eltta

Saat sedang asik menonton televisi, ada suara pintu terbuka, membuat Farhan dan Shelly menoleh pada sumber suara.

“Hehe, hallo, kak,” sapa Icha yang baru keluar dari kamar dengan sedikit canggung.

“Iya, hallo juga, Cha.”

“Shelly, mandi dulu yuk sama Kak Chacha. Nanti kita main salon-salonan,” ajak Icha, agar Shelly mau mandi dengannya.

Mendengar tawaran yang menggiurkan membuat Shelly langsung mengangguk dan bersemangat ingin mandi.

“Kak, gue mandiin Shelly dulu, ya,” pamit Icha pada Farhan. Farhan hanya membalasnya dengan anggukan.

Icha dan Shelly kembali masuk ke kamar, sementara Farhan masih duduk pada sofa di depan televisi.

Fokusnya pada televisi teralihkan ketika mendengar sebuah ringisan, “Aww.”

Farhan langsung menghampiri sumber ringisan itu, ia masuk ke dapur, tempat Maria berada.

“Kenapa, Mar?” Farhan mendekati Maria yang berada di depannya.

“Ini, kena pisau, kak.” Maria menunjukan jari telunjuknya pada Farhan, ada secuil luka yang terukir di sana.

Dengan cepat Farhan langsung menarik jari telunjuk Maria lalu ia arahkan jari itu pada mulutnya, ia isap jari Maria.

“Kak?”

“Stt, diem, ada P3K ga?”

“Ga ada, Kak, tapi ada hansaplas di laci situ.” Maria menunjuk pada laci di samping Farhan.

Dengan tergesa Farhan membuka laci tersebut dan mencari sebuah barang yang sangat diperlukan. Setelah menemukan sebuah plester luka ia langsung membukanya dan memakaikan pada jari telunjuk Maria.

Setelah selesai memakaikan plester luka dan memastikan luka Maria sudah tertutupi, Farhan meniup jari Maria dan mengecupnya, “Biar cepet sembuh.”

Maria menarik tangannya yang digenggam Farhan, lalu kembali melakukan kegiatannya dan menghindari menatap mata Farhan.

Farhan menghentikan tangan Maria yang ingin kembali menggunakan pisau, “Biar aku aja yang motongin, kalo kamu motongin pas posisi salting itu bahaya.”

Bagaimana Farhan tau jika Maria sekarang sedang salah tingkah? apa wajah Maria sangat jelas jika sedang salah tingkah?

“Awas kamu, biar aku aja. Besok kalo lagi salting, jangan nekat buat masak.” Maria masih termenung mendengar perkataan Farhan, otaknya sungguh lama untuk memproses semua ini.

Farhan sesungguhnya sangat malas jika harus datang ke acara Papahnya karena tidak tertarik, ditambah pula perkataan Papahnya di chat tadi.

Namun akibat bujukan dari sang Mamah, akhirnya Farhan mau mendatangi acara tersebut.

Tadi setelah pulang dari kampus, Farhan langsung menuju kantor Papahnya. Lalu Farhan berangkat menuju gedung yang sudah disiapkan untuk acara perayaan keberhasilan perusahaan.

Kini Farhan sudah sampai, ia mendecak kesal melihat sekeliling. “Ck, males banget gue. Gue cuma berharap ga akan ketemu Indy,” batinnya.

Farhan hanya mengikuti Mamahnya kemana pun itu. Sampai duduk pun ia hanya ingin di samping Mamahnya.

“Kamu ngapain ngikutin Mamah terus?” tanya Mamah Farhan.

“Ga mau ketemu Indy.”

“Ga akan, ya udah kamu di samping Mamah aja.”

Farhan mulai bosan, karena Mamahnya yang memilih duduk di sekeliling teman-temannya. Farhan pusing mendengar ibu-ibu teman Mamah memuji ketampanannya, padahal dirinya sudah tau akan hal itu.

Farhan mengambil earphonenya lalu memakainya. Farhan mendekati Mamahnya dan berbisik, “Mah, aku telfonan sama Maria, ya? jangan ganggu, oke?” Mamah Farhan hanya mengangguk mengiyakan.

Farhan membuka ponselnya dan mulai mencari nama Maria di sana. Farhan pun menelfon Maria, sesungguhnya ia tak tau lagi harus melakukan apa, jadi lebih baik dia mengobrol dengan kekasihnya.

Tidak ada waktu lama, Maria langsung mengangkat panggilan dari Farhan.

“Hallo? kenapa kak?”

“Gapapa, Mar, aku gabut. Kamu udah di rumah? udah makan?”

“Udah, Kak, udah makan juga.”

“Sip kalo gitu, sekarang berati lagi nyantai?”

“Iya, kan disuruh Kakak.”

“Bagus, nurut sama pacar.” Mamah Farhan menoleh pada Farhan, lalu mendekat ke arah Farhan. “Mar, kok mau sih sama Farhan?”

“Loh? ada Tante?”

“Bentar-bentar, aku spiker aja.” Farhan melepas earphonenya dan menekan tombol spiker pada ponselnya.

“Dah, nih sana ngobrol.”

“Hallo, Tan.”

“Hallo, Mar. Panggil Mamah aja, biar sama kaya Farhan.”

“Kan emang harus gitu, besok masa pas Maria udah jadi istri aku masih manggil tante, kan ga boleh.”

Mamah Farhan langsung mendorong pelan bahu Farhan, “Ngomongnya udah kaya bakal nikah aja.”

“Dukung dong, Mamah ga mau punya mantu Maria?”

“Ya mau lah, masa ga mau.”

Suara tawa Maria terdengar dari seberang sana, “Hahahah, Kakak emang gini kalo sama Tante?”

“Mamah, Maria, bukan tante.” Mamah Farhan mengingatkan Maria kembali.

“Eh iya, maaf, Mah.”

Farhan tersenyum sumringah, “Asik banget deh kalo Mamah akur sama mantunya.”

“Kak, apaan sih?”

“Ngaku, pipi kamu pasti lagi kebas, kan? ga capek senyum mulu?”

“Kak, diem.”

“Mah, tau ga sih—” Ucapan Farhan dipotong Mamahnya, “Engga.”

“Belum, Mamah.” “Kemarin itu, Maria ngeyel banget disuruh makan. Saking sibuknya, dia sampe lupa makan. Karena aku pacar yang baik, aku samperin dia ke cafe, aku suapin dia di depan semua pengunjung cafe. Banyak yang bilang kita so sweet, Mah, banyak yang setuju kalo kita nikah.”

“Bohong, Mah, ga ada yang nyuruh nikah. Kak Farhan jangan ngaco dong.” “Kak Farhan itu ngeselin banget, Mah. Aku malu banget kem—” Ucapan Maria terpotong karena panggilan seseorang.

“Farhan!” Farhan menoleh ke arah suara dan langsung mematikan sambungan telfonnya.

Farhan beralih menatap Mamahnya, “Mah, katanya ga bakal ketemu?”

“Duh, kamu sih, Mamah keasikan ngobrol nih, sampe ga sadar Indy di deket kita.” Ya, orang yang memanggil Farhan adalah Indy.

Indy adalah anak dari rekan kerja Ayah Farhan sekaligus mantan kekasih Farhan. Farhan mengakhiri hubungannya dengan Indy karena merasa hubungannya sudah tak sehat lagi.

Farhan menghindari Indy karena Indy masih bersih keras ingin kembali menjadi kekasihnya. Farhan juga sebenarnya hanya menjadikan Maria sebagai tamengnya jika suatu hari bertemu Indy.

Tetapi apa daya, Farhan justru sekarang benar-benar jatuh cinta pada Maria. Niatan awal yang hanya menjadikan Maria tameng gagal. Sepanjang berjalannya waktu, ia sadar jika ia sudah benar-benar jatuh pada Maria.

Farhan sudah bersama Shelly, Maria tadi langsung pergi ke kelasnya ketika bertemu Farhan.

“Bosen ga?” Farhan menatap Shelly yang berada pada gendongannya.

“Bosen, kak.”

“Beli mainan di depan aja yuk?”

Shelly menggeleng, “Nanti dimarahin Kak Maria.”

“Kalo belinya sama Kak Farhan ga akan dimarahin, kalo Shelly dimarahin, bilang sama Kak Farhan.”

“Bener ga dimarahin Kak Maria?” Farhan mengangguk, “Yaudah ayo, kak,” lanjut Shelly.

Farhan dan Shelly pergi menuju toko mainan yang berada pada seberang kampus.

Sesampainya di sana, Shelly langsung memaksa turun dari gendongan Farhan. Dirinya sangat bersemangat ketika melihat banyak sekali mainan.

Satu per satu lorong mainan Shelly lihat dengan teliti, mencari mainan yang ia inginkan.

Pandangan Shelly jatuh pada saat di lorong kedua, ia melihat sebuah wadah kecil pada lemari rak paling bawah.

Sebuah tempat yang berisikan sesuatu berwarna warni, membuat Shelly penasaran akan sesuatu pada wadah tersebut.

Shelly mengambilnya dan menunjukan pada Farhan, “Kakak, ini apa?”

Farhan mengambil benda kecil yang Shelly pegang, “Ini? Bentar ya, Kakak tanyain dulu.”

Farhan menghampiri seorang wanita yang sedang membereskan mainan, “Mbak, ini apa ya?” Farhan menunjukan mainan yang ia pegang.

“Ini namanya slime, mas.”

“Mainannya gimana, mbak?”

“Nanti dikeluarin aja, terus di pencet-pencet gitu.”

“Oh gitu, makasih mbak.”

Farhan berbalik dan menghampiri Shelly, “Shelly mau?”

“Boleh?” Farhan mengangguk menjawab pertanyaan Shelly.

“Mau, kak.”

Farhan menggandeng Shelly ke meja kasir lalu membayar mainan yang ia beli. Farhan mengajak Shelly ke satu kelas yang sedang tidak dipakai.

Shelly sudah duduk pada salah satu meja di sana. Karena Shelly yang masih kecil, jadi ia belum sampai jika duduk pada bangku.

Shelly memberikan mainannya pada Farhan, “Kak tolong bukain.”

Farhan menerimanya lalu membuka tutup wadah itu dan memberikan kembali pada Shelly.

Shelly mencoba memegang benda yang ada pada dalam wadah itu. Ternyata sebuah benda yang cair namun kental, tak bisa disebut benda cair, namun tak bisa pula disebut benda padat.

Shelly mengangkat jarinya kembali, namun ternyata benda itu menempel.

“Kak, ini kok gini?” Shelly bingung karena ini pertama kalinya ia memainkan mainan seperti ini.

“Loh kok lengket? coba sini.” Farhan mencoba melepaskan benda lengket itu dari jari Shelly, namun benda itu ikut menempel pada jari Farhan.

Farhan berusaha untuk melepaskannya, namun justru semakin lengket. Hingga tak disadari, Farhan justru membuat benda lengket itu menempel pada rambut Shelly.

Farhan sudah kelewat bingung, akhirnya ia mengajak Shelly untuk ke toilet dan membersihkan tangan mereka menggunakan air. Namun slime yang menempel di rambut Shelly sudah mengeras, tidak lagi berpengaruh saat diberi air.

Farhan melajukan mobilnya menuju rumah Maria, ia serius dengan perkataannya. Farhan serius memiliki rasa suka bahkan cinta untuk Maria.

Sepanjang perjalanan Farhan selalu merapalkan doa agar cintanya terbalas. Hatinya tak tenang memikirkan kata yang harus ia ucapkan, dan memikirkan jawaban dari Maria.

Farhan sampai di rumah Maria. Helaan nafas keluar dari hidungnya saat ia memutuskan keluar dari mobil.

Sebelumnya ia sangat semangat untuk menemui Maria, namun kini justru langkahnya semakin berat untuk mendekat ke rumah Maria.

Farhan memberanikan dirinya untuk mengetuk pintu rumah Maria. Maria membuka pintu rumahnya dan sudah tau akan kedatangan Farhan.

Dua mata saling bertemu, belum ada sepatah kata pun yang keluar. Dua insan ini masih sibuk menatap satu sama lain sembari bergelut dengan pikirannya masing-masing.

“Mar,” panggil Farhan memecah keheningan yang terjadi.

“Ya, Kak?” Maria tersadar dari lamunannya.

“Yang di chat tadi itu serius, gue beneran sayang sama lo.” Farhan menarik kedua tangan Maria untuk ia genggam, walau ada rasa ragu pada dirinya.

“Mau rawat tanaman bareng gue ga? gue tanahnya, lo airnya. Kita saling melengkapi supaya tanaman yang kita tanam bisa tumbuh subur. Gue ga bisa rawat sendirian, gue butuh lo. Tanah ga bisa menghidupkan tanaman tanpa air, ayo saling melengkapi,” lanjut Farhan.

“Tapi, Kak—”

“Gue mau nagih utang lo juga.”

“Utang?”

“Iya, yang waktu itu mau lo ganti, tapi gue ga mau.” Maria mencoba mengingat kembali tentang utang yang dimaksud Farhan

“Yang harus nurutin permintaan kakak?” Farhan mengangguk, membalas pertanyaan Maria.

“Emang kakak mau minta apa?”

“Gue minta lo jadi pacar gue.”

“Ga mau yang lain?” Hati Farhan sedikit sakit mendengar itu, apakah Maria menolaknya?

“Lo ga mau jadi pacar gue, Mar?”

“Mau kak, makanya gue tanya, ga mau yang lain? soalnya kalo permintaan itu udah jelas gue terima.” Farhan sungguh lega mendengar itu, awalnya ia kira Maria akan menolaknya.

Farhan tersenyum dan menggeleng, “Cuma itu permintaan gue. Jadi? kita jadian?”

“Ya, iya?” Maria mengangguk dengan rasa sedikit ragu namun ia juga yakin.

Detik itu pula tangan yang mulanya hanya digenggam pun langsung ditarik membuat Maria jatuh pada pelukan Farhan.

“Dunia harus tau kalo malem ini Farhan melepas masa jomblonya.” Maria terkekeh dalam pelukan Farhan, untuk apa dunia harus tau? pikir Maria.

“Gu— eh aku janji bakal buat kamu bahagia dan buat kamu ga nyesel nerima aku.” Farhan mengusap punggung Maria lalu mengecup pelan ujung kepala Maria.

Maria mendongak dan menatap Farhan, “Jangan janji, kak. Utang kamu ga akan bisa dibayar kalau nanti janjinya ga kamu tepatin.”

Farhan pun menatap balik Maria, “Gapapa, janjiku pasti bakal terpenuhi. Ini teriak boleh ga? aku mau pamer kalo aku udah ga jomblo lagi.”

“Ga boleh, Shelly udah tidur.”

Farhan mendekat ke telinga Maria dan berbisik, “Aku bilang di sini aja deh. Halo dunia, hari ini seorang Farhan udah ga jomblo lagi, Farhan udah punya pacar, namanya Maria. Maria itu perempuan paling kuat, dia udah bisa ngalahin wonder woman. Dia juga cantik wajahnya dan hatinya, pokoknya dia yang terbaik.”

Pipi Maria memerah mendengar itu, dirinya sangat-sangat malu. Ingin sekali Maria menghilang dari hadapan Farhan dalam waktu sekejap.

Tanpa Farhan beri tahu pun dunia sudah tau bahkan dunia menjadi saksi kisah cinta mereka. Dunia pula yang akan menemani mereka menjalani hidup sebagai sepasang kekasih setelah ini.

Dua mobil datang ke rumah kiana untuk menjemput Kiana. Rumah Kiana adalah tujuan akhir dari aksi jemput-menjemput.

Mobil pertama milik Kenzo diisi Kenzo, Gian, dan Aksa. Lalu mobil kedua milik Reza diisi oleh Reza, Reno, Haris, dan Dara.

“Ki, sini langsung masuk aja, belakang masih kosong.” Gian membuka jendela mobil dan memanggil Kiana.

Kiana mengangguk dan membuka pintu belakang mobil Kenzo. Orang pertama yang dilihat Kiana saat membuka pintu adalah Aksa.

Aksa menatap Kiana dan tersenyum, Kiana juga membalas senyuman Aksa.

Saat kaki Kiana ingin melangkah untuk memasuki mobil, langkahnya terhenti karena ucapan seseorang.

“Na, lo tukeran sama Reno aja,” ucap Reza.

Kiana menoleh pada Reza, “Ga mau, udah deh ga usah banyak cincong, langsung berangkat aja.”

“Kalo gitu gue ogah berangkat, sana berangkat aja sendiri.”

“Udah deh lo tuh ribet banget sih? tinggal jalan doang apa susahnya? sini gue aja yang bawa mobilnya.” Dara ingin sekali memukul Reza, namun harus ia tahan.

“Gimana? masih ga mau berangkat?” tanya Kiana.

“Iya-iya berangkat, temen lo serem.” Dikala itu pula rambut Reza ditarik Dara, “DARA LO KELUAR AJA DEH!”

Perjalanan yang ditempuh memang cukup memakan waktu. Mobil Reza yang diisi candaan Haris sepanjang perjalanan dan mobil Kenzo yang hanya diisi keheningan.

“Krik.. Krik..” Gian menirukan suara jangkrik untuk memecah keheningan yang terjadi.

“Ngapain sih, sayang?” Kenzo menoleh pada kekasihnya dan merapikan rambut yang sedikit menutupi mata Gian.

“Tolong jangan ada konten uwu di depan gue.” Jiwa jomblo Kiana bergejolak melihat sepasang kekasih di depannya.

“Bilang aja lo iri.” Kenzo dengan muka tengilnya menoleh pada spion mobil untuk menatap Kiana.

“Gi, putusin aja, tengil banget pacar lo.”

“Jangan lah, tengil-tengil gini gue tetep masih sayang.” Kiana mual mendengar itu, sepertinya ini akibat menjomblo terlalu lama.

“Belok kiri, Zo.” Gian menepuk pundak Kenzo untuk mengingatkannya.

Karena asik berdebat dan bercanda, Kenzo lupa tujuannya. Setelah Gian mengingatkan, Kenzo langsung memutar kemudinya secara mendadak.

Membuat Kiana yang tidak menggunakan sabuk pengaman terhempas ke arah kanan dan mengenai tubuh Aksa. Aksa menahan tubuhnya dan tubuh Kiana agar tak begitu terhempas.

Dirasa mobil Kenzo sudah berbelok, Kiana bangkit dari posisinya yang bersandar di Aksa untuk duduk kembali.

“Lo yang bener dong kalo mau belok, untung ada Aksa. Kalo engga kan gue malah nyungsep,” omel Kiana pada Kenzo.


Kiana dan teman-temannya sudah sampai pada tujuan mereka. Kenzo yang menggenggam tangan Gian dan Haris yang merangkul pundak Dara, mereka memimpin jalan di depan.

Saat sedang santai berjalan, tiba-tiba saja dua telapak tangan Kiana digenggam secara bersamaan. Kiana terkejut dan langsung menoleh ke arah kedua tangannya.

Kiana mengangkat dua genggaman itu dan menatapnya. Ternyata yang menggenggam tangannya ialah Aksa dan Reza, entah kebetulan atau tidak mereka menggenggam tangan Kiana bersamaan.

“Ngapain nih?” Kiana menoleh ke arah Aksa lalu Reza.

“Lo ngapain pegang-pegang sih? udah jadi mantan juga.” Satu tangan Reza memukul genggaman tangan Aksa pada Kiana.

“Terserah lah.”

“Mending gini,” Kiana melepas genggamannya pada Aksa dan Reza, lalu ia kaitkan tangan mereka untuk saling menggenggam.

“Nah pas, terus gue sama..” Kiana mendekati Reno dan langsung memeluk lengan Reno.

“Gue sama Reno aja.”

Disaat matahari berada tepat di atas kepala, Reza berdiri di halaman dengan banyak motor.

Reza menunggu kedatangan seseorang. Banyak temannya yang mengajak untuk pulang bersama, namun Reza menolaknya.

Suara tawa orang yang ditunggu Reza terdengar, membuat matanya mencari keberadaan sosok yang sudah ia tunggu.

Sosok dengan rambut yang dikucir, mata coklat, dan hidung yang kecil. Sosok tersebut ialah teman kecil Reza, yaitu Kiana.

Kiana berjalan bersama Naufal di sebelahnya sembari asik saling bercanda.

Tawanya pudar dan hilang ketika melihat Reza, sosok yang sedang dihindari.

Kiana berjalan melewati Reza untuk mengikuti Naufal, tangannya ditarik dipaksa berhenti, “Pulang sama gue.”

“Gue sama Kak Naufal.”

“Gue yang ngomong sama kakak lo.” Reza berjalan menghampiri Naufal yang masih sibuk mengeluarkan motornya.

“Gue anter pulang Kiana, boleh ga?” tanya Reza pada Naufal.

“Gue udah denger dari Kiana masalah lo, gue juga laki-laki, gue paham sama lo. Kalo lo beneran serius, buktiin, jangan jadi bajingan untuk ke sekian kalinya. Gue izinin lo anter pulang Kiana.”

“Gue bakal buktiin, lo tenang aja.”

Reza menghampiri Kiana dan langsung memakaikan helm pada kepala Kiana. Wajah bingung Kiana terukir jelas pada wajahnya.

“Gue yang nganter, tanya aja sama kakak lo. Jangan gitu, ntar cepet keriput.” Reza mengelus alis Kiana yang berkerut.

Kiana memutar bola matanya dengan malas, sembari tangannya sibuk mengaitkan tali helmnya.

“Gini loh.” Reza gemas melihat Kiana yang tak bisa mengaitkan tali helmnya, akhirnya ia saja yang mengaitkan.

“Gue tu bisa, cuma tadi sengaja gue lama-lamain.”

“Ga usah ngeles lo, buruan naik.” Kiana pun memegang pundak Reza dan naik ke motor.

“Udah.”

“Tangan lo mana? sini masukin jaket.”

“Dih ogah, ntar dikira yang engga-engga.”

“Lah dulu juga sering kaya gitu. Udah deh, sini tangan lo.” Reza mengambil tangan Kiana dan menaruhnya di dalam kantong jaket yang ia kenakan.

Farhan dan Maria sudah sampai pada tujuan mereka. Sebelum Maria keluar dari mobil, tangannya ditahan oleh Farhan.

Maria menoleh menatap Farhan, “Kenapa, kak?”

“Jangan angkat kotaknya, biar nanti gue atau orang di sini aja.” Maria tak menjawab, keduanya masih diam dengan mata yang saling menatap.

“Cieee,” ucap Shelly menyadarkan mereka.

Keduanya langsung terburu-buru untuk keluar dari mobil.

Maria menggandeng Shelly dan menuju bangunan yang lumayan besar bersama dengan Farhan.

Saat memasuki bangunan tersebut, Maria disambut dengan sosok yang ia tebak adalah mamah dari Farhan, karena paras wanita itu sangat mirip dengan paras Farhan.

“Maria, ya?”

“Iya, tan. Tante mamahnya Kak Farhan, ya?” tanya balik Maria.

“Seratus buat kamu.”

“Shelly, ayo salim dulu sama mamahnya Kak Farhan.” Maria menuntun Shelly untuk mencium tangan Mamah Farhan.

Shelly pun mendekati tangan Mamah Farhan dan menggenggamnya lalu menciumnya. Shelly menoleh ke atas, ia pandangi wajah cantik Mamah Farhan.

“Kakak, mamah itu apa?” Shelly merasa asing mendengar kata 'Mamah'.

“Mamah itu kaya ibu.” Shelly mengangguk-angguk mendengar jawaban Maria.

“Mamah tau surga dimana ga? soalnya ibu Shelly ada di surga. Ayah juga nyusul ibu ke surga. Kata kakak, surga itu jauh, makanya ibu sama ayah ga pulang-pulang.” Benar, Maria menjelaskan hal itu kepada Shelly.

“Shelly, panggilnya tante, jangan mamah.” Maria mengusap punggung Shelly.

“Gapapa, Shelly panggil mamah aja, ya?” Shelly mengangguk lalu tersenyum.

“Tante, maaf ya.”

“Kenapa harus maaf? Shelly juga pasti rindu sosok ibunya. Tante izin ajak Shelly main sama anak yang lain, ya?” Maria mengangguk.

Mamah Farhan pun menggandeng Shelly dan mengajaknya main bersama anak-anak lain.

“Mar, ikut gue yuk.” Farhan menarik tangan Maria dan mengajaknya ke sebuah kursi yang berada di halaman.

“Kok ke sini? ngapain, kak?”

“Duduk dulu, sini.” Farhan menepuk tempat kosong di sampingnya.

“Lo ga bilang yang sebenarnya sama Shelly?”

Maria menunduk, ia menatap tanah di bawahnya, “Shelly belum paham kak, gue sekarang cuma bisa jelasin hal itu sama dia.”

“Tapi Shelly jadi terus berharap orang tuanya pulang, Mar. Dia masih ngira kalau surga itu ga jauh, dia kira surga itu seperti kota.”

“Gue ga kuat, kak, gue ga kuat kalo harus bilang dia udah ga bisa lagi ketemu sama ayah ibu. Bahkan ditidurnya, dia sering manggil ayah sama ibu. Dia kehilangan sosok ibu dari dia lahir dan ikut kehilangan sosok ayah setahun yang lalu.”

“Gue tau lo wanita kuat, Mar, tapi lo harus tetep jelasin ke Shelly hal yang sebenarnya. Pelan-pelan aja, nanti ikut gue bantu.” Farhan menepuk pundak Maria untuk memberikan kekuatan.

Mobil Farhan sudah terparkir rapi di depan rumah Maria. Farhan mengetuk pintu rumah Maria, yang tak lama kemudian dibuka oleh lelaki sepantarannya.

“Farhan?”

“Yadi? ngapain lo di sini?” Farhan dan Yadi saling kenal, walau hanya sekilas saja.

“Maria temen gue sama pacar gue.”

“Maria udah kelar?”

“Tinggal ditali katanya, ayo masuk dulu.” Yadi mempersilahkan Farhan untuk masuk.

Shelly sedang duduk menonton televisi sembari rambutnya sedang dirapikan Icha.

“Kak Chacha, itu namanya siapa?” Shelly menunjuk salah satu karakter yang berada di televisi.

“Itu namanya Pearl, anaknya Tuan Crab.” Shelly menonton kartun spongebob.

“Kak Chacha? jadi Yadi sama pacarnya yang dimaksud Shelly kemarin?” Farhan bermonolog dengan pikirannya sendiri.

“Kak Didi tadi ngapain?” Shelly menoleh ke arah Yadi, ketika mendapati Yadi yang sudah kembali.

Belum sempat Yadi menjawab, Shelly terlebih dahulu berteriak, “KAKAK GANTENG!”

Shelly turun dari tempat duduknya dan berlari menuju Farhan. Farhan langsung membawa Shelly dalam gendongannya.

Maria keluar dari dapur untuk melihat mengapa Shelly berteriak, “Shelly ngapain? kok ter— eh Kak Farhan. Bentar ya kak, gue tinggal ganti baju aja.”

“Iya, santai.”

Maria bukan orang yang kasarnya rempong, ia tidak butuh waktu lama untuk bersiap-siap.

Maria mulai mengangkat satu per satu tumpukan nasi kotak yang sudah ia susun menjadi beberapa ikatan.

“Ngapain, Mar?” tanya Farhan pada Maria yang terlihat sibuk.

“Mau mindahin makanannya ke depan, kak.”

“Biar gue sama Yadi aja.” Farhan menghampiri Maria dan langsung mengambil dua ikatan kotak makan di tangan Maria.

Maria menahan genggamannya, tidak membiarkan Farhan mengambilnya. “Jangan, gue aja, kak.”

“Udah, gue aja.” Tangan Farhan mengusap tangan Maria lalu Farhan merenggangkan jari-jari Maria agar Farhan bisa mengambil kotak makanan itu.

Farhan menoleh pada Maria, “Lepasin, Maria, biar gue yang bawa.”

Seperti terkena hipnotis, Maria baru tersadar dan segera memberikan kotak makanan itu kepada Farhan.

Akhirnya urusan memindah makanan ke mobil selesai.

“Cha, gue tipsen ya?”

“Iya, santai.”

Maria sekarang sudah duduk pada kursi penumpang di samping Farhan yang mengemudi, dan dengan Shelly di pangkuannya.

“Mar, mampir ke supermarket dulu ya? Mamah nitip snack buat anak-anak.”

“Iya, kak.”

Kondisi di dalam mobil akan hening jika tak ada Shelly. Di sini Shelly bertugas untuk memecah keheningan serta kecanggungan antara Farhan dan Maria.

Sudah pukul tiga dini hari, dan Reza sudah rapi dengan celana jeans serta jaket hitamnya.

Reza keluarkan mobilnya dari garasi untuk pergi ke rumah kekasihnya, yang mungkin setelah ini ia tak akan bisa lagi menyebutnya sebagai kekasih.

Jalanan yang sepi membuat Reza tak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di tujuannya.

Mobil Reza sudah terparkir sempurna di depan bangunan rumah yang akan ia rindukan kedepannya.

Reza mengetuk pelan pintu bangunan itu, dan mendapati sosok yang sangat ia sayangi menyambutnya.

“Reza? beneran ke sini?”

“Bener dong, aku kan ga pernah bohong.”

Tidak ada banyak obrolan karena Angel masih sibuk menata semua bawaannya.

Sekitar pukul setengah empat, Reza serta Angel dan Ibunya berangkat menuju bandara.

Sepanjang perjalanan tak ada satu suara pun yang keluar dari bibir Reza maupun Angel. Keduanya masih tidak menyangka jika hubungan mereka akan berakhir secepat ini.

Setelah sampai di bandara, Ibu Angel pergi untuk mengurus tiket penerbangannya. Ibu Angel pun paham akan situasinya, maka dia meninggalkan Angel berdua dengan Reza.

Reza menggenggam tangan Angel dengan lembut, “Kita beneran berakhir, ya?”

Angel mengangguk, “Lebih baik gitu, Za.”

“Reza,” panggil Angel yang membuat Reza menoleh padanya.

“Setelah ini, tolong jangan nyakitin hati wanita lagi, ya? aku tau, di hati kamu ada tiga wanita. Ada aku, bunda kamu, dan Kiana. Kamu selalu larang Kiana buat dekat sama semua laki-laki karena kamu ga mau dia jadi punya orang lain kan?”

“Aku juga tau kok, tau banget, kalo kamu memang cinta dan sayang sama aku, dan aku pun begitu. Tapi kasarnya, kamu ga cukup dengan satu wanita aja di hati kamu setelah bunda kamu. Kamu nyakitin aku sama Kiana, Reza.”

“Aku harap setelah perpisahan ini, kamu bisa menempatkan satu wanita aja di hati kamu setelah bunda kamu. Habis ini, aku akan cari bahagia aku, dan kamu juga harus begitu.” Angel tersenyum dan berusaha sekuat tenaga agar air matanya tidak jatuh.

“Let's go kita pulang.” Maria mengangkat tangan Shelly dan sedikit menariknya untuk mengajak pergi.

Maria baru saja menyelesaikan sedikit administrasinya untuk kuliah. Maria memang mendapat beasiswa, namun tak seluruh biaya ditanggung.

Maria dan Shelly sudah sampai di luar kampus, mereka akan menyebrang untuk pergi ke halte bus.

Saat hendak menyebrang, Shelly tidak mau berjalan. Membuat kendaraan kembali ramai, dan mereka terpaksa menunggu lagi.

“Shelly?” Maria menoleh ke bawah, melihat Shelly.

“Kakak, mau itu.” Shelly menunjuk sebuah toko mainan yang berada tak jauh dari mereka.

“Besok aja ya, kapan-kapan kita ke sana.” Bukan tanpa alasan Maria berbicara seperti itu, melainkan memang uang yang Maria pegang sekarang hanya cukup untuk makan beberapa hari ke depan.

“Ga mau, mau sekarang.”

Maria berjongkok dan menghadapkan badan Shelly agar menatapnya, “Kapan-kapan ya? sekarang kita pulang aja.”

“Hiks mau itu, mau ke sana. Boleh ya, kakak?” Seperti anak-anak pada umumnya yang menangis karena keinginannya tidak dipenuhi, seperti itu lah Shelly.

“Jangan nangis, kalo nangis jelek. Besok kalo kakak ada uang, kakak janji bakal ajak Shelly ke sana.” Maria mengusap air mata yang keluar dari mata Shelly.

“Mau sekarang, mau sekarang, kakak.” Shelly terus saja menangis, ia tak peduli, ia hanya ingin pergi ke toko mainan.

Maria fokus membujuk Shelly, hingga tak sadar jika jauh di belakang Maria, sudah ada yang memperhatikan mereka.

Farhan awalnya ingin membeli makan di seberang kampus, karena nanti ia akan ada kelas lagi, namun ia kurang suka makanan di kantin.

Farhan juga memutuskan untuk berjalan saja, karena hanya dekat.

Farhan tak sadar jika anak yang sedang ia perhatikan itu Shelly. Karena sejatinya Farhan suka dengan anak kecil dan ia tak suka jika melihat anak kecil menangis, Farhan menghampiri Maria dan Shelly.

Sepanjang langkah Farhan saat menghampiri Maria, Shelly terus saja merengek sembari tangannya menutupi wajahnya, yang membuat Farhan tak melihat wajahnya.

Farhan menepuk pundak Maria yang masih setia dengan posisinya, “Maaf mbak, anaknya kenapa ya? saya lihat dari tadi nangis terus.”

Lantas Maria menoleh dan mendongak, sungguh terkejut ia mendapati sosok yang sama dengan sosok yang beberapa hari ini ia sering jumpai.

“Lah, Maria? berati ini Shelly?” Maria mengangguk.

Farhan langsung mendekati Shelly dan menggendongnya. “Shelly kenapa?”

Shelly membuka tangannya dan menatap orang yang menggendongnya, “Kakak ganteng?” Farhan tersenyum dan mengangguk.

“Mau ke sana, tapi sama kakak ga boleh.” Shelly kembali menunjuk toko mainan di dekat sana.

Farhan beralih menatap Maria, “Kenapa, Mar?”

“Uang gue baru aja gue pake buat bayar spp, kak, cuma ada buat makan kedepannya aja.”

“Shelly, ayo kita beli mainan.”

“Yeyyy, ayo kak!” Air mata Shelly langsung berhenti, sekarang matanya berbinar bahagia.

“Kak, kan tadi gue bilang kalo lagi ga ada uang, jangan ajak ke sana.”

“Gue yang beliin mainan.”

“Jangan dong, ga enak gue, dari kemarin nyusahin lo terus.”

“Kan gue yang mau. Lihat, Shelly aja seneng banget. Iya ga, Shelly?” Shelly mengangguk menjawab pertanyaan Farhan.

“Kak, gue ga mau kalo ini cuma-cuma. Anggep ini utang gue ke lo aja, ya? besok gue janji bakal ganti.”

“Iya, serah lo aja.”