mau, terus kemarin mau, sekarang balik lagi nggak mau. Punya pendirian dong, jadinya lo mau atau nggak mau?!” lanjut Juli dengan rahang menguat.
“Ampun, ampun, iya gue mau.”
Juli meninggalkan Azra yang kembali membuka bukunya, ia ikut mencari sebuah buku yang ingin dia baca.
Saat memandang judul buku yang berjajar rapi di sana, ia tertarik dengan satu buku yang berada di rak atas. Tangannya mencoba meraih buku itu, tapi ia tak sampai. Kakinya bahkan sudah berjinjit, tapi ia tak kunjung meraih buku itu.
Hingga tak sadar ada tangan yang lebih besar dari ukuran tangannya mengambil buku yang ia inginkan. Ia menoleh ke belakang dan dihadapkan dengan dada besar Azra.
Usai mengambil buku yang Juli ingin, Azra menolehkan pandangannya ke bawah menatap Juli. Wajahnya kian lama kian mendekat ke arah wajah Juli.
Juli terdiam atas tatapan yang Azra berikan, wanita itu memejamkan matanya yang seolah tahu apa yang terjadi selanjutnya.
Saat wajah mereka hanya berjarak lima sentimeter, mereka dikejutkan dengan ketukan pintu yang menyerukan nama Azra. “Adek, ini Mama bawa minum sama cemilan buat kamu sama pacar kamu,” ucap Mama Azra dari luar ruangan.
Mereka gelagapan dan segera Azra membuka pintu ruangan tersebut dan menerima minum serta camilan yang dibawakan mamanya.
Masih bungkam seribu kata, mereka akhirnya berpisah menjauh. Azra di meja kerja ayahnya, dan Juli di sofa dekat sana.
Suasana menjadi canggung akibat kejadian barusan. Keduanya mencoba melupakannya dengan membaca buku, tetapi justru mereka kembali mengingat kejadian tadi.