227. Maaf
Lisha sudah berada di kamar rawat, karena merasa jika kondisi Malvin dan Rey mulai tenang, akhirnya Lyan dan Candra pun ikut berpamitan untuk pulang.
Di kamar itu berada Via, Malvin, dan Rey. Malvin dan Rey yang berada di sisi kanan dan kiri Lisha, dan Via yang berdiri sembari menyuapi kedua anaknya, sebab mereka sama sekali tidak mau makan.
Terdengar suara decitan pintu terbuka, rupanya itu adalah Hardy. Hardy kembali setelah di telfon oleh sekretarisnya dan menyelesaikan administrasi rumah sakit.
“Kalian pulang dulu aja, udah malem, istirahat.” ucap Hardy yang langsung duduk di sofa kamar itu.
“Aku mau disini,” jawab Rey.
“Jangan bantah papa.”
“Terus yang jagain Lisha siapa?” tanya Malvin.
“Kamu ga lihat papa disini? Tandanya papa yang bakal jaga Lisha.”
“Aku ga yakin sama papa.”
“Papa tau papa salah, papa minta maaf.” Perkataan Hardy tak direspon siapapun.
“Udah ayo nak kita pulang dulu, dari tadi kalian udah nungguin Lisha kan? Nah sekarang kalian istirahat dulu, besok pagi kita kesini lagi.” pengertian Via pada kedua anaknya.
“Tapi ma—” Belum selesai Rey berbicara mulutnya sudah ditahan oleh Via dengan menaruh telunjuknya pada bibir Rey.
“Yuk?” ajak Via.
Malvin dan Rey setuju, akhirnya mereka meninggalkan rumah sakit dan kembali ke rumah untuk beristirahat.
Kamar kini hanya berisi Hardy dan Lisha. Sunyi, hanya ada suara dari mesin elektrokardiogram. Walau sedikit terganggu, namun hanya suara itu yang bisa menenangkan hati Hardy karena tandanya jantung Lisha masih berdetak.
Sepuluh menit, lima belas menit, Hardy hanya menatap tubuh Lisha dari jauh. Akhirnya dia beranikan dirinya untuk mendekati Lisha. Ia duduk di bangku samping ranjang Lisha.
Ia pegang tangan Lisha pelan, ia usap perlahan menyalurkan kasih sayangnya.
“Delisha anak papa,” ucapnya tiba-tiba.
“Delisha Putri Wijaya.” ucapnya lagi dengan tersenyum.
“Maafin papa,”
“Papa salah, salah banget.”
“Lisha capek ya?”
“Gapapa, istirahat dulu aja, tapi tetep bangun ya?”
“Papa nunggu kamu disini.” Hardy berdiri sejenak untuk mengecup pelan dahi putrinya, lalu kembali duduk dengan tangan yang masih setia mengusap tangan Lisha.