239. Pembawa Kebahagiaan

Rey membuka pintu kamar rawat Lisha perlahan. Ia tatap sekeliling ruangan itu sebelum kembali melangkahkan kakinya.

Ia melihat Malvin yang sudah berpindah pada sofa yang berada dekat pintu dan sedang tertidur. Sementara Lisha yang hanya terbaring dengan banyak alat yang menempel pada tubuhnya.

Rey menghampiri Malvin, “Bang, bangun dulu, gue bawa nasi padang nih. Lo belum makan kan? Makan dulu gih, tadi gue bungkusin sekalian.” Malvin membuka matanya pelan.

“Minumnya?” tanya Malvin yang melihat isi dari kantong yang dibawa Rey hanya berisi satu bungkus nasi padang.

“Hehehe lupa,” jawab Rey dengan cengengesan.

“Hadeh, ya udah gue makan di kantin aja.”

“Ya maaf, gue pikir lo bawa minum.”

“Iya nggak papa.”

Malvin lalu melangkahkan kakinya keluar dan pergi ke kantin rumah sakit untuk makan terlebih dahulu.

Rey langsung menaruh tasnya di sofa dan membukanya untuk mengambil setelah pakaian yang ingin ia kenakan.

Rey masuk dalam toilet di kamar itu dan mengganti pakaian sekolahnya dengan pakaian santai.

Rey menghampiri Lisha.

“Lo nggak pegel tiduran mulu?”

“Lo nggak laper atau haus gitu?”

“Lo nggak cape apa merem mulu?”

“Ganti dong posisi tidurnya, masa gitu mulu.”

“Terus kalo koma gini yang lo rasain apa?”

“Lo bisa denger gue ngomong nggak?”

Sungguh banyak pertanyaan konyol yang ada pikiran Rey sekarang. Namun itu lah usahanya untuk menghibur diri sendiri.

“Kasihan deh si molo nggak di urusin,”

“Eh engga deng, diurus tetep sama bunda, tenang.”

Hening sejenak hingga, “Lo pernah tanya kan kalo semisal lo pergi selamanya gue bakal gimana.”

“Jawabannya, gue bakal gila Sha, gue nggak akan pernah bisa kalo lo tinggalin. Sekarang aja kondisi lo kaya gini udah cukup bikin gue gila, gimana kalo lo pergi.”

“Lo tau nggak kemarin gue udah nggak ada semangat hidup banget waktu dokter bilang lo harus operasi dan lo koma karna gue telat bawa lo ke rumah sakit.”

“Ini salah gue nggak sih? Gue bikin lo sampe kaya gini Sha, maafin gue.”

Lisha mendengar semua ucapan Rey, namun ia tidak bisa menjawabnya.

Jika Lisha bisa menjawab Rey, maka ia akan bilang bahwa semua ini bukan kesalahan Rey. Semua karena takdir yang sedang menguji kita.

“Gue nggak tau sih waktu mama namain lo itu dia tau atau enggak arti dari nama Delisha. Tapi waktu gue cari tau, nama Delisha itu artinya pembawa kebahagiaan dan memang lo pembawa kebahagiaan. Sekarang lo lihat kan? Semua orang nggak bahagia Sha, semua sedih Sha.”

“Gue tau lo pasti berat banget ya karna dari kecil nggak dapet kasih sayang papa mama? Tapi Sha, kita itu sama, jarak umur gue sama lo cuma dua tahun, tapi gue sadar, gue masih sempat ngerasain kasih sayang mereka walau cuma sebentar. Sementara lo? Lo belum sama sekali dapet Sha.”

“Berat ya? Tapi seberat apapun itu, gue mohon jangan nyerah Sha. Ayo genggam tangan gue lagi, ayo bagi beratnya bareng-bareng.”

“Sha, gue masih gantungin kebahagiaan gue ke lo.” Tepat saat Rey menyelesaikan perkataannya, mata Lisha tiba-tiba saja mengeluarkan air. Ya, Lisha menangis, seperti merespon ucapan Rey.

Melihat itu Rey tersenyum, ia kembali yakin kalau Lisha mendengar semua ucapannya.

Malvin masuk kembali ke kamar, ia melihat Rey yang tersenyum sangat lebar sekarang, membuatnya terheran.

“Lo kenapa senyum-senyum?” tanyanya pada Rey.

“Tadi gue kan ngomong sendiri kaya orang gila, gue pikir nggak ada yang ngerespon. Tapi lo tau? Lisha nangis, Bang.”

“Gue ikut seneng dengernya, semoga Lisha cepet bangun ya Rey.”

Bang, kenapa disaat Lisha sudah ingin menyerah, semua baru datang? Apa mungkin kalau Lisha nggak kaya gini papa nggakakan datang?