Berhasil
Maria dan Icha bersebelahan dan berjalan menuju satu ruangan dengan dua lelaki di belakang mereka.
“Gue masuk dulu ya,” ucap Maria pada Icha saat sudah sampai di depan ruangan milik Farhan.
Maria mengetuk pelan pintu ruangan itu lalu masuk ke dalam, melihat Farhan yang sedang berkutik dengan beberapa berkas di mejanya.
Farhan menoleh melihat siapa yang masuk ke dalam ruangannya. Melihat Maria, Farhan langsung mengukir senyum.
“Lagi sibuk, Kak?” tanya Maria pada Farhan.
Farhan menggeleng, “Engga, Mar.”
“Mau ketemu papah sekarang?” tanya Farhan sembari berdiri dari kursinya dan menghampiri Maria.
Maria mengangguk, “Sekarang aja Kak, yang punya tanah nunggu di luar sama Icha.”
“Oh, ya udah ayo.” Farhan menggenggam tangan Maria dan mengajaknya keluar.
Saat pintu dibuka oleh Farhan, Maria langsung memberi kode ke Icha untuk mengikutinya.
Tangan Farhan tak melepaskan genggamannya, membuat seluruh karyawan memperhatikan mereka. Tak heran jika karyawan di sana terkejut melihat Farhan menggandeng tangan wanita, karena selama ini Farhan sama sekali tak melihatkan hubungannya pada publik.
Farhan tak peduli dengan tatapan mereka, namun Maria merasa sedikit gugup akibat semua mata berfokus padanya.
Mereka telah sampai di depan ruangan yang cukup besar, itu adalah ruangan milik Papa Farhan. Farhan langsung saja membuka pintu di depannya tanpa ada aba-aba. Membuat orang di dalam ruangan terkejut, di sana ada Papa Farhan dan Indy.
Betapa terkejutnya Maria saat melihat ada Indy di dalam ruangan itu, rasa itu juga sama seperti yang Indy rasakan saat melihat Farhan dengan wanita lain.
“Dia siapa, Farhan?” tanya Indy yang langsung berdiri dari tempatnya duduk semula.
“Dia pacarku,” ucap Farhan dengan penuh penekanan.
Maria melepas tangannya dari Farhan dan mendekat ke Indy. Awalnya Farhan menahan Maria, namun Maria tetap mendekat ke Indy.
Tangan Maia terulur ke arah Indy, “Kenalin, Maria.”
Indy membalas uluran tangan Maria, “Indy.”
Maria menolehkan pandangannya pada Papa Farhan, “Om, saya udah nemuin tanah yang sesuai dengan semua syarat yang Om kasih. Pemilik tanah dan saksinya udah ada di depan.”
“Suruh masuk saja,” jawab Papa Indy.
“Indy, kamu bisa keluar dulu? Ada beberapa persoalan yang mau dibahas,” ucap Maria pada Indy.
“Loh? Kenapa harus keluar? Gue nggak akan ganggu kok.” Indy enggan untuk menuruti Maria.
“Biarin Indy di sini.” Papa Farhan ikut bersuara.
“Tuh, dengerin.” Indy merasa puas karena ada yang membelanya.
“Om, ini adalah perjanjian untuk projek yang besar, nggak tiap orang bisa ada di sini. Yang berhak di sini adalah orang-orang yang terlibat di projek ini. Saya mohon Om bisa profesional dengan tidak membawa urusan pribadi ke urusan kerjaan.” Telak, Maria membungkam mulut Papa Farhan dengan ucapannya.
“Indy, tolong keluar dulu, ya?” ucap Papa Farhan pada Indy.
Tanpa menjawab Indy langsung melangkahkan kakinya dengan kesal dan menutup pintu dengan sedikit dibanting, membuat Farhan menggelengkan kepalanya.
Setelahnya, Maria menyelesaikan pekerjaannya sebagai penyalur Papa Farhan pada pemilik tanah.
Hingga sekarang menyisakan Farhan, Maria, dan Papa Farhan di dalam ruangan.
“Jadi sekarang saya dapat izin, kan, Om?” Maria menatap Papa Farhan yang berada di depannya.
Mau tidak mau Papa Farhan harus mengangguk dan mengiyakan pertanyaan Maria.
Maria menarik bibirnya ke atas memperlihatkan senyumnya, “Makasih, Om.”