Safira menaiki tangga gedung fakultasnya dengan semangat. Kakinya menggebu-gebu menjajah satu per satu anak tangga. Giuran sebungkus cat food untuk kucingnya terngiang-ngiang. Bukan giuran lagi, melainkan sudah menjadi janji seseorang.
Gadis berambut panjang itu membuka pintu aula dengan sedikit kasar. Tiga orang lelaki di dalam terlihat terkejut dibuatnya. Heka menggeleng pelan melihat tingkah temannya itu.
“Hehe, sorry.” Safira tak enak hati melihat dua kawan Heka. Gadis itu berjalan kecil seraya menundukkan kepala mendekat ke Heka. Lelaki itu tertawa kecil, mendongak ke atas memandang wajah merah Safira.
“Jangan ketawa,” ucap pelan Safira lalu tangannya mencubit kecil pundak Heka.
Heka bangkit dari duduknya, ia menjabat tangan dua temannya. Meminta maaf karena harus pulang lebih dulu dari mereka karena sebuah alasan. Kedua temannya berkata tak apa, tapi setelahnya mereka meledek Heka, “Apa, sih, yang enggak buat orang kasmaran.”
“Ngawur lo kalo ngomong, gue duluan.” Heka menggandeng Safira yang masih setia menunduk. Suara siulan dari dua temannya terus terdengar hingga pintu aula ditutup kembali oleh Heka.
Safira menoleh sekilas tangannya yang sudah digenggam Heka, lalu mengangkat kepalanya. Heka merapikan beberapa helai rambut yang menutupi sebagian wajah Safira.
“Serius nggak mau pake hoodie gue?” Safira menggeleng. Walau baju yang ia kenakan berlengan pendek, tetapi bahannya cukup tebal. Terlebih dia mengenakan celana panjang, jadi ia yakin tak memerlukan hoodie Heka.
“Ya udah, nih, pake helmnya.” Heka memberikan sebuah helm dari jok motornya, helm yang sengaja ia bawa untuk Safira.
“Kenapa diem doang?” tanyanya yang sedari tadi memperhatikan Safira. Mulai dari Safira membuka pintu, hingga sekarang sudah di motor dengannya.
Wanita yang sekarang duduk di belakangnya dasarnya memiliki sifat periang dan berisik. Aneh rasanya jika dia diam seperti ini.
Heka menghentikan laju motornya kala lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Safira masih diam tanpa suara. Rasa penasarannya kian besar, ia mengambil tangan Safira di belakang.
Jemari kecil itu terasa amat dingin, genggamannya naik ke tangan Safira, terasa dingin pula. “Kan, apa gue bilang. Tadi harusnya lo pake hoodie gue.”
“Gue nggak tau kalo bakal sedingin ini ...,” cicit Safira dengan suara sedikit bergetar. Heka langsung melajukan kembali motornya saat lampu berwarna hijau. Tak jauh dari sana, ia menepikan motornya.
“Turun dulu,” pintanya pada Safira. Heka segera melepas hoodie putih miliknya dan memberikannya pada Safira. “Pake, biar nggak kedinginan lagi.”
Gadis itu mengangguk, ia mengenakan hoodie Heka yang sedikit kebesaran untuknya. Heka mengambil kedua tangannya, menggosokkannya dengan kedua tangan miliknya. Tangan Safira yang semulanya dingin, kini mulai menghangat.
“Haha, lebih bagus lo yang pake.” Heka menaruh tangannya di kepala Safira, mengacak surai halusnya. Lalu ia mengenakan helm ke Safira kembali. Melanjutkan perjalanannya tuk menepati janjinya.
Ia sudah tak lagi kedinginan, tapi tangannya masih senantiasa dingin. Detak jantungnya juga berdetak kencang, tak bisa dikendalikan. Safira dapat dengan jelas menghirup aroma vanila ciri khas Heka yang melekat di hoodie yang ia kenakan sekarang.
“Biasanya beli di sini, kan?” Heka berhenti di depan pet shop yang biasanya Safira datangi.
“Fir?” Safira menoleh, kembali dari lamunannya. “Hah? Oh, iya, di sini, kok.” Ia beranjak turun dari motor, melepas helmnya dengan kikuk.
“Lo kenapa, sih?” Safira menggeleng cepat. “Gapapa, gue gapapa, udah, ayo masuk.”
Safira memimpin di depan, ia masuk ke dalam lebih dulu. Langsung berjalan menuju lorong dengan berjejer rak berisi macam-macam makanan kucing.
Heka diam-diam tersenyum dari belakang, lelaki itu memandang gemas gadis di depannya sekarang. Tangan gadis itu hampir tertutup seluruh hoodie milihnya, membuat gadis itu tambah mungil.
Lelaki itu memandangi Safira yang berhenti di depan sebuah rak sembari menatap satu per satu isi rak tersebut. Safira mendongak ke atas, menggerutu dalam hati karena makanan kucingnya ditaruh di atas.
Kakinya berjinjit dengan tangan yang berusaha meraih bungkus warna kuning di atas. Sesekali ia berlompat kecil karena gagal meraihnya.
“Dasar pendek.” Heka mengambilkannya dari belakang. Ia menoleh ke bawah beradu tatap dengan Safira yang kini mendongak kepadanya.
“Ini, kan?” Safira mengangguk. “Ada yang perlu lagi nggak? Biar sekalian.”
Safira kembali berjalan, menyusuri toko yang berukuran tak begitu besar. Dengan Heka yang setia mengekori Safira dari belakang.
Tiba-tiba Safira membalikkan tubuhnya, menubruk dada Heka yang masih berjalan karena tak tahu jika Safira berhenti. Gadis itu mengusap-usap keningnya dengan tangan yang tertutup hoodie.
“Duh, sorry, sorry.” Heka mendekat, ia membuka kedua tangan Safira yang menutupi wajahnya. Tangannya menangkup pipi Safira yang menggembung. “Nggak kenapa-kenapa, kan?”
Safira menggeleng lantas menjawab, “Gapapa, nggak sakit juga. Gue nggak perlu apa-apa lagi, ayo pulang aja.”
Perutnya semakin menggelitik, Safira ingin teriak sekencang-kencangnya. Ia mencoba santai agar gelagatnya tak terbaca Heka. Anjing, gue nggak kuat sumpah. Heka lo ganteng banget.
Heka mengangguk-angguk lalu menggandeng Safira ke kasir. Berjalan bersama agar tak mengulangi kejadian yang sama.
Usai membayar, Heka membuka pintu toko tuk mempersilahkan Safira keluar lebih dulu. Senja yang menemani mereka tadi sudah pulang, berganti gelapnya langit yang ditaburi bintang.
“Temenin gue beli roti bakar dulu, ya,” ucap Heka sebelum menghidupkan mesin motornya.
Safira dengan senang hati menuruti, lagipula ia sudah dibelikan sebungkus cat food. Jadi menurutnya, ini adalah timbal balik untuk Heka.
“Mang, biasa, ya, dua,” teriak Heka dari atas motor, tampak sudah akrab dengan penjualnya.
“Lo udah langganan di sini, ya?” tanya Safira penasaran.
“Iya, gue sering banget beli di sini. Sampe Mamangnya juga udah hafal.” Safira mengangguk paham.
“Buntel lagi apa, Fir?” Pertanyaan yang terlontar dari Heka langsung dibalas dengan sewot, “Namanya Cherlly, bukan buntel!”
“Iya, iya, maksud gue Cherlly.”
“Mana gue tau, kan gue lagi sama lo sekarang. Gue bukan dukun.” Safira memutar bola matanya. Pertanyaan tak bermutu.
Lima belas menit berlalu, seorang lelaki penjual roti bakar pun mendekati keduanya. Ia memberikan dua kantung plastik ke Heka.
“Nih, Mang, kembaliannya ambil aja. Makasih, ya, Mang.” Heka ingin mengobrol sebenarnya dengan Mamang roti bakar itu, tapi ia ingat jika membawa Safira.
“Udah?” tanya Safira yang dibalas anggukan oleh Heka. “Udah, sekarang pulang, ya?”
“Iya, gue udah agak ngantuk.” Ia menutup mulutnya yang terbuka lebar kala menguap.
“Tidur aja, sini pegangan.” Heka menarik kedua tangan Safira dan ia kaitkan di perutnya. Kepala Safira bersandar di punggung lebar Heka. Menikmati sepoi angin selama perjalanan.
Hingga kantuknya semakin menjadi, lalu tanpa ia sadari, ia mulai tertidur. Heka sesekali mengusap tangan yang memeluknya erat, menurunkan laju motornya agar tak terlalu kencang.
Mereka sampai di depan rumah Safira, Heka memandang wajah tenang Safira dari kaca spionnya. Tak tega tuk membangungkannya. Terpaksa ia menepuk-nepuk tangan Safira, membangunkan gadis itu perlahan.
“Bangun, udah sampe.” Safira membuka matanya, menatap kosong rumah di hadapannya. “Kumpulin nyawanya dulu baru turun,” pinta Heka yang tak dibalas.
Gadis itu mengedipkan matanya berulang kali, tangannya masih melingkari perut Heka. Rasanya nyaman, punggung lebar nan kokoh milih Heka pun ia sukai.
Safira turun dari motor, ia mengembalikan helm Heka. Tangannya hendak membuka hoodie yang ia kenakan. “Nggak usah, buat lo aja.” Heka menahannya.
“Terus lo gimana?” Safira menurunkan tangannya.
“Hoodie gue banyak,” jawabnya dengan sombong.
“Nih, buat Bunda.” Heka memberikan sebungkus roti bakar yang tadi ia beli bersama Safira.
“Nggak usah, ih. Tadi 'kan lo dah beliin gue ini, nggak enak gue.” Safira mengangkat kantong plastik di tangannya.
“Buruan ambil, ini bukan buat lo, tapi buat Bunda.” Buat Bunda, Safira mengambilnya. Kebanyakan nggak enaknya gue kalo sama Heka.
“Gue pulang dulu, besok pagi gue jemput, ya, berangkat bareng.” Heka menepuk-nepuk pucuk rambut Safira pelan. Mengambil topi sambung hoodie-nya dan ia kenakan di Safira. Kepalanya tenggelam, sungguh gemas.