Sebenarnya

Farhan sesungguhnya sangat malas jika harus datang ke acara Papahnya karena tidak tertarik, ditambah pula perkataan Papahnya di chat tadi.

Namun akibat bujukan dari sang Mamah, akhirnya Farhan mau mendatangi acara tersebut.

Tadi setelah pulang dari kampus, Farhan langsung menuju kantor Papahnya. Lalu Farhan berangkat menuju gedung yang sudah disiapkan untuk acara perayaan keberhasilan perusahaan.

Kini Farhan sudah sampai, ia mendecak kesal melihat sekeliling. “Ck, males banget gue. Gue cuma berharap ga akan ketemu Indy,” batinnya.

Farhan hanya mengikuti Mamahnya kemana pun itu. Sampai duduk pun ia hanya ingin di samping Mamahnya.

“Kamu ngapain ngikutin Mamah terus?” tanya Mamah Farhan.

“Ga mau ketemu Indy.”

“Ga akan, ya udah kamu di samping Mamah aja.”

Farhan mulai bosan, karena Mamahnya yang memilih duduk di sekeliling teman-temannya. Farhan pusing mendengar ibu-ibu teman Mamah memuji ketampanannya, padahal dirinya sudah tau akan hal itu.

Farhan mengambil earphonenya lalu memakainya. Farhan mendekati Mamahnya dan berbisik, “Mah, aku telfonan sama Maria, ya? jangan ganggu, oke?” Mamah Farhan hanya mengangguk mengiyakan.

Farhan membuka ponselnya dan mulai mencari nama Maria di sana. Farhan pun menelfon Maria, sesungguhnya ia tak tau lagi harus melakukan apa, jadi lebih baik dia mengobrol dengan kekasihnya.

Tidak ada waktu lama, Maria langsung mengangkat panggilan dari Farhan.

“Hallo? kenapa kak?”

“Gapapa, Mar, aku gabut. Kamu udah di rumah? udah makan?”

“Udah, Kak, udah makan juga.”

“Sip kalo gitu, sekarang berati lagi nyantai?”

“Iya, kan disuruh Kakak.”

“Bagus, nurut sama pacar.” Mamah Farhan menoleh pada Farhan, lalu mendekat ke arah Farhan. “Mar, kok mau sih sama Farhan?”

“Loh? ada Tante?”

“Bentar-bentar, aku spiker aja.” Farhan melepas earphonenya dan menekan tombol spiker pada ponselnya.

“Dah, nih sana ngobrol.”

“Hallo, Tan.”

“Hallo, Mar. Panggil Mamah aja, biar sama kaya Farhan.”

“Kan emang harus gitu, besok masa pas Maria udah jadi istri aku masih manggil tante, kan ga boleh.”

Mamah Farhan langsung mendorong pelan bahu Farhan, “Ngomongnya udah kaya bakal nikah aja.”

“Dukung dong, Mamah ga mau punya mantu Maria?”

“Ya mau lah, masa ga mau.”

Suara tawa Maria terdengar dari seberang sana, “Hahahah, Kakak emang gini kalo sama Tante?”

“Mamah, Maria, bukan tante.” Mamah Farhan mengingatkan Maria kembali.

“Eh iya, maaf, Mah.”

Farhan tersenyum sumringah, “Asik banget deh kalo Mamah akur sama mantunya.”

“Kak, apaan sih?”

“Ngaku, pipi kamu pasti lagi kebas, kan? ga capek senyum mulu?”

“Kak, diem.”

“Mah, tau ga sih—” Ucapan Farhan dipotong Mamahnya, “Engga.”

“Belum, Mamah.” “Kemarin itu, Maria ngeyel banget disuruh makan. Saking sibuknya, dia sampe lupa makan. Karena aku pacar yang baik, aku samperin dia ke cafe, aku suapin dia di depan semua pengunjung cafe. Banyak yang bilang kita so sweet, Mah, banyak yang setuju kalo kita nikah.”

“Bohong, Mah, ga ada yang nyuruh nikah. Kak Farhan jangan ngaco dong.” “Kak Farhan itu ngeselin banget, Mah. Aku malu banget kem—” Ucapan Maria terpotong karena panggilan seseorang.

“Farhan!” Farhan menoleh ke arah suara dan langsung mematikan sambungan telfonnya.

Farhan beralih menatap Mamahnya, “Mah, katanya ga bakal ketemu?”

“Duh, kamu sih, Mamah keasikan ngobrol nih, sampe ga sadar Indy di deket kita.” Ya, orang yang memanggil Farhan adalah Indy.

Indy adalah anak dari rekan kerja Ayah Farhan sekaligus mantan kekasih Farhan. Farhan mengakhiri hubungannya dengan Indy karena merasa hubungannya sudah tak sehat lagi.

Farhan menghindari Indy karena Indy masih bersih keras ingin kembali menjadi kekasihnya. Farhan juga sebenarnya hanya menjadikan Maria sebagai tamengnya jika suatu hari bertemu Indy.

Tetapi apa daya, Farhan justru sekarang benar-benar jatuh cinta pada Maria. Niatan awal yang hanya menjadikan Maria tameng gagal. Sepanjang berjalannya waktu, ia sadar jika ia sudah benar-benar jatuh pada Maria.