Saksi Mata

Netra milik Lamos memandang malas seorang wanita yang sepantaran dengan ibunya. Wanita itu hanya duduk bersantai di lantai dan menatap lekat Lamos.

“Apa lihat-lihat?” tanya Lamos sembari memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku.

Wanita itu justru tersenyum, perlahan ia bangkit dari duduknya. Dengan langkah kecil, ia mendekat ke arah Lamos. Tanpa ada rasa takut sama sekali, wanita itu justru dengan berani menggenggam tangan Lamos yang masih menyisakan beberapa jejak darah.

Dari lubuk hati terdalam Lamos ingin sekali menepis dengan kasar, tetapi entah mengapa rasanya sangat berat untuk hanya sekedar menggerakkan tangannya sedikit.

Usapan tangan itu semakin lembut, wanita itu mengambil sisi dari baju yang ia kenakan untuk mengusap telapak tangan Lamos. “Nak, kalau anak Ibu masih hidup, kemungkinan dia sekarang sudah sebesar kamu,” ujar wanita itu yang bergantian mengusap ujung bibir Lamos.

Ujung bibir yang sudah membiru akibat bentuk perlawanan dari lawan sebelumnya. “Sakit, 'kan? Ayo sini Ibu obatin.” Tangan wanita itu menarik tangan Lamos agar mengikutinya.

Lamos bergeming, ia enggan mengikuti satu langkah pun. Tak lama terdengar suara yang menyerukan nama Lamos, membuatnya mempunyai alasan tidak mengikuti wanita di sampingnya.

“Ikut kita,” ucap Langga yang baru saja sampai di hadapan mereka. Ia berharap wanita di depannya ini tidak perlu dipaksa untuk mengikutinya.

Benar adanya, wanita itu justru dengan senang hati mengikuti langkah Langga dan Lamos. Entah apa yang terjadi dengan pikiran wanita itu sehingga ia dengan sangat berani mengikuti manusia yang sudah dengan sadis membunuh orang lain di depan matanya.

“Kunci mobil lo mana? Mobil gue dibawa Tandra balik, biar gue yang bawa mobil lo.” Lamos merogoh saku celananya dan memberikan satu buah benda kecil yang diminta Langga.

“Kita mau kemana, Nak?” tanya wanita itu yang sudah terduduk di bangku belakang Langga dan Lamos.

“Diem aja, atau saya bunuh anda sekarang juga.” Langga menjawab dengan tegas, ia mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Sudah tak heran lagi Langga membawa mobil seperti ini, itu alasan mengapa teman-temannya tidak akan pergi bersama Langga jika tidak dalam kondisi genting.

“Aduh, pelan-pelan, Nak, Ibu jadi mual.” Wanita itu menepuk pundak Langga dengan satu tangannya menutup mulut menahan gejolak pada perutnya.

“Nggak usah ngatur.”

Huek

Hampir saja isi perut wanita itu keluar, dirinya sungguh mual akibat laju kendaraan Langga.

“Jangan muntah!” pinta Langga.

“Makanya pelan-pelan, kalau kamu nggak mau pelan, Ibu muntah aja sekarang.” Wanita itu mengancam Langga, Langga mau tak mau harus menurunkan kecepatan mobilnya. Ia tak ingin lebih kesulitan ketika wanita di belakangnya ini sampai muntah.

Karena kecepatan laju yang tidak cepat, mereka menghabiskan tiga puluh menit untuk sampai di rumah. Selama perjalanan, hanya wanita itu yang menjadi iringan. Seperti memiliki banyak topik, wanita itu tidak berhenti bicara sedikitpun, bahkan walau tidak digubris oleh Langga dan Lamos.

Langga memberi tahu letak kamar wanita itu, sesuai rencananya, ia akan menjadikan wanita itu sebagai asisten rumah tangga di sini. Ia sudah menyiapkan kamar yang sebetulnya terlalu bagus untuk seorang asisten rumah tangga, tapi hanya kamar itu yang paling kurang bagus di rumah ini.

Langga berikan sebuah ponsel pada wanita itu agar lebih mudah memanggilnya jika memerlukan sesuatu. Rencananya ia akan membuat wanita itu lelah karena mengurus rumah yang sangat besar, terlebih isinya adalah anggota The M.

Masih terheran, mengapa wanita itu dengan senang hati menerima apa yang diperintahkan Langga, tapi Langga tak mengambil pusing, mungkin saja wanita itu takut dibunuh olehnya.