eltta

Keesokan harinya seperti biasa Kiana berangkat bersama Reza ke sekolah. Sudah jadi hal wajar mereka berangkat bersama, jadi anak-anak di sekolah sudah tak heran lagi jika mereka berangkat bersama.

Hari ini dilalui seperti hari-hari pada biasanya, namun hari ini akan ada ekstrakurikuler musik, Reza, Kiana, Reno, Haris, Kenzo, Dara, dan Gian sudah berada di satu ruangan yang terdapat banyak alat musik di dalamnya. Mereka hanya bertujuh saja, karena Aksa tidak ikut ekstrakurikuler musik.

Tak menunggu lama ada seorang pria yang umurnya tidak jauh dari mereka pun masuk, “Ayo-ayo, langsung ke posisi masing-masing.” ucapnya sembari masuk ke dalam ruangan itu. Dia adalah Tomi, guru yang akan membimbing ekstrakurikuler musik.

Bukannya menempati posisi yang dimaksud Tomi, Reza, Reno, Haris, dan Kenzo justru berdiri dari tempat duduk mereka dan berjejer seperti tentara yang sedang baris-berbaris.

Melihat itu Tomi hanya bisa menepuk jidatnya pelan sembari menggeleng kepalanya.

“Lu semua pada ngapain sih?” tanya Dara.

“Ya kita kan nurutin Mas Tom,” jawab Haris.

“Mas Tom-Mas Tom aja lu, nama gue Tomi jadi Tom doang.” protes Tomi pada Haris, karena memang jarak umur yang tak jauh, mereka menggunakan bahasa yang santai, karena yang meminta pun Tomi sendiri.

“Kepanjangan Mas,” jawab Haris kembali.

“Mumpung lu pada lagi posisi gitu, udah kaya tentara di tv-tv, dengerin aba-aba gue ya?” tanya Tomi pada empat orang dihadapannya, yang di balas jari yang dibentuk 'oke' oleh Kenzo.

“Istirahat di tempat, grak.” ucap Tomi dengan suara yang tegas, seolah ia sedang menjadi pemimpinnya.

Lagi dan lagi, bukannya menaruh kedua tangan mereka di belakang, mereka justru duduk menyender di beberapa alat musik yang ada di sana.

“Dahlah capek gue, ayo buruan balik ke tempat masing-masing. Haris lo pegang bass kaya biasanya, Ren, lo pegang keyboard, Reza lo pegang bas, nah yang terakhir Kenzo, lo pegang gitar.” ucap Tomi menginstruksi mereka.

“Nah ini para gadis, pada pemanasan dulu sana.” ucap Tomi lagi. Lalu Reza, Reno, Haris, dan Kenzo langsung pergi ke alat musiknya masing-masing. Dan Kiana, Dara, Gian duduk di lantai yang sudah dilapisi karpet.

“Dah tau belum, kalo dua minggu lagi mau ada pameran?” tanya Tomi, yang di jawab gelengan dari mereka.

“Katanya sekolah ngadain pameran gitu, tapi tadi gue dikasih tau kalo kita disuruh nampilin dua lagu.” ucapnya lagi.

“Vocal kita ada tiga Mas, gimana baginya?” tanya Reno.

“Emm, eh, coba deh lu pada hompimpa, yang beda sendiri ntar nyanyi sendiri.” ucap Tomi yang langsung mengalihkan pandangannya ke bawah, ke arah Kiana, Dara, dan Gian.

Mereka mengangguk lalu mengarahkan tangan mereka ke depan, “hompimpa alahayum gambreng,” ucap mereka bersamaan dengan mengayunkan tangan. Kiana membuka telapak tangannya, Dara menutup telapak tangannya, dan Gian juga menutup telapak tangannya.

“Oke berati besok Dara sama Gian duet, terus Kiana solo,” ucap Tomi.

Giliran pertama latihan adalah giliran Dara dan Gian, latihan mereka berjalan dengan lancar. Kini saatnya Kiana yang latihan bersama para pemain musik.

“Eh Mas, ini si Kiana kalo duet sama Reza gimana?” ucap Kenzo. Merasa namanya disebut, Reza langsung menatap Kenzo dengan tatapan tak paham.

“Emang bisa?” tanya Tomi.

“Bisa, lu aja Mas yang ga pernah denger dia nyanyi.”

“Ya udah, kalian nanti duet ya, lu Ki kalo perlu nanti deket Reza aja, biar feel nya dapet.”

“Ya, oke.” jawab Kiana pada Tomi.

Latihan hari ini pun selesai, semuanya berjalan dengan lancar dan menyenangkan.

Sebuah suara bel terdengar, suara yang sudah sangat dinantikan semua orang di kelas, suara yang membuat semua orang kembali bersemangat, yaitu bel istirahat.

Seluruh siswa dan siswi di kelas itu sudah keluar dari kelas, kecuali Reza, Aksa, Reno, Haris, Kenzo, Kiana, Dara, dan Gian. Mereka masih tetap setia di kursinya masing-masing.

“Ini kenapa pada ga keluar sih? Gue laper nih.” Oceh Haris.

“Lah iya, kenapa masih di kelas anjir?” Gian menyahuti Haris.

“Ya udah ayo kantin,” Ajak Aksa.

“Bentar, ciwi-ciwi mau ke toilet dulu, kalian duluan aja.” Ucap Dara.

“Pada mau pesen apa? Biar nanti cepet.” Tanya Kenzo.

“Samain aja sama kalian.”

Setelah itu mereka semua keluar kelas bersamaan namun berpisah di salah satu lorong sekolah. Para gadis masuk ke dalam toilet dan berjejer di depan cermin yang ada di sana. Memang aneh, mereka selalu begini saat selesai kelas, entah alasannya apa. Padahal mereka hanya menatap diri mereka sendiri di cermin lalu pergi keluar.

Kini para lelaki sampai di kantin, mereka memutuskan untuk menggabung dua meja karena jika hanya satu meja tidak akan cukup untuk delapan orang. Aksa yang memesan makanan pada bibi kantin, sementara yang lain hanya duduk dan mengobrol saja. Tidak untuk Haris, dia hanya mengeluh lapar terus, sampai semua sudah bosan mendengar kata itu keluar dari mulutnya.

Reza melihat Kiana, Dara, dan Gian dari jauh dan langsung mengkode Kiana agar duduk di depannya. Kiana paham atas kode itu dan segera duduk di depan Reza. Tidak lama Aksa datang bersama dengan pelayan yang berkerja di sana sembari membawa pesanan dari Aksa. Aksa langsung duduk di samping Kiana dan membantu pelayan itu untuk membagikan makanan dan minuman yang sudah ia pesan.

“Nah gini dong, laper banget gue.” Yap yang bersuara Haris.

“Ga usah banyak bacot deh, stop bilang laper, makan nih.” omel Reno sembari mengoper sebuah mangkok berisi bakso ke arah Haris.

“Minum gue mana?” tanya Gian.

“Sabar buk, ini.” jawab Dara sembari memberikan segelas es teh ke Gian.

Kini semua sudah menyantap makanannya masing-masing. Tangan Kiana terulur mengambil sebuah mangkok kecil yang berisi sambal, ia buka tutup mangkok itu dan menuangkan beberapa sendok sambal ke dalam baksonya.

“Ga usah banyak-banyak, ntar sakit perut mampus.” ucap Reza memperhatikan Kiana.

“Iya bawel, ini dikit.” jawab Kiana.

“Sok banget lu mampus-mampusin bilang aja kalo lo khawatir.” sahut Kenzo, yang membuat semua orang di meja itu menahan tawanya.

“Maklum gengsinya Reza se-tinggi langit.” timpal Haris.

“Paan sih? Ga jelas lo.” ucap Reza.

“Eh gue mau pesen minum lagi, ada yang mau nitip ga?” tanya Gian sambil bangun dari tempat duduknya.

“Gue engga.” jawab Kiana.

“Yang lain?” Semua membalas dengan gelengan, kecuali Kenzo.

“Gue ikut Gi,” ucap Kenzo dan bangun dari tempat duduk nya.

“Ekhem,” ledek Haris.

“Diem lo.” ucap Gian dengan nada tegas.

Kiana melanjutkan makannya, dahinya berkeringat karena kepedasan. Melihat itu Aksa langsung mengambil sebuah tissue dan mengelap keringat yang ada di dahi Kiana. Reza yang melihat itu hanya menatap malas.

“Cemburu bilang,” ucap pelan Reno pada Reza.

“Dih, engga.” jawab Reza.

Reza memutuskan turun dari motornya setelah mengakhiri pesannya pada Kiana. Reza masuk ke dalam rumah yang lumayan besar dengan perpaduan warna putih dan abu-abu.

Reza membuka pintu rumah itu dan masuk ke dalam, “Na,” panggil Reza pada Kiana.

“Sini Ja ke dapur.” jawab Kiana dengan sedikit berteriak.

Sebelum kembali melangkahkan kakinya, Reza berbalik badan dan menutup kembali pintu yang tadi ia buka. Ia lanjutkan kembali langkahnya menuju dapur rumah itu.

Mendapati ada Kiana yang sedang sibuk dengan peralatan masaknya, Reza langsung men-dudukan dirinya pada salah satu kursi yang sudah tersedia di meja makan.

Mencium aroma masakan yang bisa dibilang harum, Reza langsung bisa menebak apa yang sedang di masak Kiana. “Soto ya?” tanya Reza.

“Hehe iya, lo harus makan ya?” tanya Kiana.

“Iya, tapi—” Sebelum Reza menyelesaikan ucapannya Kiana langsung memotongnya.

“Ga pake kol sama toge kan?”

“Kok lo tau?”

“Ja kita tu bareng-bareng dari kapan sih? Dari kita masih kecil Ja, ya masa gue ga tau.” Mendengar itu Reza hanya mengangguk-angguk saja.

Kini Kiana membawa dua mangkuk ke arah meja makan, dan menaruhnya di sana. Ia juga mengambil dua gelas dan di tuang nya air putih pada gelas itu. Kiana kemudian men-dudukan dirinya di depan Reza.

“Ayo makan, habisin, gue udah susah-susah masak.” ucap Kiana.

“Pasti lah, oh iya Papa kemana?” tanya Reza.

Mendengar itu Kiana langsung menghentikan kegiatan makannya, ia memainkan makanannya dan tersenyum miris. “Lo kaya ga tau Papa aja Ja,” ucap Kiana.

“Oke-oke, ga usah di bahas, udah buruan lo makan, gue udah tinggal dikit nih. Kalo lo lama nanti kita telat.” ucap Reza.

“Iya bawel.”

Dengan langkah cepat, Hardy buru-buru ke kamar Lisha untuk melihat anaknya yang katanya sudah sadar dari tidur panjangnya.

Membuka kasar pintu kamar Lisha, dan langsung menghampiri Lisha. Melihat anaknya sudah membuka mata sembari tersenyum walau terhalang masker oksigen, Hardy langsung memeluk anaknya itu.

Dalam hati Hardy terus-menerus mengucap syukur pada Tuhan.

“Lisha mau maafin papa?” tanyanya langsung.

“G—ga perlu papa minta m—maaf, aku ud—dah maaf—fin papa.” jawab Lisha dengan sedikit kesusahan.

“Papa seneng dengernya, papa janji papa akan tebus semua kesalahan papa.”

“Kamu jangan kaya gini lagi ya?” anggukan dari Lisha yang menjawab pertanyaan Hardy.

Hari terbahagia, karena hari ini sang pembawa kebahagiaan sudah kembali. Semesta mengembalikannya, semesta juga menghentikan penderitaannya. Bintang terimakasih sudah selalu menemaninya, terimakasih karena berhasil membujuk semesta.

Sudah saatnya pembawa kebahagiaan ini untuk berbahagia. Terimakasih sudah mau bertahan Lisha. Semesta berjanji akan membuatmu bahagia setelah ini, karena kau sudah melakukan tugasmu dengan baik.

Rey membuka pintu kamar rawat Lisha perlahan. Ia tatap sekeliling ruangan itu sebelum kembali melangkahkan kakinya.

Ia melihat Malvin yang sudah berpindah pada sofa yang berada dekat pintu dan sedang tertidur. Sementara Lisha yang hanya terbaring dengan banyak alat yang menempel pada tubuhnya.

Rey menghampiri Malvin, “Bang, bangun dulu, gue bawa nasi padang nih. Lo belum makan kan? Makan dulu gih, tadi gue bungkusin sekalian.” Malvin membuka matanya pelan.

“Minumnya?” tanya Malvin yang melihat isi dari kantong yang dibawa Rey hanya berisi satu bungkus nasi padang.

“Hehehe lupa,” jawab Rey dengan cengengesan.

“Hadeh, ya udah gue makan di kantin aja.”

“Ya maaf, gue pikir lo bawa minum.”

“Iya nggak papa.”

Malvin lalu melangkahkan kakinya keluar dan pergi ke kantin rumah sakit untuk makan terlebih dahulu.

Rey langsung menaruh tasnya di sofa dan membukanya untuk mengambil setelah pakaian yang ingin ia kenakan.

Rey masuk dalam toilet di kamar itu dan mengganti pakaian sekolahnya dengan pakaian santai.

Rey menghampiri Lisha.

“Lo nggak pegel tiduran mulu?”

“Lo nggak laper atau haus gitu?”

“Lo nggak cape apa merem mulu?”

“Ganti dong posisi tidurnya, masa gitu mulu.”

“Terus kalo koma gini yang lo rasain apa?”

“Lo bisa denger gue ngomong nggak?”

Sungguh banyak pertanyaan konyol yang ada pikiran Rey sekarang. Namun itu lah usahanya untuk menghibur diri sendiri.

“Kasihan deh si molo nggak di urusin,”

“Eh engga deng, diurus tetep sama bunda, tenang.”

Hening sejenak hingga, “Lo pernah tanya kan kalo semisal lo pergi selamanya gue bakal gimana.”

“Jawabannya, gue bakal gila Sha, gue nggak akan pernah bisa kalo lo tinggalin. Sekarang aja kondisi lo kaya gini udah cukup bikin gue gila, gimana kalo lo pergi.”

“Lo tau nggak kemarin gue udah nggak ada semangat hidup banget waktu dokter bilang lo harus operasi dan lo koma karna gue telat bawa lo ke rumah sakit.”

“Ini salah gue nggak sih? Gue bikin lo sampe kaya gini Sha, maafin gue.”

Lisha mendengar semua ucapan Rey, namun ia tidak bisa menjawabnya.

Jika Lisha bisa menjawab Rey, maka ia akan bilang bahwa semua ini bukan kesalahan Rey. Semua karena takdir yang sedang menguji kita.

“Gue nggak tau sih waktu mama namain lo itu dia tau atau enggak arti dari nama Delisha. Tapi waktu gue cari tau, nama Delisha itu artinya pembawa kebahagiaan dan memang lo pembawa kebahagiaan. Sekarang lo lihat kan? Semua orang nggak bahagia Sha, semua sedih Sha.”

“Gue tau lo pasti berat banget ya karna dari kecil nggak dapet kasih sayang papa mama? Tapi Sha, kita itu sama, jarak umur gue sama lo cuma dua tahun, tapi gue sadar, gue masih sempat ngerasain kasih sayang mereka walau cuma sebentar. Sementara lo? Lo belum sama sekali dapet Sha.”

“Berat ya? Tapi seberat apapun itu, gue mohon jangan nyerah Sha. Ayo genggam tangan gue lagi, ayo bagi beratnya bareng-bareng.”

“Sha, gue masih gantungin kebahagiaan gue ke lo.” Tepat saat Rey menyelesaikan perkataannya, mata Lisha tiba-tiba saja mengeluarkan air. Ya, Lisha menangis, seperti merespon ucapan Rey.

Melihat itu Rey tersenyum, ia kembali yakin kalau Lisha mendengar semua ucapannya.

Malvin masuk kembali ke kamar, ia melihat Rey yang tersenyum sangat lebar sekarang, membuatnya terheran.

“Lo kenapa senyum-senyum?” tanyanya pada Rey.

“Tadi gue kan ngomong sendiri kaya orang gila, gue pikir nggak ada yang ngerespon. Tapi lo tau? Lisha nangis, Bang.”

“Gue ikut seneng dengernya, semoga Lisha cepet bangun ya Rey.”

Bang, kenapa disaat Lisha sudah ingin menyerah, semua baru datang? Apa mungkin kalau Lisha nggak kaya gini papa nggakakan datang?

Sesuai dengan ucapannya, Malvin benar-benar sudah menyelesaikan segala kerjaannya hari ini. Ia pun langsung pergi ke rumah sakit untuk menemani Lisha dan agar Rey tidak bolos sekolah.

Malvin langsung membuka pintu kamar yang bertuliskan kamar rawat tulip 2. Sepi, tak ada yang merespon kehadirannya. Ia disuguhi pemandangan Lisha yang setia dengan tidurnya.

Tanpa berlama-lama Malvin langsung duduk pada bangku di samping ranjang Lisha yang sudah tersedia di sana.

Bingung, ia bingung harus melakukan apa. Tak pernah ia bertemu Lisha dengan keadaan seperti ini.

Malvin memutuskan untuk memainkan ponselnya, ia buka galeri ponselnya perlahan. Ia lihat banyak foto-foto kenangannya dengan Lisha sebelum kejadian ini terjadi.

Membuatnya kembali merasa rindu dengan orang yang sedang terbaring tak berdaya dihadapannya.

Ia upload foto-foto itu pada akun twitter pribadinya, bercanda ria dengan teman-temannya yang ikut bercanda padanya. Sembari mengingat kembali dari momen dalam foto itu.

Ia tutup ponselnya dan menaruhnya pada nakas di sampingnya. Ia bersandar pada sandaran bangku, ia tatap langit-langit atap.

“Sha,” panggilnya yang tentu saja tak mendapat sahutan.

“Mimpi apa sih? Lama banget tidurnya.”

“Kamu ga kangen abang? Ga kangen Rey? Ga kangen papa mama? Ga kangen bunda? Ga kangen Leo sama Jaguar?”

“Dulu ya kamu sama Rey minta buat tidur bareng sama abang, tapi pas abang buka pintu kamar, abang udah disambut sama kalian yang lagi lempar-lemparan bantal.”

“Pas abang nyuruh berhenti kalian malah sama-sama mukulin abang,” ucapnya seraya terkekeh.

“Kompak kalo punya sasaran yang sama.”

“Waktu itu juga abang pulang kerja, abang pikir waktu masuk kamar lihat kalian udah perang bantal di kasur, eh ternyata kosong. Ya udah abang mandi aja, ternyata kalian udah siap-siap di sana.”

“Kangen lho dek, cepet bangun yuk.”

“Nanti kita tidur bareng lagi, perang bantal bareng lagi, nongkrong di balkon lagi, masak indomie malem-malem.”

“Rumah sepi ga ada kamu.”

“Ayo bikin rumah yang rame lagi!”

Keesokan harinya kondisi Lisha tidak ada perkembangan, masih setia dengan tidur nyenyaknya.

Pagi ini kamar Lisha hanya berada dirinya dan Via. Hardy dan Malvin sudah berangkat ke kantor masing-masing ubtyk bekerja, dan Rey yang masih harus sekolah.

Via terus menatap Lisha dalam. Banyak rasa sesal di dirinya.

“Dek, mama dulu kenapa mutusin buat lanjut jadi model lagi ya?”

“Kenapa mama ga milih rawat kamu aja?”

“Kenapa mama ga pernah mau buat nemenin kamu seharian aja?”

“Bahkan kita ga ada kenangan apa-apa.”

“Mama belum telat kan? Kita masih bisa perbaikin semua ini kan?”

“Tau ga sih, dulu waktu mama hamil kamu, bawaannya makan sari roti mulu. Apa jangan-jangan karena itu kamu sekarang doyan banget sama sari roti?” Via terkekeh sendiri dengan ucapannya, seolah ia sedang bercanda dengan Lisha, namun tak ada sahutan apapun dari Lisha.

“Waktu kamu lahir, dokter langsung taruh kamu di dada mama, kamu kecil banget, eh sekarang udah besar aja.”

“Mama tau bang Malvin suka banget sama pizza, terus bang Rey suka sama cumi sambal hijau, dan kamu suka sari roti. Mama hebat kan? Walau jarang di rumah, tapi mama tau kesukaan kalian.”

“Kasih mama penghargaan dong, adek bangun ya?” Setelah ucapan yang berusaha menghibur diri sendiri, tetap saja hal itu tidak akan bisa menghibur hatinya sekarang.

Terlalu banyak rasa sesal di hati Via, jika waktu bisa diputar ia ingin kembali saat Lisha lahir, ia akan memilih untuk merawat Lisha ketimbang melanjutkan karir modelnya.

Jika ia bisa kembali ke masa lalu, ia akan terus memberi kasih sayang untuk semua anaknya, menyaksikan anaknya bertumbuh, memberi kehangatan untuk mereka.

Tetap saja tak ada gunanya berandai-andai sebab semua sudah terlanjur ia lakukan, ia harus tetap menghadapi semua ini. Semoga ia belum telat untuk memperbaiki ini semua.

Lisha sudah berada di kamar rawat, karena merasa jika kondisi Malvin dan Rey mulai tenang, akhirnya Lyan dan Candra pun ikut berpamitan untuk pulang.

Di kamar itu berada Via, Malvin, dan Rey. Malvin dan Rey yang berada di sisi kanan dan kiri Lisha, dan Via yang berdiri sembari menyuapi kedua anaknya, sebab mereka sama sekali tidak mau makan.

Terdengar suara decitan pintu terbuka, rupanya itu adalah Hardy. Hardy kembali setelah di telfon oleh sekretarisnya dan menyelesaikan administrasi rumah sakit.

“Kalian pulang dulu aja, udah malem, istirahat.” ucap Hardy yang langsung duduk di sofa kamar itu.

“Aku mau disini,” jawab Rey.

“Jangan bantah papa.”

“Terus yang jagain Lisha siapa?” tanya Malvin.

“Kamu ga lihat papa disini? Tandanya papa yang bakal jaga Lisha.”

“Aku ga yakin sama papa.”

“Papa tau papa salah, papa minta maaf.” Perkataan Hardy tak direspon siapapun.

“Udah ayo nak kita pulang dulu, dari tadi kalian udah nungguin Lisha kan? Nah sekarang kalian istirahat dulu, besok pagi kita kesini lagi.” pengertian Via pada kedua anaknya.

“Tapi ma—” Belum selesai Rey berbicara mulutnya sudah ditahan oleh Via dengan menaruh telunjuknya pada bibir Rey.

“Yuk?” ajak Via.

Malvin dan Rey setuju, akhirnya mereka meninggalkan rumah sakit dan kembali ke rumah untuk beristirahat.

Kamar kini hanya berisi Hardy dan Lisha. Sunyi, hanya ada suara dari mesin elektrokardiogram. Walau sedikit terganggu, namun hanya suara itu yang bisa menenangkan hati Hardy karena tandanya jantung Lisha masih berdetak.

Sepuluh menit, lima belas menit, Hardy hanya menatap tubuh Lisha dari jauh. Akhirnya dia beranikan dirinya untuk mendekati Lisha. Ia duduk di bangku samping ranjang Lisha.

Ia pegang tangan Lisha pelan, ia usap perlahan menyalurkan kasih sayangnya.

“Delisha anak papa,” ucapnya tiba-tiba.

“Delisha Putri Wijaya.” ucapnya lagi dengan tersenyum.

“Maafin papa,”

“Papa salah, salah banget.”

“Lisha capek ya?”

“Gapapa, istirahat dulu aja, tapi tetep bangun ya?”

“Papa nunggu kamu disini.” Hardy berdiri sejenak untuk mengecup pelan dahi putrinya, lalu kembali duduk dengan tangan yang masih setia mengusap tangan Lisha.

Setelah melihat chat dari Lisha, Rey langsung berpamitan kepada teman-temannya untuk pulang.

“Gue duluan ya.” pamit Rey kepada tiga temannya.

“Buru-buru amat lu.” tanya Candra pada Rey

“Iya, Lisha di gangguin.”

“Wah kudu cepet lu, fans lu kasar-kasar njir.” jawab Novan.

“Makanya itu, dah ya gue duluan.” lalu Rey pergi menghampiri Lisha ke kelasnya.

Rey langsung menggandeng tangan Lisha, lalu mengajaknya pergi.

“Bang, tu liat matanya pada melotot. Serem bang, takut matanya malah pada keluar.” ucap Lisha pelan di samping Rey.

“Gue kira lu takut sama mereka.” kata Rey, karena yang ada dipikiran Rey adalah Lisha sudah menangis di sana.

“Ya takut gue, takut kalo matanya pada keluar.”

“Tau ah, udah sana masuk.” Rey menyuruh Lisha untuk masuk ke mobil.

Keesokan harinya Delisha dan Rey berangkat ke sekolah, mereka menaiki mobil yang dibawa Rey.

Sesampai nya mereka di SMA NEO, banyak sekali mata yang menatap mereka.

Untuk Rey ini sudah biasa, sebab dia adalah siswa populer di sekolah.

Tatapan untuk Rey adalah tatapan kagum dan tersipu. Namun berbeda dengan tatapan untuk Delisha, tatapan mereka ke Delisha adalah tatapan tak suka.

“Bang, kok pada ngeliatin gue kaya gitu?” tanya Delisha karena sudah mulai terganggu dengan tatapan para siswi di sana.

“Kan gue kemarin bilang, jangan kaget” Jawab Rey, karena ia sudah tau akan terjadi seperti ini.

Mereka terus berjalan melewati lorong sekolah, dan berhenti di depan kelas X IPA 1, ini adalah kelas Delisha.

“Dah ya gue tinggal, lu berani kan?” Tanya Rey memastikan.

“Ya berani lah, masa gini aja takut. Emang kelas lu dimana?”

“Deket kantin, XII IPA 2”

“Enak banget deket kantin, gampang bolos dong”

“Gampang dari mananya, malah ketahuan mulu sama guru.”

“Udah ah kenapa malah bahas bolos?” Ucap Delisha menghentikan pembicaraan mereka tentang bolos.

“Ya udah gue tinggal ke kelas.” dan Rey pun pergi ke kelas nya.

Delisha masuk ke dalam kelasnya, mencari tempat duduk yang kosong. Akhirnya dia memutuskan untuk duduk di dekat jendela.

Bahkan saat dia sudah tidak bersama Rey, masih banyak pasang mata yang menatapnya, hingga ia pun merasa bingung 'kenapa pada liatin gue gitu sih?'

“Lu siapa nya Kak Rey?” tanya seorang siswi yang menghampiri Delisha.

“Kepo banget lu.” jawab Delisha dengan dingin.

Lalu ada dua siswa masuk ke kelasnya, mereka duduk di belakang Delisha.

Leo berdiri dan mengulurkan tangannya ke arah Delisha “Kenalin gue Leo.”

Delisha membalas jabatan tangan dari Leo, “Delisha, panggil aja Lisha.”

Jaguar ikut berdiri dan berkenalan dengan Lisha, “Gue Jaguar, dulu satu SMP sama Leo.”

“Lisha.” jawabnya dengan tersenyum.