Curhat
Daffa merasa dunianya sedang tak berpihak padanya. Daffa ingin mencurahkan segala kesesakan dalam hatinya.
Daffa hanya punya Salma sebagai temannya, hanya Salma tempat ia mencurahkan segalanya. Salma satu-satunya orang yang Daffa jadikan tempat bercerita. Dari cerita bahagia maupun sedih, Salma lah yang mendengarkan.
Daffa berdiri di depan rumah Salma, ia tak berani mengetuk dan memanggil Salma. Pikirannya sudah terbang entah ke mana.
Namun tiba-tiba saja Salma membuka pintu rumahnya, ia berniat untuk membuang sampah di depan rumahnya, tapi justru mendapati hadirnya Daffa.
Terkejut bukan main saat Salma melihat sosok tinggi dan mempunyai badan besar menggunakan hoodie berwarna hitam.
“Lo kok ngga bilang kalo udah sampe?” tanya Salma sembari membuang sampahnya.
Daffa hanya menggeleng. “Ya udah, ayo masuk dulu.” Salma mempersilahkan Daffa untuk masuk ke dalam rumahnya.
Salma membuatkan Daffa teh hangat di dapur, Salma mengerti kondisi Daffa. Sosok periang kini menjadi sosok pendiam, tandanya ada yang tidak baik-baik saja pada Daffa.
Salma menghampiri Daffa dengan membawa gelas di tangannya. Ia taruh gelas itu di meja, lalu ia duduk di sebelah Daffa.
“Kenapa?” Salma langsung saja masuk pada intinya, tak ingin banyak berbasa-basi.
“Ibu,” ucap Daffa menggantung.
“Ibu kenapa?”
Daffa menoleh pada Salma. “Ibu gagal ginjal.”
Mata Salma terbelak mendengar ucapan Daffa. “Lo ngga lagi bercanda, kan?”
Daffa Menggeleng. “Buat apa gue bercanda?” Mata Daffa berair, sebentar lagi air matanya akan tumpah.
Daffa mengalihkan pandangannya pada langit-langit atap, air matanya berhasil lolos keluar. “Gue ngga tau lagi harus gimana, Sal.”
“Ibu di mana?” tanya Salma yang dibalas gelengan oleh Daffa. “Ngga tau, mungkin di rumah.”
“Kok mungkin sih?”
Daffa mengusap air matanya. “Tadi gue nemenin ibu ke rumah sakit buat ambil hasil tesnya. Waktu ibu bilang dia kena gagal ginjal, gue ninggalin ibu gitu aja.”
“Daff? Kok lo goblok banget sih. Kenapa lo tinggalin ibu? Lo tau ngga? Ibu butuh support lo, Dap.” Salma menatap Daffa dengan tatapan kesal.
“Ibu sama ayah, tenang aja. Gue yakin ibu baik-baik aja sama ayah.”
“Tetep aja Dap, harusnya lo ngga ninggalin ibu gitu aja. Harusnya lo temenin ibu, dan bukan ke sini.” Daffa menoleh pada Salma. “Salah ya kalau gue mau berbagi cerita ke lo? Salah kalo gue masih ngga bisa nerima kondisi ini? Salah kalo gue ngerasa hidup gue ngga ada gunanya lagi?”
“Gue pulang aja, Sal.” Daffa menghapus jejak air mata yang tersisa pada matanya lalu bangkit berdiri dari tempat duduknya.
Salma menahan tangan Daffa saat Daffa ingin pergi. “Bukan gitu maksud gue.”
Daffa membalikkan tubuhnya, berkontak mata dengan Salma. “Terus maksud lo gimana?”
Salma tak menjawab, Salma langsung merengkuh badan di depannya saat ini. Sedikit berjinjit untuk meraih pundak Daffa.
Daffa tertegun atas pelukan Salma. Ini yang ia harapkan, ia hanya berharap adanya sebuah pelukan yang dulu sering diberikan Salma saat dirinya merasa sedang tak baik-baik saja.
Salma menepuk pundak Daffa. “Turunan anjir, gue capek jinjit gini.”
Daffa terkekeh dan menurunkan pundaknya agar menyamakan tinggi Salma.
Salma tidak mengelus ataupun menepuk punggung Daffa untuk menenangkannya, karena Daffa justru tak nyaman. Tangan Salma hanya diam tak melakukan apapun.
“Berat, ya? Habis ini lo temenin ibu, ya? Gue yang bakal temenin lo. Gue di sini kok, gue ngga ke mana-mana. Lo bebas kapanpun itu hubungin gue, kita sama-sama kasih support ibu.” Daffa mengangguk dan mempererat pelukannya.