eltta

Mobil Dika, Adit, dan Naka bersamaan memasuki gerbang besar rumah Farhan.

Mereka semua mau datang memang karena tawaran makanan yang sudah Farhan beri tahu. Padahal ketiga teman Farhan itu juga sama-sama berkehidupan cukup, bahkan lebih.

Tapi tak tahu kenapa, mereka sangat senang jika ada makanan gratis. Alasan mereka semua adalah hemat, hemat tetapi beli barang seenak mereka, apa hanya hemat untuk makan saja?

Lupakan saja masalah itu, sekarang mereka mulai memasuki rumah megah milik Farhan, ralat kedua orang tua Farhan.

Saat ketiganya masuk, mereka sudah dihadiahi pemandangan Farhan yang sedang sibuk menenangkan seorang anak kecil perempuan yang tengah menangis.

“Farhan, lo apain anak orang hey?” tutur Naka khawatir jika Farhan melakukan hal yang tidak benar.

“Sini lo semua, bantuin gue buru.”

“Shelly, diem ya? Shelly mau apa? ayo kakak beliin.” Farhan tetap terus membujuk Shelly agar berhenti menangis.

“Hiks kakak mana?”

“Kak Maria kerja dulu, Shelly sama Kak Farhan dulu ya?”

“Kak Farhan itu kakak ganteng?” Shelly asing mendengar nama Farhan.

Farhan mengangguk dan tersenyum, jarang sekali ia tersenyum, namun kali ini di depan Shelly ia tersenyum.

Disaat Shelly mulai tenang, Dika, Adit, dan Naka mulai mendekat. Ketiganya duduk mengelilingi Shelly.

Shelly menangis kembali melihat Dika, Adit, dan Naka.

“Loh-loh, Shelly kenapa hey? kok nangis lagi?”

“Mereka siapa? serem hua.” Shelly menunjuk ke arah Dika, Adit, dan Naka sembari sesekali menoleh dengan rasa takut.

Farhan menoleh pada ketiga temannya dan memandangi mereka satu per satu. Pantas saja Shelly takut, penampilan mereka saat ini sangat menyeramkan untuk anak kecil.

Dika dengan kalung tengkoraknya, Adit yang membawa kunci mobilnya yang tergantung gantungan kunci rantai, dan Naka dengan jaket kulit dengan motif goresan pisau. Ketiganya juga menatap dengan tajam ke arah Shelly.

“Lo semua gimana sih? kan tadi gue udah bilang, gue suruh bantuin jaga anak kecil. Kenapa baju kalian kaya gitu sih? mana tatapan kalian gitu banget.” Dika, Adit, dan Naka pun bingung, karena biasanya mereka berpenampilan seperti ini.

“Dika, lo copot kalung lo. Adit, lo simpen kunci mobil lo. Naka, lo copot jaket lo. Semuanya ganti bajunya pake hoodie kaya yang gue pake. Satu lagi, tatapan kalian jangan gitu, yang lo tatap itu anak kecil, bukan musuh lo.”

Tak mau banyak protes, akhirnya Dika, Adit, dan Naka menuruti perintah Farhan. Mereka juga tak sadar jika harusnya lebih lembut lagi ke anak kecil.

Shelly tersenyum dengan sedikit tawa di mulutnya saat melihat orang-orang seram yang sebelumnya ia lihat sekarang sudah tak seram lagi.

“Udah ga serem kan? sekarang ayo Shelly makan dulu, kamu belum makan.” Farhan menggendong Shelly dan mengajaknya ke meja makan. Dika, Adit, dan Naka pun mengikuti Farhan di belakangnya, mereka juga mau makan.

“Ga mau makan,” ucap Shelly ketika sudah duduk di meja makan.

“Harus makan dong.”

Shelly menggeleng dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

“Gimana nih?” tanya Farhan kepada tiga temannya.

“Ga tau, kita kan ga ada yang punya adek.” jawab Adit.

“Bujuk pake mainan atau apa gitu Han,” timpal Naka.

“Shelly mau apa biar mau makan? jalan-jalan? mainan? atau uang?”

Dika memukul pundak Farhan, “Goblok ih, bukan uang juga dong, yakali anak kecil mau uang, aneh lo.”

“Ya siapa tau.”

“Kak, goblok itu apa? makanan?” Farhan langsung menoleh ke arah Dika dan menatap tajam Dika.

“Hehe, bukan kok, jangan didengerin ya, itu kata jorok, nanti dimarahin kalo ngomong itu.” Shelly hanya mengangguk mendengar penjelasan dari Farhan.

“Yuk makan,” ajak Farhan lagi.

“Ga mau, mau es krim.”

“Shelly mau es krim? kalo mau, makan dulu, habis makan kakak beliin yang banyak.”

“Bener?”

“Bener dong, makan dulu ya?”

“OKE!”

Nah sekarang Farhan bingung, ia tak bisa menyuapi orang lain, terutama anak kecil.

“Woi, ini nyuapinnya gimana?” tanya Farhan kembali pada tiga temannya.

“Dia ga bisa makan sendiri? manja banget,” ucap Naka sembari memakan makanannya.

“Naka lo beneran gue pukul ya?”

“Canda, Han, gue juga ga tau.”

Mari tinggalkan empat lelaki ini, biarkan mereka mencari cara bagaimana menyuapi Shelly. Tak perlu khawatir, mereka akan tetap memberi makan Shelly, Shelly akan tetap aman bersama mereka.

Kiana membuka pintu rumahnya dan berjalan ke arah pagar untuk menemui orang yang mengabarinya tadi.

Kiana mendorong pagar rumahnya untuk mempersilahkan Aksa masuk.

Aksa melajukan motornya pelan, memasuki area rumah Kiana.

Aksa turun dari motornya dan menghampiri Kiana yang setia berdiri menunggu Aksa.

“Kenapa, Sa?”

“Lo udah ngantuk belum?” tanya balik Aksa yang dibalas gelengan oleh Kiana.

“Ikut gue yuk!” Aksa menarik tangan Kiana keluar dari kawasan rumahnya.

“Mau kemana?”

“Jalan aja, muterin komplek lu, biar ngantuk.”

Beberapa langkah sudah mereka lewati. Hingga Aksa kembali bersuara, “Ki, kita bisa ga kaya dulu lagi?”

“Semua udah lewat Sa, kita udah ga bisa bareng lagi. Lo lupa, Sa? dulu kan lo yang bikin hubungan kita berakhir.” Kiana menengok ke arah Aksa.

“Tapi gue ga tega lihat lo sekarang sakit lagi.”

“Gue sakit kenapa?”

“Gue tau lo suka sama Reza kan? dan lo sakit karna lihat dia jadian sama Angel.”

Kiana diam sebentar mendengar ucapan Aksa, “Iya gue sakit, rasa sakit yang sama kaya dulu waktu gue lihat lo mesra-mesraan sama cewek lain.”

“Jadi sesakit itu ya?” Kiana mengangguk membalas pertanyaan Aksa.

“Gue sama Reza brengsek ya?”

“Kalian ga brengsek. Mungkin dulu lo ngelakuin itu karena emang gue ga pantes sama lo. Reza juga ga pernah tau gue suka sama dia, jadi kalian bukan orang brengsek. Salah gue karna dulu ga bisa pertahanin hati lo buat gue, dan salah gue juga karna baru sadar sama perasaan gue, setelah Reza jadian sama Angel.” Kiana menatap langit malam yang penuh bintang di sana sembari mengingat moment masa lalunya dengan Aksa.

“Mau ngulang ini semua sama gue?”

“Gue ga mau ngulang rasa sakit yang sama. Sekarang kita cukup jadi temen aja ya? gue ga mau ngerasain sakit lagi kaya dulu.”

“Gue janji ga akan bikin lo sakit lagi, Ki.” Tangan Aksa meraih tangan Kiana untuk ia genggam.

Namun dengan cepat, Kiana menepis tangan Aksa, “Janji lo banyak sama gue dulu, tapi ga semuanya lo tepatin.”

“Sa, udah ya? gue mau lo lupain semua masa lalu kita. Lo masih bisa jadi temen gue, tapi tolong jangan pernah berharap lagi buat kita menjadi 'kita' lagi.”

Sudah setiap hari seperti ini, Maria harus bekerja di sebuah cafe untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan adiknya.

Awalnya Shelly ia ajak ke cafe, dan Shelly akan bermain bersama manager cafe di tempat Maria bekerja.

Namun hari ini cafe lumayan ramai, jadi manager cafe di sana juga sibuk, begitu pula dengan Maria.

Lima belas menit sebelum shift kerja Maria dimulai, Yadi dan Icha sudah sampai di cafe tempat Maria bekerja. Shelly bahagia melihat dua kakak yang sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri.

“Gue jaga kasir dulu, udah masuk giliran gue. Lo berdua duduk dimana aja bebas, udah gue pesenin minuman sama cemilan juga. Tenang, gue yang bayarin, itung-itung itu bayaran karna mau jaga Shelly,” ucap Maria pada kedua temannya.

“Nanti gue ganti Mar, gue sama Icha ikhlas jaga Shelly.”

“Ngeyel banget sih. Udah kalian diem aja oke? Gue kerja dulu, bye guys.” Maria pun pergi meninggalkan kedua temannya dan juga adiknya.

Kondisi cafe memang cukup ramai hari ini, kemungkinan besar bisa saja ia harus lembur. Maria dan karyawan lainnya hampir saja kewalahan melayani pengunjung yang datang.

“Mau pesan apa, mas?” tanya Maria pada seorang laki-laki di depannya.

Lelaki di depannya terdiam karena tak asing mendengar suara dari Maria.

Melihat lelaki di depannya terus saja diam yang membuat antrian di belakangnya semakin panjang, akhirnya Maria bertanya kembali, “Mas? bisa aga cepet dikit ga ya? soalnya antriannya makin panjang.”

“Oh iya, vanilla latte dua, cappucino dua, sama cheese cakenya empat.”

“Atas nama siapa?”

“Farhan.”

“Oke atas nama Mas Farhan ya, semua totalnya sembilan puluh lima ribu.” Farhan lalu mengeluarkan selembar uang berwarna merah, lalu ia serahkan kepada Maria.

“Uangnya seratus ribu ya, ini kembalian dan nomor mejanya.” Farhan hanya menerima struk dan nomor mejanya saja.

“Kembaliannya buat tip Mbaknya aja.”

“Terimakasih Mas.”

Setelah menghubungi orang yang menemukan Shelly, Maria pun segera menghampiri tempat dimana Shelly berada.

Maria sungguh panik, karena adik satu-satunya ini. Walaupun ini bukan kali pertama Shelly hilang, namun tetap saja dirinya panik.

Tidak begitu jauh untuk sampai ke tempat Shelly berada. Netranya langsung melihat sekeliling tempat itu untuk mencari adik kecilnya.

Ternyata sang adik sedang asik bermain dengan pemuda laki-laki di salah satu meja yang ada di kantin.

Langsung saja, Maria menghampiri mereka.

“Shelly,” panggil Maria.

“Kakak? Yeay kakak udah selesai!!” sorak bahagia Shelly melihat kakaknya.

“Shelly, kan tadi kakak bilang, mainnya sama kak Didi dulu. Tadi udah janji buat ga nakal kan?” Maria mengusap rambut adiknya.

“Aku ga nakal kok, tadi itu aku cuma keliling bentar, habisnya kak Didi malah asik sama temennya. Eh terus aku ketemu sama kakak ganteng.”

“Kakak ganteng?” tanya Maria, bingung.

“Itu gue.” Orang yang Maria lupakan itu menyahut.

“Astaga gue lupa ada lo. Kak Farhan ya?” tanya Maria untuk memastikan.

“Iya, Farhan, temen lo ga becus jaga adek lo.”

“Biasanya engga kok, besok gue titip bibi kantin aja, biasanya sama bibi kantin, biar main sama anaknya. Tapi tadi kebetulan temen gue ga ada kelas pagi, jadi gue titip dia aja.”

“Siapa?”

“Temen gue.”

“Yang nanya.”

“Lo nanya anjir, baru ketemu dah bikin emosi aja. Shelly ayo pergi aja, kak Chacha nungguin.” Maria menggendong Shelly untuk mengajaknya pergi.

“Dada kakak ganteng, besok main lagi ya?” Shelly berucap pamit kepada Farhan.

“Dada juga Shelly cantik.” Tangan Farhan ikut melambai membalas lambaian tangan Shelly.

Nata merasa pujaan hatinya beberapa hari ini tidak beres. Nata memutuskan untuk mendatangi kos, tempat kekasihnya tinggal.

Tak butuh waktu yang lama untuk Nata sampai di tujuannya. Nata langsung melangkahkan kakinya menuju satu kamar yang sudah sering ia datangi.

Nata mengetuk pintu kamar itu pelan, hingga kenop pintu itu bergerak dan pintu terbuka, menampilkan sosok gadis cantik yang sangat ia sayangi.

“Kamu ngapain? sini masuk dulu,” suruh Hanna meminta Nata untuk masuk.

Nata pun melangkahkan kakinya masuk ke ruangan dengan nuansa biru di dalamnya. Biru, warna kesukaan Hanna.

“Bawa apa tuh?” tanya Hanna melihat kantong plastik di tangan Nata.

“Martabak manis, ayo makan,” ajak Nata.

“Aku kenyang, kamu aja yang makan.”

“Kamu kenapa sih? kamu aneh banget loh.” Nata duduk pada kursi kecil yang terdapat di sana.

Hanna masih diam berdiri dan tak berani menatap mata Nata.

“Duduk sini, cerita sama aku, jangan diem terus. Kalo kamu diem, aku mana tau, aku bukan peramal yang bisa tau isi hati sama pikiran kamu.” Nata menepuk bangku kosong di sebelahnya.

Hanna mengangguk dan duduk di sebelah Nata, lalu ia mulai bersuara, “Aku ga pede.”

Alis Nata menekuk, tanda dirinya bingung dengan ucapan Hanna.

“Kenapa?” tanya langsung Nata pada Hanna.

“Sekitar seminggu lalu, temen aku bilang, kalo aku ga bisa rawat diri sendiri. Dia bilang aku ga bisa jaga wajah aku, dia juga bilang kalo aku ga bisa jaga pola makanku. Katanya aku jerawatan, aku gendut, aku jelek, dia bilang juga aku ga pantes punya pacar kaya kamu.” Tangan Hanna sedikit bergetar saat mengucapkan semua hal yang ia tutupi beberapa hari ini dari Nata.

“Jauhin dia.”

“Ha?”

“Jauhin dia Hanna, kata siapa kamu jelek? kamu cantik, kamu yang paling cantik. Jerawatan itu wajar Hanna, semua pasti ada masanya mereka akan tumbuh jerawat. Pola makan kamu udah teratur, biarin dia bilang kamu gendut atau gimana. Mungkin kamu emang gendut, tapi emang kenapa? emang dia yang ngasih kamu makan? dia yang biayain hidup kamu? engga kan?” Kini Nata menatap gadis di sebelahnya yang masih tertunduk.

“Lihat aku Hanna, jangan nunduk gitu, angkat kepalanya.” Hanna mulai memberanikan dirinya untuk menatap mata Nata.

“Kalo aku gendut, aku jerawatan, kamu ga malu punya pacar aku?”

“Kalo udah cinta, aku bakal nerima semua itu Hanna. Kamu bakal selalu cantik di mata aku.” Nata terus meyakinkan Hanna untuk kembali percaya diri.

“Tapi itu semua bohong, semua laki-laki tetep bakal mandang perempuan dari fisiknya.”

“Kecuali aku. It's oke kalo emang kamu mau pake masker, diet, atau apalah itu. Tapi, jangan siksa diri kamu sendiri, kamu ga perlu pake masker sama diet juga ga masalah kok.

Kamu diet terlalu keras, kamu lewatin sarapan sama makan siang kamu buat diet. Terus kamu baru makan malem, dan cuma makan buah. Aku ga mau punya pacar yang nyakitin dirinya sendiri demi omongan orang lain.

Dari mana kamu bisa nyimpulin kalo kamu ga pantas jadi pacarku? kalo kamu ga pantas, udah dari dulu tuhan pisahin kita. Kalo kamu ga pantas buat aku, tandanya aku juga ga pantas buat kamu.

Emang banyak laki-laki di luar sana yang beranggapan kalau cantik dan kurus itu nomor satu, tapi itu engga buat aku. Kamu tau ga, kenapa aku bisa jatuh cinta sama kamu?” Hanna menggeleng, menjawab pertanyaan Nata.

“Karna kamu bisa nerima aku apa adanya, karna diri kamu yang bisa aku jadiin tempat pulang, karna diri kamu bisa aku peluk disaat aku mau ngadu tentang kejamnya dunia. Kamu cantik, cantik hatinya, cantik juga mukanya. Masa kurus kering kaya gini disuruh diet lagi? temen kamu aneh, dia harus priksa mata.”

“Tapi—”

“Ga ada tapi-tapi, udah ayo makan ini, aku udah nunggu lama buat ini, masa ga dimakan?”

“Iya-iya dimakan, tapi boleh kan diet?”

“Boleh, diet sehat ya, bukan diet maksa.”

“Oke!”

Memang pada awalnya laki-laki akan mencari wanita yang punya fisik seperti yang dia harapkan. Namun pada akhirnya, laki-laki akan jatuh pada wanita yang bisa membuatnya nyaman. Wanita yang bisa memberinya pelukan hangat, memberinya rumah nyaman, dan bisa diajak untuk bahagia bersama.

Wanita dengan fisik apapun itu pada akhirnya akan tetap mendapatkan lelaki yang menatapnya seolah menatap bidadari yang sangat cantik.

Jika benar-benar cinta dari hati, maka apapun itu alasan yang kemungkinan memisahkan mereka, hal itu tidak akan pernah terjadi.

Jatuh cinta paling bahagia disaat kita bisa saling mencintai dengan seseorang tanpa harus memikirkan fisik.

Hari yang cukup melelahkan untuk hari ini. Kiana masuk ke rumahnya, ia langsung masuk ke kamarnya untuk mengganti pakaiannya.

Saat sedang merapikan peralatan sekolahnya, Kiana mendengar suara motor yang tak asing, ia pun mengintip dari jendela untuk memastikan orang yang ada di luar.

Ternyata orang itu adalah Reza, Reza baru sampai mengantar pulang Angel. Suara tawa mereka terdengar oleh telinga Kiana, matanya pun menyaksikan dua insan yang sedang bercanda di sana sebelum akhirnya Reza pamit pulang.

Kiana diam, saat ini hatinya sakit. Ia tersadar jika sebenarnya dirinya mempunyai perasaan lebih untuk Reza, namun sekarang ia sudah telat, sudah tak bisa apa-apa.

Kiana duduk pada tepi kasurnya, mencoba untuk menenangkan hati dan pikirannya.

“Pada akhirnya gue sendiri, selalu akan sendiri.” ucapnya pada dirinya sendiri.

“Mamah papah pisah, papah ga pernah pulang, mamah ga bisa jenguk gue buat sebentar aja, kak Naufal juga ga mau nerima gue sebagai adiknya, Eja juga udah punya orang. Harus seberapa lagi gue hancur?” Sekarang bulir-bulir air sudah berhasil turun dari mata indah Kiana.

Kiana memegang dadanya yang mulai terasa sesak, “Kangen mamah papah, bahkan baru sehari gue udah kangen Eja.”

“Engga Kiana, lo kuat, lo kuat, lo pasti bisa, lo harus bisa, lo masih ada Dara sama Gian, lo bisa Kiana, jangan kaya gini, apus air mata lo, lo ga boleh kaya gini.” Kiana mencoba menenangkan dirinya sendiri dengan ucapannya itu, namun bukannya tenang, justru Kiana semakin histeris.

“Gue lemah, gue ga kuat, gue ga bisa, gue sendirian, GUE LEMAH.” Berbeda dengan ucapan sebelumnya, kini ucapannya berbanding kebalik dengan ucapannya tadi.

“Emang gue kuat? Gue ga lemah? Masa sih?” ucapnya dengan tersenyum dan sedikit tertawa namun masih terus menangis.

Dan waktu setelahnya, ia habiskan untuk berdebat dengan dirinya sendiri.

Kiana adalah tipe orang yang senantiasa menjaga air matanya agar tak keluar, namun saat dirinya benar-benar sakit dan tak kuat lagi menahan air matanya, maka seluruh air matanya akan tumpah sebanyak-banyaknya.

Dirinya tak akan lelah untuk menangis, karena sebelumnya sudah ia simpan baik-baik.

Kiana sudah yakin di suatu saat, ia akan tumpahkan semua air mata yang sudah ia simpan dan jaga dengan sangat baik.

Sekarang ia bingung, dirinya ini kuat atau lemah? atau dirinya hanya pura-pura kuat saja? atau memang kuat? Biarkan dirinya berdebat malam ini.

Biarkan dia menikmati air mata yang sudah ia simpan itu. Hanya dirinya sendiri yang bisa nenangin dirinya. Biarkan dia malam ini benar-benar merasakan kesendirian.

Reza menjemput Angel dengan mobilnya. Kali ini ia memang sengaja tak menggunakan motornya, sebab menurutnya, ini adalah hari yang akan menjadi hari spesial.

Di dalam, mereka sama sekali tak mempunya rasa canggung, keduanya langsung dapat mengobrol dengan santai, hingga Angel mengeluarkan sebuah kotak.

“Ini apa?” tanya Reza ketika Angel memberikan kotak itu ke Reza.

“Buka aja.” Reza langsung membuka kotak itu dan melihat isi di dalamnya, sebuah jam.

“Jam? buat gue?”

“Ya iya lah, masa buat orang lain.”

“Makasih ya,” ucap Reza dengan senyum lebar yang membuat matanya itu tersenyum seperti bulan sabit.

Awalnya Reza ingin mengungkapkan perasaannya pada Angel ketika sudah sampai di cafe. Namun ia sungguh tak sabar, dan akhirnya ia mengungkapkan perasaannya sekarang.

“Angel, gue tau ini terlalu cepet, tapi gue ga bisa nahan diri gue lagi buat ga bilang sama lo. Gue suka lo, gue ga percaya sama cinta pandangan pertama, tapi hal itu terjadi sama gue. Gue ga maksa lo buat bales perasaan gue kok.” Reza menghentikan mobilnya sebentar di tepi jalan agar bisa menatap wajah Angel.

Blush on yang tambah memerah di pipi Angel, ia tersipu malu, ia juga tak menyangka karena Reza punya rasa yang sama seperti Angel.

“Tau ga sih Za, gue tuh udah mulai suka sama lo waktu gue minta nomor lo ke Kiana, ditambah waktu kita ketemu berdua, gue makin suka sama lo.” jawab Angel dengan penuh tatapan bahagia.

“Jadi, lo mau kan jadi pacar gue?” tanya Reza tanpa ada basa basi. Hanya anggukan yang menjawab pertanyaan itu, pertanda Angel mau menjadi pacar Reza.

Reza memeluk Angel dan berterimakasih karena sudah mau menerima dirinya.

“Oh iya, aku punya sesuatu.” Reza mengambil sebuah benda yang tadi sudah ia beli.

“Ini buat kamu, aku ga tau kamu suka atau engga, tapi semoga kamu suka.”

“Bunga, Za? Aku suka kok.” Sebuah bunga berwarna ungu muda yang tadi dibeli Reza sudah diterima Angel.

Setelah saling mengungkapkan perasaannya masing-masing, mereka langsung melanjutkan perjalanan untuk menuju tempat yang sudah direncanakan.

Hari ini mereka resmi berpacaran, mereka akan menyalurkan kasih sayang satu sama lain. Semoga selalu bahagia.

Benar saja, Kiana menyuruh Reza untuk berhenti di supermarket sebentar untuk belanja bahan masakan yang akan dibuat Kiana.

Belanja kali ini Reza tidak rewel seperti biasanya karena ia sudah sangat membayangkan rasa ayam goreng buatan Kiana yang menjadi favoritnya.

Kiana pun lega karena Reza tak merengek untuk meminta ini itu, jadi belanja kali ini bisa selesai dengan cepat.

Sesampainya di rumah, Kiana langsung menyuruh Reza mengganti seragamnya menggunakan pakaian santai.

Kiana mulai memasak sesuai dengan request dari Reza. Ayam goreng yang kering dengan sambal bawang yang pedas dan asin.

“Ja, ambil nasi dulu gih, biar dingin dulu sambil nunggu ayamnya,” pinta Kiana pada Reza.

Reza pun mengangguk dan berjalan menuju rice cooker di dekat kulkas, dan mengambil nasi yang lumayan banyak, tidak seperti porsi Reza biasanya.

“Banyak banget? emang habis?” tanya Kiana melihat banyaknya nasi yang diambil oleh Reza.

“Kan nanti bareng lu.” Kiana termenung sebentar mendengar tuturan Reza.

“Lo tadi bilang mau nyuapin gue, jadi sekalian aja,” lanjut Reza kembali.

Kiana kini baru paham maksud dari perkataan Reza, namun bukannya tadi ia tak sengaja bilang iya?

Tak terlalu menghiraukan perkataan Reza, Kiana masih fokus pada masakannya. Tak berselang lama pun aroma ayam sudah mulai tercium, membuat perut Reza semakin merasa lapar.

Bunyi kompor yang dimatikan pun terdengar, pertanda bahwa kegiatan masaknya sudah selesai.

Pandangan yang tak beralih ke manapun selalu memperhatikan gerak gerik Kiana sejak tadi.

Kiana membalikan badannya dan menghampiri Reza dengan membawa sebuah piring yang berisi beberapa potong ayam diatasnya, dan tangan sebelahnya yang membawa sebuah mangkok kecil berisi sambal yang diminta Reza.

Yang awalnya dipandang adalah tubuh Kiana kini sudah beralih pada piring yang berisikan ayam.

“Buruan Na,” pinta Reza.

“Iya, ini makan, gue ambil nasi dulu.” Kiana melangkahkan kakinya menuju arah rice cooker untuk mengambil nasi, namun tangannya terlanjur ditahan Reza.

“Suapin.” “Makan berdua.”

“Iya, nanti gue suapin, gue ambil nasi buat gue dulu.”

“Makan sama gue, sekalian aja kenapa sih? kan lo juga jadi ga nyuci piring banyak.” Kiana menyerah, sebanyak apapun ia menjawab perkataan Reza tetap saja ia akan kalah.

Kiana duduk pada kursi yang berada di samping Reza, mengambil satu buah ayam dan satu sendok sambal.

“Pake tangan aja mau? ayam kalo pake sendok ribet soalnya,” tanya Kiana yang hanya dibalas anggukan oleh Reza.

Tangan Kiana mulai mengambil sebagian daging dari ayam yang ada pada nasinya dengan sekumpulan sambal, lalu ia suapkan nasi ayam sambal itu pada mulut Reza.

Tidak Kiana sadari ketika ia menyuapi nasi ke Reza, mulutnya ikut terbuka seperti mengucapkan “Aaaa”.

Reza dengan lahap menerima suapan pada mulutnya dan menikmati masakan Kiana.

Kiana kembali mengambil suapan yang sama seperti tadi, namun kali ini ia suapkan pada dirinya sendiri.

Merasa mulutnya sudah bersih kembali, Reza lalu membuka mulutnya untuk meminta kembali suapan nasi dari Kiana.

Sungguh Reza sekarang seperti anak kecil yang sangat kelaparan.

Uhuk-uhuk,” Reza tersedak karena terburu-buru.

pis-pis makanya pelan-pelan aja, Ja, gue juga ga buru-buru kok nyuapinnya. Ga ada yang mau ambil makanan lo juga, Ja. Nih minum dulu.” Kiana memberikan segelas air untuk Reza, yang langsung diteguk Reza.

Bukannya menjawab ucapan Kiana, Reza justru kembali membuka mulutnya meminta makan kembali.

Kiana mengambil kembali nasi dengan ayam lalu ia arahkan ke mulut Reza yang sudah terbuka lebar, namun begitu mendekati mulut Reza, Kiana langsung mengalihkan arah suapan itu pada mulutnya sendiri, lalu tertawa melihat reaksi kecewa Reza.

Rasa panik yang kuat sekarang mempengaruhi pikiran Reza. Ia tak tenang ketika Kiana mengabari kondisinya saat ini.

Dengan sangat buru-buru Reza masuk pada kamar dengan nuansa coklat di dalamnya.

“Jaja? Kenapa? Kok panik gitu mukannya?” Reza masuk pada kamar kedua orang tuanya untuk mencari suatu barang.

“Bun, Jaja pinjem kompresan perut bunda dong. Ana lagi dapet bun, kompresan dia bocor, kalo Jaja beliin dulu takutnya lama.”

“Iya-iya bunda ambilin bentar.” Bunda pun membuka laci kecil di samping ranjang dan mengeluarkan barang yang lumayan besar untuk diberikan ke Reza.

“Ini, udah sana ke Ana dulu, tapi jangan ngebut ya Ja?”

“Iya bun.”

Reza pun mencium tangan bundanya dan pergi menuju rumah Kiana.

Sesampainya di sana, Reza langsung menuju kamar Kiana. Benar saja, kini kondisi Kiana sedang memeluk guling dengan amat sangat erat dan sesekali memukul perutnya.

“Kan gue udah bilang, jangan dipukul.” Reza masuk ke dalam dan menggenggam tangan Kiana agar berhenti memukuli perutnya sendiri.

“Jangan dipukul lagi. Bentar gue isi air anget dulu.” Reza ke dapur untuk mengisi alat kompres yang ia bawa dengan air hangat.

“Sini tiduran yang bener dulu, pala lu taruh di paha gue aja.” Reza mengatur posisi tidur Kiana agar Kiana nyaman.

Reza taruh alat kompres itu di atas perut Kiana. Genggaman yang sangat kuat pada guling pun kian berkurang, Kiana sudah mulai tenang.

Reza menatap dua mata Kiana yang terpejam, dengan alis yang berkerut menahan sakit.

“Kok maju sih Na?” tanya Reza saat Kiana sudah mulai membaik.

“Ga tau.”

“Masih sakit?” Kiana mengangguk lemah menjawab pertanyaan Reza.

“Mau peluk?” Kiana kembali mengangguk.

Kiana mulai bangkit dari tidurnya dan mendudukan dirinya di samping Reza, lalu ia tidurkan kepalanya pada dada Reza.

Reza memeluk perut Kiana dengan tangan kirinya sembari menahan alat kompres terus menempel pada perut Kiana, dan tangan kanan kanannya yang terus mengusap kepala Kiana.

“Tidur aja Na, nanti kalo lo dah tidur, gue pulang.” Kiana hanya mampu untuk mengangguk, sebab kini ia sudah sangat mengantuk.

Suara ketukan pintu terdengar, mengalihkan perhatian Kiana yang awalnya berada pada ponsel.

Menghampiri suara itu pelan dan ia buka pintu rumahnya.

Kini di depannya ada seorang gadis yang jika dilihat dari parasnya memiliki umur yang seumuran dengan Kiana.

Gadis itu berdiri dengan membawa sebuah bingkisan pada tangannya dan senyum yang terukir pada bibirnya.

“Hallo, permisi,” sapa gadis itu dengan senyum yang tak luntur.

“Hai, kenapa ya?”

“Kenalin saya tetangga sebelah yang baru pindah.”

“Oh gitu, ayo masuk dulu.” Kiana mempersilahkan sang gadis untuk masuk ke dalam kediamannya.

“Mau minum apa nih?”

“Duh ga usah repot-repot, habis ini juga mau balik lagi ke rumah. Masih ada yang harus diberesin.”

“Tinggal sama siapa di sini?” tanya Kiana memulai percakapan.

“Berdua doang sama ibu. Eh kita kayanya seumuran deh, gimana kalo gue-lo aja? Susah kalo formal-formal.”

“Iya santai aja, mau formal atau gue-lo juga ga masalah. Btw, gue Kiana.” Kiana mengulurkan tangannya, yang dibalas oleh sang gadis.

“Gue Angel, salam kenal ya. Eh, ortu lo mana? Gue mau menjalin hubungan yang baik antar tetangga.”

“Bokap lagi di luar kota, nyokap juga di tempat suaminya.”

“Duh sorry gue ga tau.”

“Sans gapapa.”

“Ki, gue minta nomor lo dong, jadi nanti kalo gue bingung di daerah sini, gue bisa tanya lo.”

“Okey, nih nomor gue.” Kiana membuka ponselnya dan mengarahkannya pada Angel. Angel pun mencatat nomor ponsel Kiana yang tertampil di layar ponselnya.