Tawa dan Tangis

“Gelap banget kamar lu,” ucap Salma saat memasuki kamar Daffa.

Daffa yang sedang duduk di tepi kasurnya sembari mengemil pun menoleh ke Salma. “Hemat listrik.”

Salma berjalan menuju jendela di kamar itu. “Setidaknya, jendelanya dibuka.” Salma mendorong jendela itu agar terbuka.

Salma mendudukan dirinya di samping jendela, karena ada makanan di sekitarnya. Salma tanpa basa basi langsung saja mengambil makanan di depannya, lalu ia makan.

“Tumben nggak dibikin bubur?” tanya Daffa yang melihat Salma langsung memakan biskuit tanpa perlu dijadikan bubur seperti biasanya.

“Nanti, ini kan masih banyak.”

Salma asik memakan biskuitnya sembari menatap pemandangan di luar jendela, melihat matahari yang akan segera tenggelam.

“Lu bosen ngga sih kalo gue bahas ibu terus?” Salma menoleh pada Daffa, menghabiskan biskuitnya dan berucap, “Engga, ngga bosen gue.”

“Gue udah sepenuhnya ikhlasin ibu, cuma masih sering nangis aja kalo keinget ibu.” Daffa terkekeh pelan, tetapi matanya mulai berkaca-kaca, siap untuk meluruhkannya.

Salma menepuk sisi kosong sebelahnya. “Sini-sini, cerita di sini aja, sambil makan.”

Daffa turun dari ranjangnya dan duduk di sebelah Salma. Daffa ikut menatap indahnya pemandangan di luar kamarnya.

“Ayah jadi jarang di rumah Sal, dia sekarang lebih sibuk sama kerjaannya. Semalem gue mimpiin ibu, ibu nyuruh gue buat bilang ke ayah untuk jangan capek-capek.” Daffa menghela napasnya sebentar, lalu kembali melanjutkan ucapannya, “Tapi gimana caranya gue bilang ke ayah, gue bangun aja ayah udah berangkat. Gue chat ngga pernah dibales, jangankan dibales, dibaca aja engga.”

“Gue bingung deh sama ayah, dia sengaja nyibukin dirinya sendiri atau bener-bener sibuk?” Daffa menyandarkan punggungnya pada ranjangnya.

“Atau malah ayah ngga sedih, ya?” lanjut Daffa.

“Ngga ada orang yang ngga sedih waktu ditinggal belahan jiwanya. Lo aja tau sebucin apa ayah ke ibu, ngga mungkin lah ayah ngga sedih. Jangan mikir macem-macem lo, ayah mungkin emang ngelampiasin sedihnya buat kerjaan.”

Daffa terdiam, memikirkan apa alasan ayahnya sekarang menjadi gila kerja. Mungkin benar ucapan Salma, jika ayahnya sedang menjadikan pekerjaan sebagai pelampiasan rasa sedih.

“Rumah sepi ngga ada ibu.” Daffa teringat kondisi rumah yang berbanding terbalik keadaannya.

Dulu rumah terasa ramai dengan suara alat masak ibu, omelan ibu, senandung ibu, semuanya tentang ibu. Namun, kini tak ada lagi ibu, tak ada lagi suara yang diciptakan ibu.

Ibu adalah orang yang paling Daffa sayangi melebihi apapun. Daffa bisa mengadu besarnya rasa sayangnya kepada ibu dengan besarnya bumi, Daffa yakin, yang lebih besar ialah rasa sayangnya ke ibu.

Selama ini lah ibu yang menjadi teman Daffa selain Salma. Daffa anak yang kurang bisa bersosial, ibu paham, oleh karena itu, ibu berusaha untuk selalu berada bersama Daffa. Itulah mengapa, saat ibu pergi, Daffa merasa tak punya siapa-siapa lagi.

Daffa teringat sebuah momen dulu saat ia tidak bisa tertidur. Daffa mendapati ibu yang sedang membuatkan teh untuk ayahnya yang baru saja pulang bekerja.

Ibu bertanya mengapa Daffa belum tidur, dan Daffa pun mengatakan alasannya belum tidur. Tak lama, ibu masuk ke kamar Daffa dengan membawa segelas susu hangat.

Ibu duduk di sisi ranjang dan menyuruh Daffa meminum susu yang sudah dibuatnya. Dengan senang hati Daffa meminum susu buatan ibunya.

Ibu mengarahkan kepala Daffa untuk tidur di atas pangkuannya. Ibu tak berbicara apapun, tetapi tangannya yang bekerja. Usapan tangan ibu di kepala Daffa sudah seperti lantunan lagu nina bobo.

Tidak lama, Daffa merasakan kantuk luar biasa. Ibu pun berkata, “Tidur yang nyenyak ya, besok Ibu buatin nasi goreng buat sarapan.” Setelah itu Daffa terlelap dalam tidurnya.

Air mata Daffa terjatuh mengingat momen itu. Salma paham dengan situasi ini, Salma mendekat ke Daffa, lalu ia rengkuh badan besar milik Daffa.

“Lo berjuang hebat buat menaklukan hari-hari lo yang ngga mudah.” Tak sadar jika Salma ikut menangis, dirinya pula merasakan deja vu saat dirinya kehilangan kedua orang tuanya sekaligus. Salma paham betul apa yang dirasakan Daffa.

“Lo masih mau nemenin gue walau gue cengeng kaya gini?” tanya Daffa di sela tangisnya.

“Gue bakal temenin lo terus, sampai kapanpun itu. Sampe lo nikah mungkin? Pokoknya sampe lo bahagia.”

Salma menepuk punggung Daffa sekali, untuk menyudahi kegiatan berpelukan mereka. “Udahan nangisnya. Lo inget ngga sih, waktu dulu kita pergi kemah? Yang kita ngerjain anak-anak yang lain pas jurit malam.” Salma mulai mengalihkan topik pembicaraan, agar suasana tidak terus-terusan sedih.

“Inget lah, sumpah sih ngakak banget.” Daffa dan Salma asik mengingat masa-masa mereka saat berkemah dengan teman-temannya.

Mereka terkenal sebagai anak usil. Dulu, mereka memasang suara tawa kuntilanak saat melakukan jurit malam. Alhasil mereka membuat teman-temannya berlarian berhamburan ketakutan.

Namun, hanya merekalah yang sangat puas tertawa. “Tapi, sialnya kita malah dilihatin mbak kunti beneran.” Karma, Daffa dan Salma justru benar-benar melihat sosok itu di belakang mereka.

“Hahaha, beneran apes banget dulu. Jadi kangen kemah deh, sayang banget kelas akhir ngga ada kemah lagi.” Daffa ingin kembali berkemah, tetapi fakta ia sudah berada di kelas akhir membuatnya menguburkan keinginannya.

Keduanya teramat asik saling tertawa mengingat memori-memori lucu saat dulu. Salma senang bisa menjadi tempat bercerita Daffa dalam kondisi apapun, dalam tangis maupun tawa.