eltta

“Na ayo beli bonekanya,” rengek Reza meminta untuk membeli sebuah boneka panda.

“Ga mau Ja, lo aneh, ngapain beli boneka?”

“Ya terserah gue dong.”

“Ya udah sana beli,” Mendengar itu sontak Reza bersemangat dan mengambil satu boneka yang ada pada rak.

“Tapi ga usah bikin cimol,” sambung Kiana kembali.

“Ah lo mahh.” “Bikin cimol aja, bonekanya ga jadi.”

“Nah gitu kek dari tadi.”

Reza dan Kiana pun pergi ke arah meja kasir untuk membayarkan belanjaan mereka.

Rencananya mereka akan mencoba membuat cimol, jadi mereka pergi ke supermarket untuk membeli bahan-bahannya.

Reza sangat bersemangat karena ia sangat menyukai cimol. Dengan langkah cepat, Reza langsung masuk ke rumah Kiana dan berjalan menuju dapur rumah itu.

“Na buruan!” panggil Reza yang sudah berada di dapur.

“Ga sabaran banget buset.”

“Ya gue mau buru-buru nyolek pipi lo pake tepung.”

“Ga usah aneh-aneh deh Ja. Awas aja lo gitu,” ancam Kiana.

Kiana mengeluarkan semua belanjaannya dari tas belanjanya, ia susun rapi di meja.

Kiana membuka ponselnya untuk melihat tutorial membuat cimol di internet.

Step by step mereka ikuti, hingga Reza melihat peluang untuk menjahili Kiana.

“Na, perhatiin deh itu resepnya.”

“Iya Ja, ini ud—” ucapan Kiana terpotong saat Reza mengoleskan sedikit tepung pada pipi Kiana.

“Eja! Kan udah gue bilang jangan gini, lu mah. Sini gantian!” Lalu mereka pun justru asik bermain tepung, lupa dengan tujuan awal mereka yang harusnya membuat cimol.

“Udah stop! Ini ga jadi-jadi cimolnya.”

“Ya udah lanjut lah.”

Kiana mulai mengaduk adonan cimolnya dan membentuk bulat-bulat.

“Gue panasin dulu ya minyaknya,” ucap Reza mendekati kompor.

“Jangan, ini katanya nanti hidupinnya, biar ga meletus.”

Kiana mulai memasukan satu per satu bulatan cimol itu ke minyak yang masih dingin. Saat sudah selesai memasukan cimol itu, Kiana langsung menghidupkan kompornya.

Ia aduk perlahan sesuai dengan instruksi dari internet.

Namun tiba-tiba ada salah satu cimol yang meletus, tak terlalu besar, namun berhasil membuat tangan Kiana terciprat minyak panas.

Melihat hal itu, Reza langsung mengambil spatula yang Kiana pegang dan menaruhnya di samping kompor.

Ia tarik tangan Kiana ke arah wastafel, ia hidupkan kran air di sana dan membasuh tangan Kiana di bawah aliran air itu.

“Kenapa sih? Lebay banget buset.”

“Lebay gimana sih? Kalo ga buru-buru diginiin nanti bisa melepuh, terus kalo sampe infeksi gimana?”

“Lo lebayyy Ejaaa.” Kiana menarik tangannya dan mencipratkan air yang ada di tangannya ke arah muka Reza.

Suara rintik hujan yang mengenai atap mulai terdengar. Awalnya sangat pelan, namun waktu ke waktu suara rintikan air itu semakin keras, menandakan hujan yang semakin deras.

Walau keras suara yang dihasilkan oleh hujan itu keras, tetap saja dua insan di sana tak menyadari jika hujan.

Keduanya fokus dengan permainan mereka, memperebutkan sebuah kemenangan.

“YESS! GUE MENANG!” sorak bahagia dari Reza karena memenangkan permainan itu.

Dengan wajah kecewa atas kekalahannya, Kiana mematikan permainan itu dan menatap jendela. Ia baru sadar jika di luar sedang hujan.

“Nah pas banget hujan, jadi nanti makan mienya nikmat banget,” ucap Kiana.

“Ja, hujan-hujanan yuk?” Ide itu tiba-tiba muncul di pikiran Kiana entah dari mana.

“Gas!”

Dua insan itu pun keluar dari rumah dan berjalan pergi menuju ke halaman depan. Yang awalnya ragu-ragu untuk bermain hujan hingga sekarang mereka sudah bermain riang di bawah derasnya hujan.

Tanpa mereka sadari banyak pasang mata yang menatap mereka sambil tertawa, ada pula yang menatap iri.

Tertawa dengan bahagia, berlarian kesana kemari.

“Woi Na, sini kejar gue, bisa ga?” tantang Reza pada Kiana dengan nada tengil.

“Bisa lah!”

Reza mulai berlari dan Kiana yang mengejar dari belakang, mereka mengelilingi halaman itu entah berapa kali banyaknya.

Reza yang iseng pun sering memperlambat larinya namun saat Kiana mendekat, Reza kembali mempercepat larinya. Sungguh sudah sangat pandai memberi harapan palsu untuk orang lain.

Tapi Reza lupa jika Kiana itu cerdik, Kiana berlari berlawanan arah dengan Reza. Hingga mereka saling bertemu, namun karena tanah yang licin, Reza tak mampun menahan dirinya untuk berhenti.

Berakhir dengan Reza menabrak tubuh Kiana dan mereka terjatuh ke tanah.

Reza yang sigap dengan tangan kirinya yang menahan kepala Kiana agar tak terbentur tanah dan tangan kanannya yang ia gunakan untuk menumpu dirinya agar tak menjatuhi Kiana.

Lalu Kiana yang kedua tangannya berada di dada Reza untuk menahan Reza, sembari matanya yang tertutup.

Reza terus menatap gadis cantik yang sekarang berada di bawahnya. Perlahan Kiana juga mulai membuka matanya, menatap seseorang yang kini berada di atasnya.

Menatap Reza yang menatap dirinya dengan rambut yang basah karena terkena air hujan. Tatapannya pun turun pada tangannya yang memegang dada Reza.

“Awas-awas, ayo udahan.” Pipi Kiana tak bisa berbohong, kini wajahnya memerah pertanda ia sedang salah tingkah.

Sebaliknya pun begitu, detak jantung Reza juga sangat cepat berdetak. Bukan karena lelah karena berlari-lari, namun ia juga menjadi salah tingkah.

“Keren banget, eh ngomong-ngomong tadi lagunya tentang apa? Maklum bubun ga tau artinya hehe.” Bunda menghampiri Kiana yang baru saja turun dari panggung.

“Dua orang yang saling suka, tapi mereka ga saling mengungkapkan sampai mereka tau jika mereka saling suka waktu mereka udah berpisah,” jelas Kiana.

“Kalo gitu kaya yang nyanyi dong?”

“Maksud bubun?”

“Ya kaya kamu sama Jaja.”

“Engga ah.”

Memangnya Reza dan Kiana saling mempunyai perasaan? Hm tak ada yang tau perasaan mereka kecuali diri mereka sendiri dan Tuhan.

“Ki, gue sama Gian tinggal ya, mau nemuin ortu dulu,” pamit Dara.

“Oke.”

Reza berjalan menuju arah bundanya dan Kiana.

“Udah selesai balikin alatnya?”

“Udah bun.”

“Habis ini pada ngapain?” tanya bunda kembali.

“Udah selesai, tapi belum boleh pulang katanya.”

“Bubun, aku mau nemuin mamah dulu ya. Bubun sama Eja makan dulu aja, nanti aku nyusul.”

Kiana berjalan menuju sebuah meja yang diatasnya ada beberapa alat yang kurang ia pahami. Menghampiri sosok yang ia rindukan.

“Mah,” panggilnya pelan.

Yang dipanggil merasa mengenal suara itu, lalu ia menoleh.

“Kiana?” Senyum dari bibir Kiana pun terukir indah.

Dengan cepat Kiana memeluk mamahnya dengan sangat erat, ada rasa tak mau kehilangan kembali.

“Mamah kangen Na.”

“Aku juga.”

“Oh iya, sini mamah kenalin ke saudara kamu.” Kiana dan mamahnya melepas pelukan mereka.

“Naufal kenalin ini anak mamah. Kiana ini Naufal kakak kamu.”

“Kiana kak.” Tangan Kiana terulur untuk berjabat tangan dengan Naufal.

Naufal membalas jabatan Kiana, “Naufal.”

“Kalian yang akur-akur yaa.”

“Ayo para laki-laki angkatin dulu alat-alatnya,” instruksi dari Tomi.

“Lah ini kita yang mau tampil kita juga yang angkat alat?” protes Reno.

“Ya lo mau nyuruh sapa lagi? Udah buru, ga usah banyak protes.”

Kelima lelaki itu pun saling membantu untuk membawa alat musik yang akan mereka pakai dari ruang latihan menuju ke panggung yang sudah tersedia.

Sembari menunggu para lelaki memindahkan alat musik mereka, mata Kiana pergi ke seluruh penjuru sekolahnya. Matanya mencari sosok yang sudah lama tidak ia temui, sosok yang sangat ia rindukan.

Melihat seorang wanita dengan rambut yang terkucir dan menggunakan dress biru sampai mata kaki. Sosok yang ia cari sudah ia temukan, ia melihat sosok ibu yang dari dulu ia rindukan.

Sosok itu sedang berada di depan sebuah meja sains dan sedang mengusap kepala seorang anak laki-laki. Senyumnya luntur melihat sosok ibunya memberi kasih sayang ke anak lain.

Ia terus memandangi sosok ibunya dari kejauhan, hingga asistensinya beralih ketika seseorang menepuk pundaknya.

“Ana?”

“Eh bubun.” Orang itu adalah bunda Reza. Kiana langsung dengan reflek memeluk sosok yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri.

“Kamu katanya tampil sama Jaja ya?”

“Iya bun, harusnya sendiri, tapi tiba-tiba disuruh sama Eja.”

“Bubun tadi lihat mamah kamu Na.”

“Ah iya, itu mamah di sana.” Kiana menunjuk ke arah mamahnya.

Seolah tau perasaan Kiana, bunda pun mengusap rambut Kiana dan berhenti pada pipinya.

“Semangat!” Sederhana namun sangat berarti sekali untuk Kiana.

“Ki ayo cek sound!” panggil Dara dari atas panggung.

“Bun, Ana tinggal dulu ya.”

“Iya, bubun tunggu di sana ya?”

“Oke bun!”

Persiapan untuk tim musik tampil sudah siap. Kini mereka hanya menunggu instruksi untuk memulainya.

“Ayo semangat! Besok gue traktir bakso kantin deh,” ucap Tomi memberi semangat.

“Murah amat cuma bakso,” sahut Haris.

“Ya udah kalo ga mau juga gapapa.”

“Iya-iya mau.”

“Yok Dara sama Gian duluan, lo Ki duduk dulu aja samping Reza. Oh iya nanti kalo Dara Gian selesai, kalian langsung duduk di ujung kanan kiri aja, baru deh nanti Kiana sama Reza.” Semua mengangguk mendengar ucapan Tomi.

Dara dan Gian selesai menampilkan nyanyian mereka. Kini giliran Kiana dan Reza.

“Lagu kedua ini spesial nih buat yang lagi galau-galau, judulnya adalah Almost Is Never Enough,” ucap pembawa acara.

Cause sooner or later We'll wonder why we gave up The truth is everyone knows

Saat Reza mendapat giliran bernyanyi, Kiana menghampiri Reza dan berdiri di belakang Reza. Ia rangkul Reza dan menunggu momen dirinya dan Reza akan bernyanyi bersama.

Almost, almost is never enough We were so close to being in love

If I would have known that you wanted me, the way I wanted you

Then maybe we wouldn't be two worlds apart

But right here in each other's arms

And we almost, we almost knew what love was

But almost is never enough

Reza pun mengikuti alur yang dibuat oleh Kiana. Menatap mata Kiana, tersenyum lebar. Membuat siapapun yang mendengar dan melihat mereka saat itu akan ikut terhanyut ke dalam lagu yang mereka nyanyikan.

Kiana keluar dari kamarnya dan menghampiri Reza yang sedang memainkan ponselnya di depan televisi.

“Lo ngapain sih kesini?” Kiana duduk di samping Reza.

“Mau ngajakin main motor.” Reza meletakkan ponselnya dan menatap Kiana.

“Lo tau kan gue ga bisa.” Kiana beralih duduk menghadap Reza.

“Lo bisa Na, lo cuma masih takut.”

“Lo tau gue takut, kenapa masih mau ngajak gue?”

“Supaya lo ga terjebak terus sama trauma lo. Gue yakin lo pasti bisa lagi.” Reza memegang kedua pundak Kiana untuk meyakinkannya.

“Kalo kejadian waktu itu terulang lagi gimana? Gue ga mau.” Kiana menunduk dengan perasaan tak yakin pada hatinya.

“Kejadian waktu itu ga akan terjadi lagi, kan ada gue.” Reza mengangkat dagu Kiana agar ia bisa menatap matanya.

Melihat mata Reza yang penuh dengan keyakinan, akhirnya hati Kiana setuju untuk mencoba kembali.

Dengan senyum ragu Kiana berkata, “Oke ayo!”

Reza dan Kiana pergi ke sebuah lapangan yang lumayan luas.

“Maju sini.” Reza men-standarkan motornya dan turun meninggalkan Kiana yang masih duduk di bangku belakang.

“Terus gimana?” Kiana maju bangku depan dan memegang stang motor itu.

“Na, lo kan bisa anjir.”

“Hehehe, ya sapa tau cara berubah.”

“Udah buruan, pelan aja dulu, gue ikutin dari samping nanti.”

Kiana mulai menarik tuas rem bersamaan dengan menekan tombol starter, namun ia lupa menaikan standar motornya.

Reza menepuk jidatnya pelan dan menggelengkan kepalanya, “Standarnya belum lo naikin anjir aelah jangan bikin emosi napa?”

“Ya maap lupa.”

Kiana menaikan standar motornya dan mulai kembali menghidupkan mesin motornya. Tak butuh waktu lama pun mesin motor itu pun hidup.

“Nah ayo,” ajak Reza.

Kiana mulai menarik gas dengan perlahan. Dengan kedua kakinya yang tak mau naik karena ia takut akan jatuh.

Perlahan namun tetap Kiana memutari lapangan tersebut bersama Reza yang setia berjalan di samping Kiana dan terus meyakinkan Kiana.

“Udah, gue ga kuat.” Kiana berhenti dan mematikan mesin motornya.

Bibirnya pucat, dahinya berkeringat, jarinya bergetar hebat, dan kakinya yang sudah tak kuat menahan tubuhnya.

Dengan cepat Reza menurunkan standar motornya dan mendekap Kiana ke dalam pelukannya.

“Tenang oke? Gue disini, ga usah takut. Gue tau berat banget kan? Sorry ya gue malah maksa lo buat bawa motor lagi. Dah yuk pulang aja, gue ga akan maksa lo lagi buat bawa motor.”

“Gue takut Ja, gue bukan takut bakal sakit lagi kaya dulu, gue takut sendiri lagi Ja, sendiri disaat gue butuh mereka Ja,” ucap Kiana dengan suara bergetar.

“Lo ga pernah sendiri, ada gue, akan selalu ada gue Na.”

Hari ini sepertinya ada tiga anak yang sangat menanti akan datangnya jam pulang sekolah.

Yap, mereka adalah Kiana, Dara, dan Gian. Mereka sangat menunggu jam pulang karena mereka tak sabar untuk pergi bersama.

Bel panjang bunyi yang bertanda sekarang sudah waktunya pulang sekolah.

“Toilet dulu kita ganti baju,” ucap Dara.

“Wehh pada mau kemana nih?” tanya Haris dengan heboh.

“Mau jalan-jalan lah,” jawab Kiana.

“Ikut sabi lah?” Kenzo bersuara.

“Eitss girls time.” Gian memajukan lidahnya mengejek Kenzo.

Dengan langkah cepat mereka bertiga buru-buru masuk ke dalam mobil Dara.

Mereka sangat tak sabar untuk mengunjungi mall yang baru buka di dekat sana, ditambah dengan info jika ada street food.

“Akhirnya sampe juga.” Kiana turun dari mobil.

“Bagus juga mall nya,” ucap Gian mengamati isi dari mall itu.

“Eh ke sana yuk!” Dara dengan semangat menarik tangan Kiana dan Gian untuk memasuki sebuah toko aksesoris.

“Ngapain?” tanya Kiana.

“Liat-liat aja dulu, sapa tau mau beli.” jawab Dara.

Para gadis itu pun menyusuri seluruh isi dari toko tersebut. Hingga Dara menemukan sebuah barang yang sepertinya memang sudah ia cari.

“Guys sini,” pinta Dara.

Dara menemukan cermin, ya hanya sebuah cermin namun seperti menemukan harta karun dengan emas yang berlimpah.

“Ki, lo pake ini deh.” Dara mengambil sebuah topi di dekat mereka dan memakaikannya pada Kiana.

“Cuss atur tempat, kita foto dulu,” ucap Dara.

“Gi lo agak majuan, jangan di belakang mulu. Lo agak turun Ki, naik amat lo.” oceh Dara menginstruksi.

“Satu.. Dua.. Tiga.. Ckrek.”

“Udah gue up di twitter, cek sendiri aja.”

“Anjir Dar gue keliatan seuprit gini doang,” protes Kiana sebab dirinya hanya terlihat sedikit.

“Bawel lu.”

“Lo yang bawel Dar, dari tadi heboh banget.” Gian menyahut.

“Dah yuk keluar aja, ga ada yang gue mau beli,” ajak Dara.

Apa alasan para gadis masuk dalam sebuah toko hanya untuk berkeliling dan memotret saja? Mereka bahkan tidak membeli satu barang pun, aneh kalau kata Reno.

“Cape beb, duduk situ dulu yuk, ngadem.” Gian melihat sebuah tempat duduk kosong dan berfikir untuk beristirahat sejenak di sana.

“Outdoor?” tanya Kiana yang dibalas anggukan oleh Gian.

“Gass!” Dara kembali menarik tangan Kiana dan Gian menuju salah satu meja di sana.

“Eh fotoin dong beb, belakang gue mantep nih,” minta Gian.

Kiana mengeluarkan ponselnya dan mengarahkan pada Gian, lalu memotretnya.

“Udah gue kirim ya Gi.”

“Oke thanks Ki.”

“Bosen, masuk lagi yuk?” tawar Dara.

“Ngapain? Langsung ke street foodnya aja gimana?”

“Nyari tempat foto lagi dulu Ki, gue belum dapet spot foto bagus nih.”

“Buset disini aja kan bisa?”

“Ga mau, mau di dalem.”

Akhirnya Kiana dan Gian menuruti mau Dara untuk mencari sebuah spot foto dalam mall itu lagi.

Setelah mendapatkan spot foto yang Dara inginkan, mereka pun keluar kembali dari mall itu dan jalan menuju street food di dekat sana.

“Kayanya kita kesorean deh kesininya, ini udah pada mau tutup,” pinta Gian.

“Udah gapapa, masih ada juga yang buka.”

“Beb beli corndog yuk?” Gian menunjuk sebuah tenda yang menjual corndog.

“Yuk!”

Ritual setelah membeli makanan adalah memotretnya dan di upload ke sosmed.

Sembari menyusuri street food di sana mereka menyantap corndog yang sudah mereka beli tadi.

“Bentar, gue menemukan makanan yang akan mengenyangkan kita.” Dara langsung pergi meninggalkan Kiana dan Gian.

Kiana dan Gian memutuskan untuk menunggu Dara di pinggir jalan saja.

Dara menghampiri Kiana dan Gian dengan membawa tiga bungkus makanan.

“Dar itu apaan?”

“Ga tau, gue ngasal beli aja.”

“Banyak banget itu.”

“Biar kenyang.”

“Beb duduk situ aja, capek berdiri terus.”

Tak terasa matahari sudah tenggelam, dan bulan sudah naik menggantikan matahari. Mereka memutuskan untuk pulang saja, karena sudah tak ada apa-apa lagi untuk mereka kunjungi.

Saat Kiana bilang jika dirinya sehabis dari ATM, Reza melihat tanggal, dan ia paham jika saat tanggal segini ayah Kiana akan mengirimkan sejumlah uang untuk Kiana.

Karena itu Reza meminta Kiana mengirimkan foto dirinya saat itu. Benar dugaan Reza, Kiana seperti habis menangis.

Reza masuk ke dalam garasi rumahnya, ia memutuskan untuk menggunakan mobil yang ada di sana karena melihat kondisi cuaca yang sepertinya akan hujan.

Jalanan malam ini tidak macet sama sekali jadi Reza bisa cepat menghampiri Kiana. Reza menghentikan mobilnya tepat di depan Kiana yang duduk di tepi trotoar.

Reza keluar dan menghampiri Kiana, Kiana sadar akan hal itu pun mendongakkan kepalanya.

“Bawa mobil?” tanya Kiana menatap Reza.

“Sumpah gemes banget kalo gini,” batin Reza.

“Iya, udah mendung,” jawab Reza.

“Ayo masuk.” Reza membuka pintu mobilnya dan mempersilahkan Kiana untuk masuk ke dalam.

Sepanjang perjalanan Kiana hanya menatap ke luar jendela, hening tak bersuara.

“Na, lo gapapa?” Tangan Reza terulur untuk merapikan rambut Kiana yang hampir menutupi mata.

“Gapapa, gue cuma kangen sama papah mamah aja.” Kiana beralih menatap Reza.

“Bentar gue berhenti dulu.” Reza pun berhenti di tepi jalan yang tidak terlalu ramai.

“Sini cerita, nangis juga gapapa.”

“Tadi gue cuma dikabarin papah kalo dia udah ngirim uang, katanya dia masih sibuk. Terus gue cuma nge-chat mamah, dia juga kayanya sibuk sama keluarga barunya. Gue cuma kangen mereka aja, ketemu aja deh sejam udah cukup.” Reza menatap Kiana dalam.

“Wajar kok kalo lo kangen mereka, gue juga tau seberapa besar lo kangen mereka. Tapi mungkin emang saat ini mereka lagi ga ada waktu. Besok sore katanya bunda sama ayah udah mau pulang, nanti kita kumpul aja berempat, mau?” Kiana mengangguk dengan semangat.

Reza sangat gemas melihat pipi Kiana yang mengembang dengan sebuah senyum yang indah, Reza langsung mencubit pipi Kiana dan menariknya pelan.

“Aw, Ja, lepasin anjir.” Kiana memukuli tangan Reza untuk melepas cubitan itu.

Kiana terbangun dari tidurnya, semalam ia ketiduran saat menonton drama di laptop milik Reza.

Kiana langsung masuk ke kamar mandi untuk mandi, ia memutuskan mandi di rumah Reza agar nanti bisa langsung berganti seragam saja.

Masih dengan pakaian yang sama dan handuk yang ia ikat di kepalanya, Kiana keluar kamar. Melihat tidak ada tanda-tanda Reza sudah bangun, maka ia berjalan menuju kamar Reza.

“Ja? Lo belum bangun? BANGUN WOI!” teriak Kiana di depan pintu kamar Reza.

“Ni anak pasti semalem mabar dulu nih sama temen-temennya,” dumel Kiana.

Kiana menatap pintu kamar Reza yang terdapat banyak sticker yang ditempel Reza, hingga ia menggenggam kenop pintu kamar itu dan membukanya.

Sungguh seperti kapal pecah kondisi kamar Reza sekarang. Kiana hanya bisa menggelengkan kepalanya.

Melihat Reza tidur pulas dengan posisi tengkurap, Kiana tanpa basa-basi langsung memukul pantat Reza sangat keras. Sudah tidak manusiawi sekali.

“BANGUN GA LO!?”

Pukulan dan teriakan Kiana mampu membangunkan Reza.

“Sakit gila lo,” protes Reza dengan suara khas bangun tidurnya.

“Buruan mandi, gue mau masak buat sarapan. Kalo sampe selesai gue masak lo belum kelar, gue tinggal lo,” oceh Kiana panjang lebar.

“Lima menit lagi.”

“Ga ada lima menit lima menit, mandi lo sekarang!” tegas Kiana.

“Ampun ndoro, iya ini mandi.”

Kiana menutup telfonnya dengan Reza, ia buru-buru memesan ojek online agar bisa segera ke rumah Reza.

Hanya butuh waktu sepuluh menit untuk sampai di rumah Reza. Sejak Kiana masuk ke dalam perumahan rumah Reza memang semua listrik padam. Sepertinya sedang ada pemadaman listrik berkala.

Kiana langsung masuk ke dalam rumah Reza karena kebetulan pintunya tidak terkunci.

“Ja.. Lo dimana Ja?” teriak Kiana yang mengarahkan senter ponselnya pada seluruh sisi rumah.

“Na.. Gelap Na.. Gue takut,” Reza merintih ketakutan.

“Ja gue denger suara lo, lo dimana?”

“Gue disini Na,” Kiana mencoba untuk terus mengarahkan senter ponselnya ke arah suara Reza dan akhirnya ia menemukan Reza yang sedang duduk di lantai dengan kedua kakinya yang menekuk.

Kiana menghampiri Reza dan langsung mendekap Reza ke dalam pelukannya.

“Tenang oke? Sekarang ada gue, jangan takut ya.” Kiana mengusap rambut Reza dengan pelan, dan kepala Reza yang sudah jatuh di dada Kiana.

“Gelap,” ucap Reza dengan sedikit bergetar.

“Iya gelap, anggep aja lo lagi molor di kelas kaya biasanya, kan gelap tuh.” Reza hanya mengangguk-angguk mendengar ucapan Kiana.

“Pindah ke sofa yuk Ja, disini dingin.” Kiana beranjak untuk berdiri sembari menuntun Reza yang masih ketakutan.

Kiana duduk dan Reza ia tidurkan di pangkuannya.

Tidak lama lampu sudah mulai menyala satu per satu, yang berati listrik sudah tidak padam lagi.

Sekarang Kiana bisa menatap wajah Reza, Reza sedang tidur dengan pulas. Reza pun tak sadar jika listrik sudah menyala.

Kiana dengan pikiran isengnya pun mengambil foto Reza dengan diam-diam.

Kiana menepuk pelan pipi Reza untuk membangunkannya.

“Ja, bangun hey, udah nyala nih.” Reza terbangun mendengar ucapan Kiana.

“Bangun, berat pala lo,” ucap Kiana melihat mata Reza yang sudah terbuka.

“Bentar, udah PW,” jawab Reza.

“Na, lo tidur disini aja ya?”

“Lah, besok kan sekolah. Gue ga bawa buku pelajaran sama seragam Ja.”

“Besok sebelum ke sekolah ke rumah lo dulu. Please? Gue takut kalo mati lagi,” mohon Reza.

“Hmm fine, gue tidur sini.”

“Sip, ntar milih aja mau di kamar bunda sama ayah atau di kamar tamu, atau ... .”

“Atau?”

“Atau tidur sama gue.” Senyum lebar muncul di bibir Reza dengan mata yang ikut tersenyum.

“Ngawur ya lo.” Satu cubitan mendarat pada perut Reza.

“Aw sakit anjir.”

“Makanya kalo ngomong mikir dulu.”

Hari minggu, hari paling santai, hari yang sangat dinantikan kehadirannya, hari yang membuat semua orang merasa bahagia sejenak.

Namun pada hari ini Lisha harus menjalankan pengobatan pertamanya. Setelah ia setuju untuk menjalankan kemoterapi, Malvin langsung membuat janji dengan dr. Adit.

Kini Malvin, Rey, dan juga Lisha sudah berada di depan ruangan kemoterapi. Beruntungnya proses kemoterapi dapat didampingi bersama orang lain, sehingga itu mengurangi rasa khawatir yang ada di diri Lisha.

“Ayo masuk dulu,” Ajak dr. Adit kepada Malvin, Rey, dan Lisha.

“Nah, Lisha kamu langsung duduk di situ aja ya.” Instruksi dr. Adit pada Lisha yang meminta Lisha untuk langsung duduk di atas brankar yang sudah disediakan.

Rey setia di samping Lisha, saat Lisha duduk di atas brankar pun Rey masih setia di sampingnya.

“Nanti proses kemoterapi akan dilakukan oleh suster ya, saya harus kembali menemui pasien. Setelah proses kemoterapi selesai tolong temui saya terlebih dahulu sebelum pulang,” Ucap dr. Adit.

“Baik dok,” Jawab Malvin.

Dokter Adit pun keluar dari ruangan itu, lalu tak lama kemudian ada seorang suster yang masuk, ia membawa sebuah nampan yang terdapat cairan infus dan beberapa jarum suntik. Melihat itu Lisha langsung meremas pelan tangan Rey, Rey paham dengan itu dan langsung mengusap pelan tangan adiknya untuk menenangkannya.

“Lisha ya?” Tanya suster itu, yang dijawab anggukan oleh Lisha.

“Oke deh, sini dulu tangannya, ga usah tegang, relaks aja.” Ucap suster tersebut dengan lembut, sembari memegang telapak tangan Lisha. Dengan sangat hati-hati suster tersebut pelan-pelan menusuk punggung tangan Lisha dengan sebuah jarum suntik, dan memasangkan infus itu ke punggung tangan Lisha.

Lisha hanya bisa terus meremas tangan Rey yang masih setia ia genggam, sembari menutup matanya menahan sakit. Malvin dan Rey yang melihat Lisha seperti itupun ikut merasakan sakitnya, walau sakitnya tak berasa, tetapi hati mereka sakit melihat adiknya harus kesakitan seperti itu.

Akhirnya suster tersebut telah selesai memasang infus pada tangan Lisha. “Baik sudah selesai, disini sudah ada air jika nanti pasien haus, ada mangkok juga jika memang pasien merasa mual bisa langsung dimuntahkan disini saja. Sembari menunggu cairan infusnya habis, saya tinggal terlebih dahulu. Kalau memang pasien mau tidur tidak apa-apa, saya permisi.” Ucap suster yang setelah itu meninggalkan ruangan.

“Bang..” Panggil Lisha dengan nada lemas.

Malvin dan Rey langsung mengalihkan pandangannya ke arah Lisha, “Ya? Kenapa? Ada yang sakit?” Tanya Malvin.

“Lemes,” Ucap Lisha.

“Tidur aja, gue disini.” Ucap Rey yang terus menggenggam tangan Lisha.

Lisha mengangguk lemah dan mulai menutup matanya perlahan.

“Sakit banget ya bang?” Tanya Rey pada Malvin.

“Ga tau, gue ga pernah ngalamin.”

“Lihat bang, tangan gue sampe merah gini karna dia megangnya kuat banget.”

“Lo mau gantian?”

“Ga usah, sekeras apapun dia pegang tangan gue gapapa, setidaknya dia berbagi rasa sakitnya ke gue.” Malvin mengangguk mendengar jawaban Rey dan mendudukan dirinya di sebuah sofa yang ada di ruangan.

Rey ikut mengantuk menunggu Lisha, dan berakhir ia ikut tertidur. Malvin tetap menatap adiknya, ia tak mau tidur walaupun dirinya juga sudah mengantuk.

Satu setengah jam setelah Lisha tidur, namun tiba-tiba saja Rey terbangun, terkejut karena sebuah genggaman yang awalnya tak berdaya menjadi sangat meremas tangannya. Melihat Rey yang tiba-tiba terbangun itu pun membuat Malvin langsung berdiri dan menghampirinya.

“Kenapa Rey?” Tanya Malvin.

“Bang, lo lihat ini bang, tiba-tiba banget bang dia langsung pegang tangan gue kenceng banget.” Jawab Rey sembari melihatkan tangan nya yang di genggam erat oleh Lisha.

Malvin beralih menatap Lisha yang sudah mengerutkan kedua alisnya dan mulai bermunculan keringat di dahinya. Malvin pun langsung mendekatkan dirinya pada adiknya itu.

“Sha, hey, bangun bentar hey, ayo sini bagi rasa sakitnya Sha.” Ucap Malvin pada Lisha sembari mengusap dahi Lisha. Lisha pun membuka matanya pelan, dan langsung menatap Malvin yang sudah ada persis di depan mukanya.

“Sakit.. Pusing..” Keluh Lisha,

“Tahan ya, bentar lagi habis, mau minum dulu?” Tanya Malvin yang hanya dibalas gelengan oleh Lisha.

“Nonton sofia aja yuk, nih gue semalem download-in episode-episode sofia.” Ucap Rey, yang dibalas anggukan oleh Lisha.

Lalu Lisha pun menonton film kartun yang ia sukai bersama Rey. Walau sesekali rasa sakit di kepalanya tiba-tiba muncul. Namun Malvin dan Rey berusaha sangat keras agar rasa sakit yang dirasakan Lisha teralihkan.

“Cepet sembuh pembawa kebahagiaan gue, lo harus sembuh Sha.” Ucap Rey dalam hatinya.