Memantaskan Diri
Maria tiba di depan pagar rumah Farhan. Pak Yanto yang mengetahui kedatangan Maria langsung membukakan pagar untuk Maria.
“Makasih, Pak.” Maria tersenyum sembari melangkahkan kakinya melewati Pak Yanto.
Kali ini kakinya sangat yakin untuk melangkah, tidak seperti kemarin. Maria sudah berada di depan pintu besar yang sebenarnya sudah sering ia datangi.
Maria mengetuk pintu tersebut, tidak butuh waktu lama, sudah ada membukan pintu. Pria yang menjadi alasan kedatangan Maria yang membuka pintu.
“Mau ngapain kamu?” tanya pria tersebut.
“Mau jemput Shelly, Om. Sekalian mau memantaskan diri untuk Kak Farhan.” Maria tetap tersenyum walaupun Papa Farhan menatapnya tak suka.
Mereka masih berdiam di sana. “Om, aku boleh masuk?” tanya Maria untuk memecah keheningan.
Papa Farhan tak menjawab apapun, ia hanya melebarkan pintunya dan langsung masuk kembali ke rumah, meninggalkan Maria begitu saja.
Maria masuk ke dalam rumah Farhan mengikuti Papa Farhan. Saat berada di ruang tamu, dirinya disambut hangat oleh Mama Farhan.
“Eh, Maria, ayo duduk dulu.” Maria menjawab dengan gelengan, lalu ia mendekat ke telinga Mama Farhan.
“Mah, aku boleh masak ga? Mau ambil hati Om, hehe.” Maria berbisik dan memberi tahu tujuan kedatangannya.
Mama Farhan mengangguk dan langsung saja menarik tangan Maria untuk ia ajak ke dapur.
Sesampainya di dapur, Maria melihat sekeliling, memastikan jika Papa Farhan tidak ada di sekitarnya.
“Mah, nanti jangan bilang kalo yang masak aku, ya? Bilangnya waktu udah selesai makan aja.” Lagi dan lagi, Mama Farhan hanya mengangguk saja.
Maria lantas memulai kegiatan masak-memasaknya. Bersama dengan Mama Farhan yang memperhatikannya.
Tidak sulit bagi Maria untuk memasak masakan Chinese karena ia juga sudah terbiasa memasak masakan Chinese.
Setelah makanan siap dan sudah ditata di meja makan, Mama Farhan memanggil suaminya, Farhan, serta Shelly.
“Loh, Mar? Kapan datengnya? Kok aku ga lihat?” tanya Farhan.
“Tadi, Kak, ayo makan dulu.”
Maria, Shelly, Farhan, dan kedua orang tua Farhan sudah duduk rapi untuk menyantap masakan yang berada di depan mereka.
Papa Farhan melirik singkat pada Mama Farhan, “Tumben masak ini?”
“Spesial buat kamu, Mas,” jawab Mama Farhan.
Di sela-sela makan, Maria terus memperhatikan Papa Farhan yang sangat lahap memakan masakannya. Maria tersenyum senang karena itu tandanya, Papa Farhan menyukai serta menikmati masakannya.
Bahkan Papa Farhan sampai mengambil nasi lagi karena merasa tak cukup jika hanya makan sekali saja.
“Enak, Mas?” tanya Mama Farhan pada suaminya.
Papa Farhan mengangguk, “Banget, masakannya lebih enak dari biasanya.”
“Yang masak tu Maria loh.” Papa Farhan berhenti melakukan aktifitasnya, lalu menatap Maria.
“Iya, Om, aku yang masak, enak ya?”
“Iya.” Hanya jawaban singkat, namun sudah membuat Maria bahagia.
“Besok aku masakin lagi mau, Om?”
“Ga perlu, makasih tawarannya.” Papa Farhan mungkin bisa bilang seperti itu, namun nyatanya kini masakan Maria habis tak tersisa karena Papa Farhan.
“Om, aku itu udah kerja, Om sendiri tau, kan?” Papa Farhan tetap mengangguk saja.
“Keren ga sih aku?”
“Engga, lihat Indy, dia memiliki pekerjaan lebih tinggi dari kamu.”
Maria tersenyum, “Tapi Indy ga bisa masak makanan seenak punya aku. Impas, kan?”
“Saya tidak semudah itu dirayu, kamu jangan buang-buang waktu hanya untuk mengambil hati saya, percuma.”
“Om, usaha itu tidak akan pernah mengkhianati hasil.”