eltta

FOTO PERTAMA 1. Kata 'katanya' agak kurang enak dibaca menurutku. Kalimatnya bercetak miring jadi mungkin maksudnya Aylin mengatakan itu di dalam hati. Untuk memperjelas kalimatnya, bisa diubah jadi:

Kalo gak salah, namanya Aesar, katanya/ucapnya dalam hati.

Kata 'kalo' juga kurang enak dibaca. Kak Nay mungkin ngga mau dialog Aylin terkesan baku, tapi menurut aku kata 'kalau' ngga se-baku itu.

  1. Antara 'ini' dan 'karena' bisa ditambahkan koma. Kalimatnya jadi:

...ke tempat ini, karena katanya dia perlu ke suatu tempat.

Atau bisa juga jadi

...ke tempat ini. Karena, katanya dia perlu ke suatu tempat.

  1. Harusnya di hadapannya bukan dihadapannya.

  2. 'Jawabnya' bisa diganti jadi 'jawab Aylin'

FOTO KEDUA 5. Enam koma yang aku bulatkan harusnya diganti jadi titik

  1. 'Yang mana' bisa diubah jadi kata 'apa' Kalimatnya jadi,

“Gue gak tau lo suka minuman apa.”

  1. Kata kemaren lebih bagus jika diubah jadi kemarin

  2. Disamping dan disampingnya harusnya diubah menjadi di samping dan di sampingnya

  3. Kesini diubah menjadi ke sini

FOTO KETIGA 10. My Dad harusnya, bukan My dad

  1. Yang aku bulatkan, komanya harus diganti titik.

  2. Yang aku buat kotak bisa diubah jadi

“Aylin Figo,” kata Aesar tiba-tiba. “Your name sounds like 'Luis Figo.'”

Dan diakhir kalimat juga harusnya diakhiri titik.

  1. Real Madrid dicetak miring

  2. Hahahaha lebih baik diubah jadi,

Aylin tertawa. “You're not the first person to say that,” kata Aylin.

FOTO KEEMPAT 15. Koma harus diganti titik

  1. Kesini diubah menjadi ke sini

  2. Di dialog itu Aesar ngga kelihatan ngasih saran imo, tapi justru mengajak

'saran Aesar' bisa diubah jadi 'ajak Aesar' atau 'kata Aesar'

Safira menaiki tangga gedung fakultasnya dengan semangat. Kakinya menggebu-gebu menjajah satu per satu anak tangga. Giuran sebungkus cat food untuk kucingnya terngiang-ngiang. Bukan giuran lagi, melainkan sudah menjadi janji seseorang.

Gadis berambut panjang itu membuka pintu aula dengan sedikit kasar. Tiga orang lelaki di dalam terlihat terkejut dibuatnya. Heka menggeleng pelan melihat tingkah temannya itu.

“Hehe, sorry.” Safira tak enak hati melihat dua kawan Heka. Gadis itu berjalan kecil seraya menundukkan kepala mendekat ke Heka. Lelaki itu tertawa kecil, mendongak ke atas memandang wajah merah Safira.

“Jangan ketawa,” ucap pelan Safira lalu tangannya mencubit kecil pundak Heka.

Heka bangkit dari duduknya, ia menjabat tangan dua temannya. Meminta maaf karena harus pulang lebih dulu dari mereka karena sebuah alasan. Kedua temannya berkata tak apa, tapi setelahnya mereka meledek Heka, “Apa, sih, yang enggak buat orang kasmaran.”

“Ngawur lo kalo ngomong, gue duluan.” Heka menggandeng Safira yang masih setia menunduk. Suara siulan dari dua temannya terus terdengar hingga pintu aula ditutup kembali oleh Heka.

Safira menoleh sekilas tangannya yang sudah digenggam Heka, lalu mengangkat kepalanya. Heka merapikan beberapa helai rambut yang menutupi sebagian wajah Safira.

“Serius nggak mau pake hoodie gue?” Safira menggeleng. Walau baju yang ia kenakan berlengan pendek, tetapi bahannya cukup tebal. Terlebih dia mengenakan celana panjang, jadi ia yakin tak memerlukan hoodie Heka.

“Ya udah, nih, pake helmnya.” Heka memberikan sebuah helm dari jok motornya, helm yang sengaja ia bawa untuk Safira.

“Kenapa diem doang?” tanyanya yang sedari tadi memperhatikan Safira. Mulai dari Safira membuka pintu, hingga sekarang sudah di motor dengannya.

Wanita yang sekarang duduk di belakangnya dasarnya memiliki sifat periang dan berisik. Aneh rasanya jika dia diam seperti ini.

Heka menghentikan laju motornya kala lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Safira masih diam tanpa suara. Rasa penasarannya kian besar, ia mengambil tangan Safira di belakang.

Jemari kecil itu terasa amat dingin, genggamannya naik ke tangan Safira, terasa dingin pula. “Kan, apa gue bilang. Tadi harusnya lo pake hoodie gue.”

“Gue nggak tau kalo bakal sedingin ini ...,” cicit Safira dengan suara sedikit bergetar. Heka langsung melajukan kembali motornya saat lampu berwarna hijau. Tak jauh dari sana, ia menepikan motornya.

“Turun dulu,” pintanya pada Safira. Heka segera melepas hoodie putih miliknya dan memberikannya pada Safira. “Pake, biar nggak kedinginan lagi.”

Gadis itu mengangguk, ia mengenakan hoodie Heka yang sedikit kebesaran untuknya. Heka mengambil kedua tangannya, menggosokkannya dengan kedua tangan miliknya. Tangan Safira yang semulanya dingin, kini mulai menghangat.

“Haha, lebih bagus lo yang pake.” Heka menaruh tangannya di kepala Safira, mengacak surai halusnya. Lalu ia mengenakan helm ke Safira kembali. Melanjutkan perjalanannya tuk menepati janjinya.

Ia sudah tak lagi kedinginan, tapi tangannya masih senantiasa dingin. Detak jantungnya juga berdetak kencang, tak bisa dikendalikan. Safira dapat dengan jelas menghirup aroma vanila ciri khas Heka yang melekat di hoodie yang ia kenakan sekarang.

“Biasanya beli di sini, kan?” Heka berhenti di depan pet shop yang biasanya Safira datangi.

“Fir?” Safira menoleh, kembali dari lamunannya. “Hah? Oh, iya, di sini, kok.” Ia beranjak turun dari motor, melepas helmnya dengan kikuk.

“Lo kenapa, sih?” Safira menggeleng cepat. “Gapapa, gue gapapa, udah, ayo masuk.”

Safira memimpin di depan, ia masuk ke dalam lebih dulu. Langsung berjalan menuju lorong dengan berjejer rak berisi macam-macam makanan kucing.

Heka diam-diam tersenyum dari belakang, lelaki itu memandang gemas gadis di depannya sekarang. Tangan gadis itu hampir tertutup seluruh hoodie milihnya, membuat gadis itu tambah mungil.

Lelaki itu memandangi Safira yang berhenti di depan sebuah rak sembari menatap satu per satu isi rak tersebut. Safira mendongak ke atas, menggerutu dalam hati karena makanan kucingnya ditaruh di atas.

Kakinya berjinjit dengan tangan yang berusaha meraih bungkus warna kuning di atas. Sesekali ia berlompat kecil karena gagal meraihnya.

“Dasar pendek.” Heka mengambilkannya dari belakang. Ia menoleh ke bawah beradu tatap dengan Safira yang kini mendongak kepadanya.

“Ini, kan?” Safira mengangguk. “Ada yang perlu lagi nggak? Biar sekalian.”

Safira kembali berjalan, menyusuri toko yang berukuran tak begitu besar. Dengan Heka yang setia mengekori Safira dari belakang.

Tiba-tiba Safira membalikkan tubuhnya, menubruk dada Heka yang masih berjalan karena tak tahu jika Safira berhenti. Gadis itu mengusap-usap keningnya dengan tangan yang tertutup hoodie.

“Duh, sorry, sorry.” Heka mendekat, ia membuka kedua tangan Safira yang menutupi wajahnya. Tangannya menangkup pipi Safira yang menggembung. “Nggak kenapa-kenapa, kan?”

Safira menggeleng lantas menjawab, “Gapapa, nggak sakit juga. Gue nggak perlu apa-apa lagi, ayo pulang aja.”

Perutnya semakin menggelitik, Safira ingin teriak sekencang-kencangnya. Ia mencoba santai agar gelagatnya tak terbaca Heka. Anjing, gue nggak kuat sumpah. Heka lo ganteng banget.

Heka mengangguk-angguk lalu menggandeng Safira ke kasir. Berjalan bersama agar tak mengulangi kejadian yang sama.

Usai membayar, Heka membuka pintu toko tuk mempersilahkan Safira keluar lebih dulu. Senja yang menemani mereka tadi sudah pulang, berganti gelapnya langit yang ditaburi bintang.

“Temenin gue beli roti bakar dulu, ya,” ucap Heka sebelum menghidupkan mesin motornya.

Safira dengan senang hati menuruti, lagipula ia sudah dibelikan sebungkus cat food. Jadi menurutnya, ini adalah timbal balik untuk Heka.

“Mang, biasa, ya, dua,” teriak Heka dari atas motor, tampak sudah akrab dengan penjualnya.

“Lo udah langganan di sini, ya?” tanya Safira penasaran.

“Iya, gue sering banget beli di sini. Sampe Mamangnya juga udah hafal.” Safira mengangguk paham.

“Buntel lagi apa, Fir?” Pertanyaan yang terlontar dari Heka langsung dibalas dengan sewot, “Namanya Cherlly, bukan buntel!”

“Iya, iya, maksud gue Cherlly.”

“Mana gue tau, kan gue lagi sama lo sekarang. Gue bukan dukun.” Safira memutar bola matanya. Pertanyaan tak bermutu.

Lima belas menit berlalu, seorang lelaki penjual roti bakar pun mendekati keduanya. Ia memberikan dua kantung plastik ke Heka.

“Nih, Mang, kembaliannya ambil aja. Makasih, ya, Mang.” Heka ingin mengobrol sebenarnya dengan Mamang roti bakar itu, tapi ia ingat jika membawa Safira.

“Udah?” tanya Safira yang dibalas anggukan oleh Heka. “Udah, sekarang pulang, ya?”

“Iya, gue udah agak ngantuk.” Ia menutup mulutnya yang terbuka lebar kala menguap.

“Tidur aja, sini pegangan.” Heka menarik kedua tangan Safira dan ia kaitkan di perutnya. Kepala Safira bersandar di punggung lebar Heka. Menikmati sepoi angin selama perjalanan.

Hingga kantuknya semakin menjadi, lalu tanpa ia sadari, ia mulai tertidur. Heka sesekali mengusap tangan yang memeluknya erat, menurunkan laju motornya agar tak terlalu kencang.

Mereka sampai di depan rumah Safira, Heka memandang wajah tenang Safira dari kaca spionnya. Tak tega tuk membangungkannya. Terpaksa ia menepuk-nepuk tangan Safira, membangunkan gadis itu perlahan.

“Bangun, udah sampe.” Safira membuka matanya, menatap kosong rumah di hadapannya. “Kumpulin nyawanya dulu baru turun,” pinta Heka yang tak dibalas.

Gadis itu mengedipkan matanya berulang kali, tangannya masih melingkari perut Heka. Rasanya nyaman, punggung lebar nan kokoh milih Heka pun ia sukai.

Safira turun dari motor, ia mengembalikan helm Heka. Tangannya hendak membuka hoodie yang ia kenakan. “Nggak usah, buat lo aja.” Heka menahannya.

“Terus lo gimana?” Safira menurunkan tangannya.

Hoodie gue banyak,” jawabnya dengan sombong.

“Nih, buat Bunda.” Heka memberikan sebungkus roti bakar yang tadi ia beli bersama Safira.

“Nggak usah, ih. Tadi 'kan lo dah beliin gue ini, nggak enak gue.” Safira mengangkat kantong plastik di tangannya.

“Buruan ambil, ini bukan buat lo, tapi buat Bunda.” Buat Bunda, Safira mengambilnya. Kebanyakan nggak enaknya gue kalo sama Heka.

“Gue pulang dulu, besok pagi gue jemput, ya, berangkat bareng.” Heka menepuk-nepuk pucuk rambut Safira pelan. Mengambil topi sambung hoodie-nya dan ia kenakan di Safira. Kepalanya tenggelam, sungguh gemas.

Rakha melajukan mobilnya secepat mungkin menuju tempat yang biasanya menjadi tempatnya berkumpul dengan teman-temannya. Warung kopi milik Mang Asep, sederhana tapi banyak sekali waktu yang sudah dihabiskan di sana.

Sesampainya ia di sana, sudah ada Bobby dan Jaka yang sampai bersamaan dengannya. Tanpa ada pembicaraan lebih, Rakha meminta mereka untuk memasuki mobilnya.

Ia mengambil kedua ponsel milik dua temannya untuk berjaga-jaga agar tak ada yang memberi kabar pada siapa pun. Setelah ia mendapat surat terakhir dari Darren, ia sangat was-was dengan kedua temannya. Ia amat takut jika salah satu dari temannya memberi kabar ke orang lain untuk memindahkan Darren ke tempat lain.

“Kita mau kemana?” tanya Jaka yang tak mengerti dengan Rakha.

“Diem aja, cukup ikut sama gue.” Rakha diam seribu bahasa, ia hanya fokus mengendarai mobilnya.

Mobil berwarna merah itu terparkir sembarang di depan rumah mewah yang terlihat sepi. Di depan rumah tersebut ada dua orang penjaga, sepertinya itu ialah suruhan orang yang telah menculik Darren.

Tentu saja hal ini membuat Bobby dan Jaka terheran. Mereka yang tak tahu apa-apa hanya bisa diam saling menatap satu sama lain. “Gue yakin salah satu dari kalian tau tempat ini,” ucap Rakha menoleh ke kursi belakangnya.

“Ngomong apa sih lo? Lo jebak kita?” tuduh Bobby begitu saja. Sungguh, perilaku Rakha saat ini justru membuatnya curiga.

“Kita masuk, lawan dua orang itu.” Rakha menunjuk dua orang berbadan kekar yang berada tak jauh dari mereka.

Jaka mengangguk mantap, sementara Bobby mengangguk dengan ragu dan terpaksa. Dalam hitungan ketiga, mereka serempak keluar dari mobil. Sontak membuat dua orang penjaga tadi memasang badan bersiap diri.

“Siapa kalian?!” teriak salah satu dari penjaga di sana.

“Kasih tau dimana Darren!” teriak balik Rakha tak kalah keras suaranya.

“Kalian nggak akan bisa nemuin dia.” Penjaga itu dengan lantang dan amat sangat yakin mengatakan hal itu.

Bug!

Kepalan tangan Rakha semakin kuat, ia tak kuasa menahan emosinya lagi. Satu pukulan melayang kuat di sudut bibir seseorang di depannya saat ini.

Tak membiarkan Rakha dalam kemenangan kecilnya, kedua penjaga itu membalaskan serangan Rakha. Berakhir dengan perkelahian dua lawan tiga orang.

Bobby cukup kewalahan menghadapi dua orang ini, rasanya kekuatannya sangat jauh dengan yang lain. Terlebih, Bobby memang tidak ada bakat berkelahi seperti Rakha dan Jaka. Ia terjatuh mendapat tendangan keras di perutnya. Sudah ada tangan besar pula yang siap memukulnya kala ia tersungkur di lantai.

Beruntungnya, Jaka dengan sigap menepis tangan itu. Ia membentengi Bobby agar terhindar dari pukulan itu. Walaupun belum ada yang bisa dipercaya, tapi Bobby masih temannya, ia tak mungkin tega menyaksikan Bobby yang tersungkur tak berdaya.

Memakan waktu cukup lama, tapi akhirnya mereka bisa mengalahkan kedua penjaga itu. Kini kondisi kedua penjaga itu telah terkulai tak berdaya di lantai, mungkin sebentar lagi akan kehilangan kesadarannya.

Sebelum mereka memanggil temannya yang lain, Rakha memberi kode ke dua temannya untuk masuk saja meninggalkan penjaga lemah ini. Mulut ketiganya terbuka lebar kala melihat isi dari rumah yang amat mewah itu, begitu sangat luas bak istana.

“Gimana kalau kita mencar? Gue ke sana, lo ke sana Rak, nah lo ke sana Jak.” Bobby menunjuk satu per satu arah dari isi rumah itu.

“Nggak. Kalau kita mencar, bisa aja ada yang bawa kabur Darren.” Rakha menolak keras, ia tak lupa dengan tujuan awal ke tempat ini.

“Terus kita kemana sekarang?”

Rakha berjalan terlebih dahulu menuju sebuah ruangan di bawah tangga, yang tampak begitu mencurigakan. Kosong, tak ada siapa pun di dalam sana. Mereka beralih kembali ke ruangan lain. Tetap kosong, tidak ada Darren di semua ruangan di lantai bawah.

“Tolong!” Ketiganya sontak menoleh ke arah suara yang tak asing bagi mereka. Suara itu berasal dari atas, mereka segera menuju tangga untuk naik ke atas.

Namun, di tengah langkah mereka naik, dentuman hebat terdengar. Pandangan mereka kembali teralihkan pada pintu yang tertutup dengan sangat keras. Setelah itu, kaki jenjang muncul, berjalan dari arah dapur.

Ketiganya justru bingung dengan sosok yang mereka lihat. Itu adalah Darren, tapi Darren dalam keadaan baik-baik saja bahkan ia sekarang sedang tertawa terbahak-bahak. Atmosfer ruangan menjadi panas, tawanya sama sekali tidak menggambarkan sebuah tawa menyenangkan. Melainkan itu adalah tawa menyeramkan yang mengintimidasi mereka.

“Lo ...,” ucap Bobby sembari menunjuk Darren yang mulai berjalan mendekat pada mereka.

“Hahaha! Bodoh kalian, mau aja masuk ke perangkap gue.” Apa maksudnya ini? Jadi ini adalah jebakan semata? Ketiganya masih bergeming, mencerna apa yang dikatakan oleh Darren.

“Pertama, gue belum mati. Gue nggak diculik, cause ini permainan gue buat kalian. Nah ini yang bodoh banget, kenapa lo percaya gue bisa kirim lo surat?” Darren menatap lekat Rakha, tak menyangka temannya satu ini begitu bodoh.

“Surat pertama, gue jelas bilang kalo mata gue ditutup. Logikanya, gimana bisa gue nulis surat itu? Gimana cara gue juga buat kirim surat itu kalo gue beneran lagi diculik?” Bodoh, Rakha bodoh. Ia merutuki kebodohannya. Bagaimana hal sekecil itu tidak ia perhatikan.

“Seru banget lihat kalian saling tuduh di gc,” pungkas Darren.

Ia menaiki satu anak tangga lagi, lebih dekat dengan ketiga temannya. Tangannya menepuk pundak Jaka dan Bobby bersamaan.

“Ayo ikut gue main.”

“Nah, sudah, sekarang kalian makan, Ibu tinggal dulu.” Seusai menyiapkan makan malam, ibu berpamitan untuk pergi karena memang seperti ini kegiatannya ketika usai menyiapkan makanan di meja.

Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, jika The M mempunyai peraturan jika mewajibkan seluruh anggotanya untuk makan bersamaan, maka di meja makan sudah lengkap dengan anggota The M.

“Jangan,” bantah Langga melarang ibu untuk melangkah pergi.

Ibu menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Langga. “Kenapa, Nak?” tanya ibu pada Langga.

“Ikut makan,” balas Langga singkat.

“Siapa?”

Langga diam, bagaimana ia harus menjawab pertanyaan terakhir dari wanita yang sedang menghadapnya. Rasanya gengsi sekali jika harus menyebut wanita itu.

Ini gue manggil siapa dong. Kamu? Lo? Anda? Aduh rasanya nggak sopan banget. Ibu? Harus banget manggil ibu? Ya udah deh, Langga membatin, ia bergelut dengan pikirannya sendiri.

“Ibu, Ibu makan di sini sama kita.” Mata lima orang temannya pun mendelik, mereka terkejut dengan kata yang terucap oleh Langga.

Bagaimana tak terkejut, Langga ialah orang yang sangat sulit menerima ibu selama ini. Lalu, malam ini ia dengan langsung menyebut ibu, terlebih justru Langga meminta ibu untuk duduk bersama mereka dan makan bersama.

Selama setahun ini ibu melakukan pendekatan dengan masing-masing anak. Ia coba mengerti perasaan anak-anak, ia mencoba menjadi sosok ibu yang berbeda dari bayangan ibu di pikiran mereka. Ia paham jika anak-anak trauma dan tak mengenal kasih dan sayang dari sosok ibu.

Selama ini mereka tidak pernah tahu bagaimana rasa sayang dari seorang ibu, maka ibu mencoba memberikan semua rasa itu kepada anak-anak. Hati pertama yang dapat ia ambil ialah hati Petandra, sosok lelaki berparas sangar itu justru orang yang paling pertama menerima ibu.

Sebab, alasan ia membenci ayahnya, karena ayahnya telah menyakiti ibunya. Petandra adalah sosok yang sangat menyayangi bahkan menghormati seorang ibu.

Setelah mengambil satu hati saja dari anak-anak, semangatnya kian besar untuk mengambil hati anak-anak yang lain. Perjuangannya tidak sia-sia, malam ini ia dengan lengkap mengambil hati anak-anak yang sudah ia anggap seperti anaknya sendiri. Malam ini pula, anggota The M mendapatkan sebuah kasih dari seorang ibu yang selama ini belum mereka terima.

Perlahan namun pasti, ibu mulai merubah perilaku anak-anaknya. Ibu paham sifat mereka akan susah dirubah karena kebiasaan yang sudah mereka lakukan sejak lama. Namun, ibu mencoba mengurangi perilaku buruk yang mereka lakukan.

Nyatanya, anak-anak itu bukanlah manusia yang selalu jahat. Mereka hanya butuh seseorang yang memberi mereka kasih sayang serta kehangatan. Apa yang mereka perbuat tak lain hanyalah bentuk pelampiasan saja.

Netra milik Lamos memandang malas seorang wanita yang sepantaran dengan ibunya. Wanita itu hanya duduk bersantai di lantai dan menatap lekat Lamos.

“Apa lihat-lihat?” tanya Lamos sembari memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.

Wanita itu justru tersenyum, perlahan ia bangkit dari duduknya. Dengan langkah kecil, ia mendekat ke arah Lamos. Tanpa ada rasa takut sama sekali, wanita itu justru dengan berani menggenggam tangan Lamos yang masih menyisakan beberapa jejak darah.

Dari lubuk hati terdalam Lamos ingin sekali menepis dengan kasar, tetapi entah mengapa rasanya sangat berat untuk hanya sekedar menggerakkan tangannya sedikit.

Usapan tangan itu semakin lembut, wanita itu mengambil sisi dari baju yang ia kenakan untuk mengusap telapak tangan Lamos. “Nak, kalau anak Ibu masih hidup, kemungkinan dia sekarang sudah sebesar kamu,” ujar wanita itu yang bergantian mengusap ujung bibir Lamos.

Ujung bibir yang sudah membiru akibat bentuk perlawanan dari lawan sebelumnya. “Sakit, 'kan? Ayo sini Ibu obatin.” Tangan wanita itu menarik tangan Lamos agar mengikutinya.

Lamos bergeming, ia enggan mengikuti satu langkah pun. Tak lama terdengar suara yang menyerukan nama Lamos, membuatnya mempunyai alasan tidak mengikuti wanita di sampingnya.

“Ikut kita,” ucap Langga yang baru saja sampai di hadapan mereka. Ia berharap wanita di depannya ini tidak perlu dipaksa untuk mengikutinya.

Benar adanya, wanita itu justru dengan senang hati mengikuti langkah Langga dan Lamos. Entah apa yang terjadi dengan pikiran wanita itu sehingga ia dengan sangat berani mengikuti manusia yang sudah dengan sadis membunuh orang lain di depan matanya.

“Kunci mobil lo mana? Mobil gue dibawa Tandra balik, biar gue yang bawa mobil lo.” Lamos merogoh saku celananya dan memberikan satu buah benda kecil yang diminta Langga.

“Kita mau kemana, Nak?” tanya wanita itu yang sudah terduduk di bangku belakang Langga dan Lamos.

“Diem aja, atau saya bunuh anda sekarang juga.” Langga menjawab dengan tegas, ia mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sudah tak heran lagi Langga membawa mobil seperti ini, itu alasan mengapa teman-temannya tidak akan pergi bersama Langga jika tidak dalam kondisi genting.

“Aduh, pelan-pelan, Nak, Ibu jadi mual.” Wanita itu menepuk pundak Langga dengan satu tangannya menutup mulut menahan gejolak pada perutnya.

“Nggak usah ngatur.”

Huek

Hampir saja isi perut wanita itu keluar, dirinya sungguh mual akibat laju kendaraan Langga.

“Jangan muntah!” pinta Langga.

“Makanya pelan-pelan, kalau kamu nggak mau pelan, Ibu muntah aja sekarang.” Wanita itu mengancam Langga, Langga mau tak mau harus menurunkan kecepatan mobilnya. Ia tak ingin lebih kesulitan ketika wanita di belakangnya ini sampai muntah.

Karena kecepatan laju yang tidak cepat, mereka menghabiskan tiga puluh menit untuk sampai di rumah. Selama perjalanan, hanya wanita itu yang menjadi iringan. Seperti memiliki banyak topik, wanita itu tidak berhenti bicara sedikitpun, bahkan walau tidak digubris oleh Langga dan Lamos.

Langga memberi tahu letak kamar wanita itu, sesuai rencananya, ia akan menjadikan wanita itu sebagai asisten rumah tangga di sini. Ia sudah menyiapkan kamar yang sebetulnya terlalu bagus untuk seorang asisten rumah tangga, tapi hanya kamar itu yang paling kurang bagus di rumah ini.

Langga berikan sebuah ponsel pada wanita itu agar lebih mudah memanggilnya jika memerlukan sesuatu. Rencananya ia akan membuat wanita itu lelah karena mengurus rumah yang sangat besar, terlebih isinya adalah anggota The M.

Masih terheran, mengapa wanita itu dengan senang hati menerima apa yang diperintahkan Langga, tapi Langga tak mengambil pusing, mungkin saja wanita itu takut dibunuh olehnya.

Sepasang mata menatap anak semata wayangnya yang masih tertidur di balik selimut. Ada rasa sesak di dada ketika melihat wajah damai anak gadis berumur tiga belas tahun di sana.

“Maafin, Ayah.” Damar mengusap surai lembut milik anaknya. Ada rasa sesal dalam hatinya. Menyesali keadaan yang ada, yang membuat anaknya harus merasakan sebuah kehancuran di usia belia.

Gadis itu melenguh mendengar suara yang tak asing di telinganya. “Ayah?” ucap gadis itu begitu membuka matanya.

“Caca, maafin Ayah, ya? Maaf kalo kamu harus memilih antara Ayah dan bunda.” Baik, Caca paham ke mana arah pembicaraan ayahnya.

Caca bangun dari tidurnya, kepalanya tertunduk tak berani menatap mata ayahnya. “Ayah, apa nggak bisa kita kayak dulu aja?” tanya Caca dengan sedikit rasa ragu.

Damar menghela napasnya, ia paham jika Caca akan terus mencoba agar kedua orang tuanya kembali seperti dulu. Namun, hal ini sudah tidak bisa ia perbaiki, semuanya sudah terlanjur hancur berkeping-keping.

“Katanya, orang tua bakal bertahan demi anaknya, tapi kenapa Ayah sama bunda enggak?” Damar terkejut, bagaimana bisa Caca yang masih berumur segitu mengerti akan pembahasan seperti ini.

“Caca tega bikin Ayah atau bunda terus sakit kalau kita bareng terus?” Damar mencoba menjawab pertanyaan yang akan mudah dicerna oleh Caca.

“Tapi Ayah tega buat Caca sakit dengan cara kalian pisah.” Telak, Damar bungkam. Tak pernah ia banyangkan jika menjadi Caca akan begitu berat. Ia tak sadar jika keputusannya akan menghancurkan hati mungil anaknya.

Isak tangis terdengar, Caca mulai menangis tersedu-sedu. “Gimana nanti waktu temen-temen Caca minta Caca buat ceritain tentang orang tua Caca?”

“Ayah semalem bilang, kan? Kalau kita masih sama, Caca masih punya Ayah, masih punya bunda, masih punya kita.” Jemari Damar mengusap air mata yang membasahi paras cantik anaknya.

But, I don't have many memories when you are together.” Damar meremat jemarinya sendiri, sesal kembali menyelimuti hatinya.

“Ayah janji, setelah ini kita bakal buat kenangan indah sama kamu. Ayah janji kita bertiga tetep bakal sering main bareng.” Caca menggeleng, kepalanya terangkat menatap netra sang ayah. “Bahkan dulu Ayah janji buat kita selalu bersama bertiga, tapi nyatanya enggak.”

Caca mengatur napasnya, mencoba mendewasakan dirinya agar tak bersikap kekanak-kanakan. Ia harus mengerti bagaimana keputusan yang sudah dipilih oleh ayah dan bundanya.

“Tapi Caca juga nggak bisa apa-apa, jadi terserah kalian aja, lagi pula Caca udah nggak berharap lebih.” Caca mengusap air mata yang tersisa di wajahnya dengan kasar. Ia beranjak dari ranjangnya, meninggalkan ayahnya seorang diri di kamarnya.

Damar menangis dalam sendirinya, ia dihadapkan dengan dua pilihan yang rumit. Haruskah ia melanjutkan proses perceraian dengan istrinya, atau bertahan demi sang anak.

Namun, setelah dipikirkan berulang kali, ia tetap memilih untuk melanjutkan perceraiannya dengan istrinya. Ia sadar keputusan ini akan sangat menambah rasa sakit pada anaknya, tapi ia tidak ingin adanya sebuah kebohongan dalam keluarga kecilnya.

Caca, Ayah adalah bad husband, but I will keep trying to be a best father for you, bantu Ayah.

“Lepasin!” berontak seseorang yang sedang dibawa paksa oleh dua orang suruhan Langga.

Tepat saat rungunya merangsang suara dari seseorang yang sudah ia tunggu, ia memalingkan badannya lalu memberi perintah agar dua orang suruhannya melepas mangsanya.

“Hebat, sekarang udah jadi direktur perusahaan besar.” Lingga menepuk kedua telapak tangannya memberi selamat.

“Lo siapa?” tanya orang itu yang berjalan mundur ke belakang dengan pelan.

“Nggak usah mundur-mundur gitu dong, sini kita kenalan, lagi.” Langga mendekat ke arah mangsanya, tangannya menjabat tangan mangsanya.

“Kita kenalan lagi, ya, Hendrick. Kenalin, gue Langga, orang yang dulu lo bully bareng-bareng sama temen-temen sampah lo.” Langga mencengkeram kuat tangan Hendrick.

“Argh, lepas, lepas!” Hendrick berusaha menarik tangannya dari cengkeraman Langga, tetapi sia-sia, tangannya masih dicengkeram dengan amat kuat.

Langga lepas cengkeramannya, membiarkan Hendrick mengusap telapak tangannya yang sudah merah. “Oke, dari mana gue mulainya?” tanya Langga pada dirinya sendiri.

Hendrick semakin takut dengan sikap Langga, suara berat Langga membuat seluruh bulu tubuhnya naik. Langkahnya semakin besar untuk mundur menjauh dari Langga.

Please, jangan apa-apain gue, gue mohon sama lo. Gue bakal kasih lo uang berapapun, asal lo jangan apa-apain gue.” Kedua tangan Hendrick terbuka membentengi dirinya sendiri dari Langga yang mulai mendekat ke arahnya.

Langga berlari ke arah Hendrick, ia tendang dada Hendrick dengan amat sangat kencang sehingga Hendrick tersungkur membentur dinding ruangan tersebut. “LO PIKIR SEMUA INI SELESAI DENGAN UANG AJA?! NGGAK, HENDRICK!” Langga berteriak tepat di depan muka Hendrick.

Ia tarik kerah baju Hendrick dengan kasar, memaksa Hendrick untuk berdiri agar ia leluasa memberikan banyak tendangan pada tubuh Hendrick.

Bugh! Bugh! Bugh!

“Kayak gini 'kan dulu cara lo sama temen-temen lo bully gue di gudang sekolah?” ucap Langga dengan menendang seluruh tubuh Hendrick tanpa ampun.

Langga tarik ikatan dasi pada leher Hendrick semakin keras. Membuat Hendrick memukul tangan Langga akan melepaskan ikatan yang begitu menyakitkan baginya.

Seolah-olah ingin memainkan kematian Hendrick, Langga longgarkan kembali dasi Hendrick ketika Hendrick baru saja akan kehilangan kesadarannya karena kehabisan oksigen.

Satu tendangan melayang kembali di perut Hendrick, ia tersungkur tak berdaya ke lantai. Hendrick sedang mengatur napasnya kembali, tetapi Langga melayangkan satu pukulan ke kepala Hendrick.

Suara benturan antara tulang kepala dengan lantai yang dingin terdengar nyaring di gudang besar ini. Pandangan Hendrick memudar, tak kuasa lagi ia menahan segala siksaan yang Langga berikan.

“Kayak gitu 'kan dulu waktu lo seenaknya mukul kepala gue?”

“Bangun lo! Nggak ada yang suruh lo tiduran kayak gitu!” Langga menarik kerah Hendrick agar bangun dalam posisi duduknya kembali.

“Mana muka yang dulu senyum paling lebar waktu lihat gue nggak berdaya?!” Langga menggenggam kuat dagu Hendrick, mengarahkan wajah Hendrick agar menatapnya.

Mata sayu Hendrick masih berusaha terbuka, mencoba menatap Langga yang sangat tersulut emosi.

“Coba tunjukin lagi muka lo kayak waktu itu. Nggak bisa? Lemah!” Langga meludahi wajah tak berdaya Hendrick. Habis sudah harga diri Hendrick, dirinya bahkan sudah tak bisa melawan apa pun.

“Langsung bunuh gue Lang, gue mohon.” Bahkan Hendrick sendiri memohon atas kematiannya, ia sudah tidak kuat dipermainkan seperti ini.

Langga tertawa lepas, bahagianya ia melihat seseorang yang tengah memohon untuk kematiannya sendiri. Ia menggeleng, rasanya masih kurang puas berlaku seperti itu kepada Hendrick.

“Belum Hendrick, belum waktunya lo mati.” Langga mengeluarkan sebuah pisau kecil yang persis seperti milik Diospiros.

Genggaman tangan yang menggenggam sebuah pisau terarahkan menuju lengan tangan milik Hendrick. Tangan itu dengan ringan menempelkan serta menekan pisau pada lengan Hendrick dan menariknya cepat.

Hendrick menangisi kematiannya, ia terus memohon kepada Langga agar menghentikan penderitaannya. Namun, Langga tetaplah Langga, jika ia belum puas, maka ia tidak akan membunuh mangsanya begitu saja.

Langga pergi menjauh dari Hendrick, ia menuju ke sebuah almari di sudut ruangan. Almari yang berisi berbagai macam benda tajam, ia memilih salah satu pedang tajam yang berada di sana.

Sudah mulai puas, ia memutuskan untuk segera mengakhiri hidup Hendrick. Langga mendekati Hendrick dan dengan cepat menebas pedangnya tepat pada leher Hendrick.

Dengan santai, Langga menjambak rambut kepala Hendrick yang sudah terpisah dari badannya untuk ia bawa pergi.

Hari ini penantiannya yang cukup panjang tidak sia-sia. Hari ini ia dapat membalaskan segala rasa dendamnya pada Hendrick.

Gue cuma mau lo ngerasain apa yang dulu gue rasain. – Langga

Arlabi keluar dari kamarnya dan turun ke bawah menuju meja makan. Tangannya bergetar hebat kala pulang dari tempat di mana ia kembali mengingat kenangan buruk pada masa lalunya.

Dari jauh tampak kelima orang lainnya tengah menunggunya di meja makan, tak ada satu orang pun yang menyentuh makanannya. Arlabi sedikit merasa tidak enak kepada mereka karena membuat mereka menunggunya hanya untuk makan.

Arlabi duduk di bangkunya yang berada di tengah antara Petandra dan Lamos. Petandra memalingkan kepalanya memperhatikan Arlabi. “Tangan lo gemeter?” Anggukan yang menjadi jawaban Arlabi atas pertanyaan Petandra.

Petandra merubah posisi duduknya menghadap Arlabi, tangannya memegang sisi kiri bawah perut Arlabi. “Sakit?” tanyanya yang dijawab dengan anggukan lagi.

“Bekas lukanya bahkan udah hilang, tapi kenapa rasanya masih sakit,” ucap Arlabi dengan rasa bingung.

“Itu trauma masa lalu lo, luka lo udah seratus persen sembuh. Tapi memori otak lo nggak seratus persen hilang.”

Sial, Arlabi memejamkan matanya setelah mendengar penuturan Petandra. Rasanya kini jauh lebih sakit, sementara otaknya kembali memutar sebuah kejadian yang sangat ia benci.

Kenangan di saat Arlabi berusia tujuh tahun. Dulu ia adalah anak yang sangat periang, ia sangat senang bermain. Hingga suatu saat ia kelelahan saat bermain petak umpet dengan temannya, ia tertidur di sebuah kursi di taman.

Ia terbangun saat matanya melihat sekeliling yang sudah gelap. Dengan langkah cepat ia bergegas pulang, ia takut jika akan terkena amarah dari ayahnya.

Benar saja, saat kembali ke rumah, ia disuguhkan ayahnya yang berada di dapur dengan amarah yang meluap. “Dari mana kamu?! Tidak tahu aturan!” Ayah Arlabi menarik telinga Arlabi dengan sangat kencang, membuat Arlabi kecil menangis kesakitan.

“Sudah membuat istri saya mati, kamu juga selalu menyusahkan saya.” Ayah melayangkan satu pukulan keras di tangan Arlabi.

“Ayah ampun, Arbi salah, Ayah ampun, sakit.” Arlabi meraung kesakitan, mulutnya terus menyebut ayahnya yang bahkan sudah tak pantas lagi disebut ayah.

Belum puas, Ayah Arlabi mengambil satu pisau tajam yang menggantung di dekat rak dapur. Dengan segan ia menusukkan pisau itu pada perut Arlabi. Tusukan yang Arlabi terima membuat sakit pada telinga serta tangannya hilang, melainkan rasa sakit itu pindah ke perutnya.

Tangannya menggenggam pisau yang tertancap di perutnya, rasanya sungguh sakit, sangat sakit. Bagaimana orang dengan tega berperilaku seperti itu kepada anak kecil yang tak mempunyai dosa.

“Ayah, sa.. kit.. Arbi sakit ...,” ucap Arlabi di sisa kesadaran yang ia punya.

Sejak saat itu Arlabi mengalami trauma hebat ketika melihat darah, ia akan selalu mengingat bagaimana darah yang keluar dari perutnya ketika ia kecil. Rasa nyeri juga akan muncul pada tempatnya dulu terluka.

“Argh, lupain, lupain!” Arlabi berteriak memukul kepalanya sendiri. Berharap semua kenangan buruknya hilang seperti bekas lukanya yang sudah menghilang.

“Bi, jangan gini. ARBI DENGERIN GUE!” Petandra menghentikan gerakan tangan Arlabi yang memukul kepalanya sendiri.

Seluruh orang di sana paham dengan keadaan Arlabi. Bahkan semuanya tahu bagaimana masa lalu dari berbagai orang di sana. Bagi mereka, masa lalu Arlabi yang sangat menyakitkan.

“Kalian makan, keburu makanannya dingin,” ucap Lamos yang mulai membuka makanan yang sudah ia beli dan ia bagikan pada masing-masing piring temannya.

“Gimana gue bisa makan di saat temen gue lagi coba lawan rasa traumanya?” ucap Nilkara.

Walaupun The M mempunyai peraturan-peraturan yang dapat dikatakan kejam, tetapi mereka memiliki solidaritas yang tinggi. Sama halnya seperti Nilkara saat ini, walaupun ia yang paling sering berdebat dan ribut dengan Arlabi, tetapi ia tetap memiliki empati kepadanya.

“Makan aja, Arbi juga makan, gue yang suapin,” ucap Petandra sembari mengarahkan sendok berisi nasi serta lauk ke arah Arlabi.

“Apaan deh, gue bisa makan sendiri.” Arlabi enggan membuka mulutnya.

“Turunin gengsi lo. Lo nggak mungkin bisa makan kalo tangan lo gemeter kayak gini.” Petandra adalah sosok yang kelihatannya tidak punya rasa empati sedikit pun. Namun, nyatanya ia adalah sosok yang paling mengerti perasaan yang lain.

The M adalah orang-orang dengan masa lalu yang pahit. Mereka bertemu di sebuah tempat kursus menembak. Semakin dekat mereka semakin berbagi alasan mengapa mereka datang dalam kursus ini.

Langga yang mempunyai dendam oleh sekelompok orang yang sempat mem-bullynya. Petandra yang membenci perlakuan ayahnya yang selalu memukuli ibunya. Nilkara dan Diospiros yang memiliki dendam kepada orang tuanya karena meninggalkannya di panti asuhan. Lamos yang memiliki dendam kepada saudara tirinya yang membuat ibunya berubah menjadi kasar padanya. Lalu Arlabi yang membenci perlakuan ayahnya padanya.

Semuanya memiliki dendamnya masing-masing dan mempunyai tekad untuk membalaskannya. Maka sejak saat pertama mereka berbagi cerita, mereka memutuskan untuk menjadi satu. Menjadi satu kumpulan yang kerap disapa mafia.

Setelah kondisi Arlabi mulai tenang, Diospiros mulai melayangkan sebuah candaan yang membuat seluruh orang yang sedang menyantap makanannya tertawa.

Tawa yang tak akan pernah didengar orang lain selain anggota The M. Tawa lepas yang menyimpulkan segala rasa bahagia di dalamnya.

Langga melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Jika ia kalah cepat, maka ia bisa saja habis oleh tiga mobil yang sedang mengejarnya.

Ketiga mobil tersebut tertipu oleh Langga, Langga justru mengarahkan mereka ke sebuah pantai yang sangat jauh dari pemukiman warga dan akan membawa mereka pada teman-temannya yang lain.

Langga tersenyum miring saat melihat empat mobil hitam berjajar rapi persis di tepi pantai. Sebuah klakson singkat diberikan Langga, memberi kode pada pengemudi empat mobil di depannya untuk keluar.

Mobil Langga berhenti tepat setelah seluruh temannya keluar dari mobil. Membuat tiga mobil dibelakangnya ikut berhenti.

Tampak Diospiros lebih dahulu berjalan mendekat ke arah mobil Langga. Ia mengetuk kaca mobil Langga dan meminta Langga segera keluar.

Langga keluar dari mobilnya sembari menenteng sebuah rantai yang cukup panjang. Matanya menatap seluruh temannya dan langsung memberi tanda ke arah mobil-mobil di belakangnya.

Petandra berjalan memimpin di depan untuk menghampiri tiga mobil yang menjadi sasarannya.

Langga dan Petandra menghampiri mobil pertama, Nilkara dan Lamos menghampiri mobil kedua, lalu Arlabi dan Diospiros menghampiri mobil ketiga. Sukses sudah mereka mengepung tiga mobil di sana.

Tampak empat orang pada masing-masing mobil mulai ketakutan. Petandra, Lamos, dan Arlabi bersama-sama memukul kaca mobil pengemudi dengan kencang, bahkan berhasil membuat retak kaca mobil itu.

“Keluar!” teriak Nilkara menginstruksi orang-orang yang berada di dalam mobil untuk segera keluar.

“Dua belas lawan enam masih takut kalian?! KELUAR!” Nilkara kembali berteriak sebab tak ada satu orang pun yang keluar dari mobil.

“Langsung buka aja mobilnya,” ucap Lamos dengan tangan yang sudah siap membuka pintu mobil.

Tak disangka, pengemudi serta penumpang dari mobil ketiga keluar. Satu pukulan tepat mengenai sudut bibir Diospiros, pelakunya ialah pengemudi mobil tersebut.

“Wah, berani banget lo.” Diospiros menyentuh sudut bibirnya yang mulai membiru. Tidak sakit, Diospiros tidak merasakan sakit apa pun akibat pukulan tersebut.

Diospiros mengambil suatu barang di saku celananya, rupanya ia mengambil sebuah pisau kecil dan langsung mengarahkan pisau itu tepat di leher seseorang yang sudah memukulnya.

Lelaki yang ia sodorkan pisau dengan cepat menahan tangannya, tetapi kekuatan lelaki itu jauh di bawah dari Diospiros. Diospiros bahkan tak perlu mengeluarkan tenaga lebih untuk menahan cengkraman tangan lelaki itu.

Dor!

Satu tembakan diberikan Petandra pada kaca mobil pertama, peluru dari pistol Petandra mampu menembus kaca mobil yang tebal dan mampu membuat sang pengemudi ikut tertembak.

“Satu,” hitung Langga setelah memastikan orang yang Petandra tembak sudah tewas.

Tangan Diospiros bergerak, pisau yang ia pegang sukses menyayat leher lelaki di hadapannya. “Argh,” gerangan lelaki itu dengan tangan memegang lehernya sendiri menahan sakit.

Diospiros meninggalkan lelaki yang sudah terguling di pasir sembari menikmati rasa sakitnya sebelum menjemput kematian. Ada tangan lainnya yang siap memukulnya dari belakang, tetapi tangan itu kalah cepat dengan tusukan pisau Diospiros pada perutnya.

Diospiros tak langsung mencabut pisau itu, ia putar terlebih dahulu 360°. Ia tersenyum puas saat melihat orang yang ia tusuk tengah meringis serta memohon kepadanya atas rasa sakit yang sedang dirasanya.

Langga mendekat pada orang yang sudah Diospiros sayat lehernya, orang ikut sudah berhenti berteriak menahan sakit. “Dua,” hitung Langga kembali setelah memastikan orang di bawahnya ini sudah kehilangan nyawa.

Dor!

Satu lagi peluru Petandra menembak ke dalam mobil, seseorang yang duduk di kursi penumpang sebelah pengemudi pun kehilangan nyawanya dengan cepat.

“Tiga,” hitung Langga yang memainkan darah dari leher korban Diospiros. Dapat Langga pastikan jika orang yang ditembak Petandra sudah tewas, tak perlu lagi ia ragukan kekuatan peluru dari pistol Petandra.

Tancapan pisau Diospiros pada perut korbannya terlepas saat korbannya jatuh dengan tak sadarkan diri akibat terlalu banyak mengeluarkan darah. Kecil-kecil cabai rawit, walaupun pisau milik Diospiros kecil, tetapi pisau itu mampu membuat dua orang tewas.

Langga berjalan mendekat ke arah korban baru dari Diospiros yang sudah terbaring di pasir. Tangannya menangkup kedua pipi lelaki itu, ia gelengkan kepala lelaki itu ke kanan dan kiri.

Good bye, Bro. Empat,” hitung Langga kembali.

Dua orang lainnya ingin melarikan diri, tetapi terlebih dahulu Arlabi tahan. “Lo berdua bisa pergi dari sini kalau kalian bisa ngalahin gue,” ucap Arlabi dengan menggulung lengan bajunya ke atas.

Arlabi maju semakin dekat dengan kedua orang di hadapannya. Kedua tangannya mengambil satu pergelangan dari masing-masing pria di sana. Ia memutarkan genggaman tangan itu ke arah belakang tubuhnya, membuat kedua orang itu meringis kesakitan.

“Ampun-ampun, argh, ampun.” Dapat dipastikan jika lengan tangan kedua orang itu patah. Kekuatan tangan Arlabi belum ada yang dapat menandingi termasuk teman-temannya sendiri.

Arlabi membanting mereka ke pasir, ia meloncat hingga kakinya menghantam kedua dada mereka. “Kanan atau kiri duluan?” tanya Arlabi pada Langga yang sibuk menatapnya sedari tadi.

“Bareng,” jawab Langga singkat.

Arlabi tersenyum, ia melangkahkan kedua kakinya menuju leher dari masing-masing orang yang berada dibawahnya. Ia cekik leher mereka dengan kakinya, ia tahu titik terlemah pada leher sehingga sangat mudah baginya menewaskan dua orang di bawahnya dengan bersamaan.

“Enam,” hitung Langga, dan ia bangkit setelah melumuri tangannya dengan darah mayat yang sudah bertebaran di pasir. “Kalian diem aja nih?” tanya Langga pada Nilkara dan Lamos.

Lamos mengisyaratkan sesuatu pada Nilkara dan pada hitungan ketiga mereka sama-sama membuka pintu mobil di hadapan mereka. Empat orang di dalam mobil mereka paksa keluar dengan kasar.

Langga melemparkan rantai yang ia bawa sedari tadi pada Lamos. “Sekalian?” tanya Lamos pada Petandra sembari melirik singkat mobil di depan Petandra.

Petandra mengangguk, ia hendak membuka pintu mobil, tetapi Langga menahannya. “Jangan, mereka nanti urusan gue,” ucap Langga yang membuat Petandra menghentikan tangannya untuk membuka pintu mobil.

Nilkara mengarahkan keempat orang tadi membentuk lingkaran, lalu Lamos ikatkan rantai yang ia terima dari Langga kepada mereka. Keempat orang di sana terkunci tak dapat pergi bahkan bergerak.

Lamos melemparkan dua buah pil obat pada Nilkara, mereka sama-sama memegang dua buah pil obat yang akan mereka masukan dengan paksa ke dalam mulut empat orang yang sudah terikat.

Obat itu adalah racun yang sudah mereka racik yang membuat siapa saja yang meminumnya akan kehilangan nyawanya tidak sampai hitungan menit.

Sepuluh detik setelah Nilkara dan Lamos memasukkan obat racun itu, mereka sudah memejamkan matanya lemas. Tiga puluh detik kemudian mulut mereka mulai mengeluarkan busa dan berakhir mereka kehilangan nyawanya.

“Sepuluh,” hitung Langga lagi.

“Kalian semua menjauh dari mobil, sekarang!” Kelima teman Langga berlari menjauh dari mobil sesuai apa yang Langga perintahkan.

Dentuman hebat terdengar, ketiga mobil korban mereka meledak. Rupanya ini alasan Langga menyuruh yang lain untuk menjauh, agar mereka tidak terkena imbas dari ledakan tersebut.

Sejujurnya jika mereka tidak turun langsung membunuh dua belas orang tadi itu tak masalah. Sebab Langga sudah terlebih dahulu memasang peledak di dalam mobil mereka.

Langga pergi meninggalkan teman-temannya ke sisi yang lumayan jauh dari bibir pantai. Ia menemui seseorang dengan jas hitam dan arloji mahal pada pergelangan tangannya.

“Kerja bagus, uangnya sudah saya taruh di bagasi mobil kamu,” ucap seseorang berjas hitam.

Langga mengulurkan tangannya mengajak sang lawan bicara untuk berjabat tangan. Sang lawan bicara dengan ragu menerima jabatan tangan Langga yang penuh akan darah.

“Senang bekerja sama dengan anda. Tugas saya dan yang lain hanya menghilangkan nyawa mereka. Kekotoran yang sudah dihasilkan silahkan anda yang membereskan.” Usai Langga berucap itu, ia meninggalkan lawan bicaranya.

Langga mengangkat tangan kanannya dan membuka kedua jarinya memberi isyarat kepada yang lain. “Balik rumah,” ucapnya lalu masuk ke dalam mobilnya.

Langga melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Jika ia kalah cepat, maka ia bisa saja habis oleh tiga mobil yang sedang mengejarnya.

Ketiga mobil tersebut tertipu oleh Langga, Langga justru mengarahkan mereka ke sebuah pantai yang sangat jauh dari pemukiman warga dan akan membawa mereka pada teman-temannya yang lain.

Langga tersenyum miring saat melihat empat mobil hitam berjajar rapi persis di tepi pantai. Sebuah klakson singkat diberikan Langga, memberi kode pada pengemudi empat mobil di depannya untuk keluar.

Mobil Langga berhenti tepat setelah seluruh temannya keluar dari mobil. Membuat tiga mobil dibelakangnya ikut berhenti.

Tampak Diospiros lebih dahulu berjalan mendekat ke arah mobil Langga. Ia mengetuk kaca mobil Langga dan meminta Langga segera keluar.

Langga keluar dari mobilnya sembari menenteng sebuah rantai yang cukup panjang. Matanya menatap seluruh temannya dan langsung memberi tanda ke arah mobil-mobil di belakangnya.

Petandra berjalan memimpin di depan untuk menghampiri tiga mobil yang menjadi sasarannya.

Langga dan Petandra menghampiri mobil pertama, Nilkara dan Lamos menghampiri mobil kedua, lalu Arlabi dan Diospiros menghampiri mobil ketiga. Sukses sudah mereka mengepung tiga mobil di sana.

Tampak empat orang pada masing-masing mobil mulai ketakutan. Petandra, Lamos, dan Arlabi bersama-sama memukul kaca mobil pengemudi dengan kencang, bahkan berhasil membuat retak kaca mobil itu.

“Keluar!” teriak Nilkara menginstruksi orang-orang yang berada di dalam mobil untuk segera keluar.

“Dua belas lawan enam masih takut kalian?! KELUAR!” Nilkara kembali berteriak sebab tak ada satu orang pun yang keluar dari mobil.

“Langsung buka aja mobilnya,” ucap Lamos dengan tangan yang sudah siap membuka pintu mobil.

Tak disangka, pengemudi serta penumpang dari mobil ketiga keluar. Satu pukulan tepat mengenai sudut bibir Diospiros, pelakunya ialah pengemudi mobil tersebut.

“Wah, berani banget lo.” Diospiros menyentuh sudut bibirnya yang mulai membiru. Tidak sakit, Diospiros tidak merasakan sakit apa pun akibat pukulan tersebut.

Diospiros mengambil suatu barang di saku celananya, rupanya ia mengambil sebuah pisau kecil dan langsung mengarahkan pisau itu tepat di leher seseorang yang sudah memukulnya.

Lelaki yang ia sodorkan pisau dengan cepat menahan tangannya, tetapi kekuatan lelaki itu jauh di bawah dari Diospiros. Diospiros bahkan tak perlu mengeluarkan tenaga lebih untuk menahan cengkraman tangan lelaki itu.

Dor!

Satu tembakan diberikan Petandra pada kaca mobil pertama, peluru dari pistol Petandra mampu menembus kaca mobil yang tebal dan mampu membuat sang pengemudi ikut tertembak.

“Satu,” hitung Langga setelah memastikan orang yang Petandra tembak sudah tewas.

Tangan Diospiros bergerak, pisau yang ia pegang sukses menyayat leher lelaki di hadapannya. “Argh,” gerangan lelaki itu dengan tangan memegang lehernya sendiri menahan sakit.

Diospiros meninggalkan lelaki yang sudah terguling di pasir sembari menikmati rasa sakitnya sebelum menjemput kematian. Ada tangan lainnya yang siap memukulnya dari belakang, tetapi tangan ikut kalah cepat dengan tusukan pisau Diospiros pada perutnya.

Diospiros tak langsung mencabut pisau itu, ia putar terlebih dahulu 360°. Ia tersenyum puas saat melihat orang yang ia tusuk tengah meringis serta memohon kepadanya atas rasa sakit yang sedang dirasanya.

Langga mendekat pada orang yang sudah Diospiros sayat lehernya, orang ikut sudah berhenti berteriak menahan sakit. “Dua,” hitung Langga kembali setelah memastikan orang di bawahnya ini sudah kehilangan nyawa.

Dor!

Satu lagi peluru Petandra menembak ke dalam mobil, seseorang yang duduk di kursi penumpang sebelah pengemudi pun kehilangan nyawanya dengan cepat.

“Tiga,” hitung Langga yang memainkan darah dari leher korban Diospiros. Dapat Langga pastikan jika orang yang ditembak Petandra sudah tewas, tak perlu lagi ia ragukan kekuatan peluru dari pistol Petandra.

Tancapan pisau Diospiros pada perut korbannya terlepas saat korbannya jatuh dengan tak sadarkan diri akibat terlalu banyak mengeluarkan darah. Kecil-kecil cabai rawit, walaupun pisau milik Diospiros kecil, tetapi pisau itu mampu membuat dua orang tewas.

Langga berjalan mendekat ke arah korban baru dari Diospiros yang sudah terbaring di pasir. Tangannya menangkup kedua pipi lelaki itu, ia gelengkan kepala lelaki itu ke kanan dan kiri.

Good bye, Bro. Empat,” hitung Langga kembali.

Dua orang lainnya ingin melarikan diri, tetapi terlebih dahulu Arlabi tahan. “Lo berdua bisa pergi dari sini kalau kalian bisa ngalahin gue,” ucap Arlabi dengan menggulung lengan bajunya ke atas.

Arlabi maju semakin dekat dengan kedua orang di hadapannya. Kedua tangannya mengambil satu pergelangan dari masing-masing pria di sana. Ia memutarkan genggaman tangan itu ke arah belakang tubuhnya, membuat kedua orang itu meringis kesakitan.

“Ampun-ampun, argh, ampun.” Dapat dipastikan jika lengan tangan kedua orang itu patah. Kekuatan tangan Arlabi belum ada yang dapat menandingi termasuk teman-temannya sendiri.

Arlabi membanting mereka ke pasir, ia meloncat hingga kakinya menghantam kedua dada mereka. “Kanan atau kiri duluan?” tanya Arlabi pada Langga yang sibuk menatapnya sedari tadi.

“Bareng,” jawab Langga singkat.

Arlabi tersenyum, ia melangkahkan kedua kakinya menuju leher dari masing-masing orang yang berada dibawahnya. Ia cekik leher mereka dengan kakinya, ia tahu titik terlemah pada leher sehingga sangat mudah baginya menewaskan dua orang di bawahnya dengan bersamaan.

“Enam,” hitung Langga, dan ia bangkit setelah melumuri tangannya dengan darah mayat yang sudah bertebaran di pasir. “Kalian diem aja nih?” tanya Langga pada Nilkara dan Lamos.

Lamos mengisyaratkan sesuatu pada Nilkara dan pada hitungan ketiga mereka sama-sama membuka pintu mobil di hadapan mereka. Empat orang di dalam mobil mereka paksa keluar dengan kasar.

Langga melemparkan rantai yang ia bawa sedari tadi pada Lamos. “Sekalian?” tanya Lamos pada Petandra sembari melirik singkat mobil di depan Petandra.

Petandra mengangguk, ia hendak membuka pintu mobil, tetapi Langga menahannya. “Jangan, mereka nanti urusan gue,” ucap Langga yang membuat Petandra menghentikan tangannya untuk membuka pintu mobil.

Nilkara mengarahkan keempat orang tadi membentuk lingkaran, lalu Lamos ikatkan rantai yang ia terima dari Langga kepada mereka. Keempat orang di sana terkunci tak dapat pergi bahkan bergerak.

Lamos melemparkan dua buah pil obat pada Nilkara, mereka sama-sama memegang dua buah pil obat yang akan mereka masukan dengan paksa ke dalam mulut empat orang yang sudah terikat.

Obat itu adalah racun yang sudah mereka racik yang membuat siapa saja yang meminumnya akan kehilangan nyawanya tidak sampai hitungan menit.

Sepuluh detik setelah Nilkara dan Lamos memasukkan obat racun itu, mereka sudah memejamkan matanya lemas. Tiga puluh detik kemudian mulut mereka mulai mengeluarkan busa dan berakhir mereka kehilangan nyawanya.

“Sepuluh,” hitung Langga lagi.

“Kalian semua menjauh dari mobil, sekarang!” Kelima teman Langga berlari menjauh dari mobil sesuai apa yang Langga perintahkan.

Dentuman hebat terdengar, ketiga mobil korban mereka meledak. Rupanya ini alasan Langga menyuruh yang lain untuk menjauh, agar mereka tidak terkena imbas dari ledakan tersebut.

Sejujurnya jika mereka tidak turun langsung membunuh dua belas orang tadi itu tak masalah. Sebab Langga sudah terlebih dahulu memasang peledak di dalam mobil mereka.

Langga pergi meninggalkan teman-temannya ke sisi yang lumayan jauh dari bibir pantai. Ia menemui seseorang dengan jas hitam dengan arloji mahal pada pergelangan tangannya.

“Kerja bagus, uangnya sudah saya taruh di bagasi mobil kamu,” ucap seseorang berjas hitam.

Langga mengulurkan tangannya mengajak sang lawan bicara untuk berjabat tangan. Sang lawan bicara dengan ragu menerima jabatan tangan Langga yang penuh akan darah.

“Senang bekerja sama dengan anda. Tugas saya dan yang lain hanya menghilangkan nyawa mereka. Kekotoran yang sudah dihasilkan silahkan anda yang membereskan.” Usai Langga berucap itu, ia meninggalkan lawan bicaranya.

Langga mengangkat tangan kanannya dan membuka kedua jarinya memberi isyarat kepada yang lain. “Balik rumah,” ucapnya lalu masuk ke dalam mobilnya.