Terungkap

Rakha melajukan mobilnya secepat mungkin menuju tempat yang biasanya menjadi tempatnya berkumpul dengan teman-temannya. Warung kopi milik Mang Asep, sederhana tapi banyak sekali waktu yang sudah dihabiskan di sana.

Sesampainya ia di sana, sudah ada Bobby dan Jaka yang sampai bersamaan dengannya. Tanpa ada pembicaraan lebih, Rakha meminta mereka untuk memasuki mobilnya.

Ia mengambil kedua ponsel milik dua temannya untuk berjaga-jaga agar tak ada yang memberi kabar pada siapa pun. Setelah ia mendapat surat terakhir dari Darren, ia sangat was-was dengan kedua temannya. Ia amat takut jika salah satu dari temannya memberi kabar ke orang lain untuk memindahkan Darren ke tempat lain.

“Kita mau kemana?” tanya Jaka yang tak mengerti dengan Rakha.

“Diem aja, cukup ikut sama gue.” Rakha diam seribu bahasa, ia hanya fokus mengendarai mobilnya.

Mobil berwarna merah itu terparkir sembarang di depan rumah mewah yang terlihat sepi. Di depan rumah tersebut ada dua orang penjaga, sepertinya itu ialah suruhan orang yang telah menculik Darren.

Tentu saja hal ini membuat Bobby dan Jaka terheran. Mereka yang tak tahu apa-apa hanya bisa diam saling menatap satu sama lain. “Gue yakin salah satu dari kalian tau tempat ini,” ucap Rakha menoleh ke kursi belakangnya.

“Ngomong apa sih lo? Lo jebak kita?” tuduh Bobby begitu saja. Sungguh, perilaku Rakha saat ini justru membuatnya curiga.

“Kita masuk, lawan dua orang itu.” Rakha menunjuk dua orang berbadan kekar yang berada tak jauh dari mereka.

Jaka mengangguk mantap, sementara Bobby mengangguk dengan ragu dan terpaksa. Dalam hitungan ketiga, mereka serempak keluar dari mobil. Sontak membuat dua orang penjaga tadi memasang badan bersiap diri.

“Siapa kalian?!” teriak salah satu dari penjaga di sana.

“Kasih tau dimana Darren!” teriak balik Rakha tak kalah keras suaranya.

“Kalian nggak akan bisa nemuin dia.” Penjaga itu dengan lantang dan amat sangat yakin mengatakan hal itu.

Bug!

Kepalan tangan Rakha semakin kuat, ia tak kuasa menahan emosinya lagi. Satu pukulan melayang kuat di sudut bibir seseorang di depannya saat ini.

Tak membiarkan Rakha dalam kemenangan kecilnya, kedua penjaga itu membalaskan serangan Rakha. Berakhir dengan perkelahian dua lawan tiga orang.

Bobby cukup kewalahan menghadapi dua orang ini, rasanya kekuatannya sangat jauh dengan yang lain. Terlebih, Bobby memang tidak ada bakat berkelahi seperti Rakha dan Jaka. Ia terjatuh mendapat tendangan keras di perutnya. Sudah ada tangan besar pula yang siap memukulnya kala ia tersungkur di lantai.

Beruntungnya, Jaka dengan sigap menepis tangan itu. Ia membentengi Bobby agar terhindar dari pukulan itu. Walaupun belum ada yang bisa dipercaya, tapi Bobby masih temannya, ia tak mungkin tega menyaksikan Bobby yang tersungkur tak berdaya.

Memakan waktu cukup lama, tapi akhirnya mereka bisa mengalahkan kedua penjaga itu. Kini kondisi kedua penjaga itu telah terkulai tak berdaya di lantai, mungkin sebentar lagi akan kehilangan kesadarannya.

Sebelum mereka memanggil temannya yang lain, Rakha memberi kode ke dua temannya untuk masuk saja meninggalkan penjaga lemah ini. Mulut ketiganya terbuka lebar kala melihat isi dari rumah yang amat mewah itu, begitu sangat luas bak istana.

“Gimana kalau kita mencar? Gue ke sana, lo ke sana Rak, nah lo ke sana Jak.” Bobby menunjuk satu per satu arah dari isi rumah itu.

“Nggak. Kalau kita mencar, bisa aja ada yang bawa kabur Darren.” Rakha menolak keras, ia tak lupa dengan tujuan awal ke tempat ini.

“Terus kita kemana sekarang?”

Rakha berjalan terlebih dahulu menuju sebuah ruangan di bawah tangga, yang tampak begitu mencurigakan. Kosong, tak ada siapa pun di dalam sana. Mereka beralih kembali ke ruangan lain. Tetap kosong, tidak ada Darren di semua ruangan di lantai bawah.

“Tolong!” Ketiganya sontak menoleh ke arah suara yang tak asing bagi mereka. Suara itu berasal dari atas, mereka segera menuju tangga untuk naik ke atas.

Namun, di tengah langkah mereka naik, dentuman hebat terdengar. Pandangan mereka kembali teralihkan pada pintu yang tertutup dengan sangat keras. Setelah itu, kaki jenjang muncul, berjalan dari arah dapur.

Ketiganya justru bingung dengan sosok yang mereka lihat. Itu adalah Darren, tapi Darren dalam keadaan baik-baik saja bahkan ia sekarang sedang tertawa terbahak-bahak. Atmosfer ruangan menjadi panas, tawanya sama sekali tidak menggambarkan sebuah tawa menyenangkan. Melainkan itu adalah tawa menyeramkan yang mengintimidasi mereka.

“Lo ...,” ucap Bobby sembari menunjuk Darren yang mulai berjalan mendekat pada mereka.

“Hahaha! Bodoh kalian, mau aja masuk ke perangkap gue.” Apa maksudnya ini? Jadi ini adalah jebakan semata? Ketiganya masih bergeming, mencerna apa yang dikatakan oleh Darren.

“Pertama, gue belum mati. Gue nggak diculik, cause ini permainan gue buat kalian. Nah ini yang bodoh banget, kenapa lo percaya gue bisa kirim lo surat?” Darren menatap lekat Rakha, tak menyangka temannya satu ini begitu bodoh.

“Surat pertama, gue jelas bilang kalo mata gue ditutup. Logikanya, gimana bisa gue nulis surat itu? Gimana cara gue juga buat kirim surat itu kalo gue beneran lagi diculik?” Bodoh, Rakha bodoh. Ia merutuki kebodohannya. Bagaimana hal sekecil itu tidak ia perhatikan.

“Seru banget lihat kalian saling tuduh di gc,” pungkas Darren.

Ia menaiki satu anak tangga lagi, lebih dekat dengan ketiga temannya. Tangannya menepuk pundak Jaka dan Bobby bersamaan.

“Ayo ikut gue main.”