Hal yang Tidak Dapat Diperbaiki
Sepasang mata menatap anak semata wayangnya yang masih tertidur di balik selimut. Ada rasa sesak di dada ketika melihat wajah damai anak gadis berumur tiga belas tahun di sana.
“Maafin, Ayah.” Damar mengusap surai lembut milik anaknya. Ada rasa sesal dalam hatinya. Menyesali keadaan yang ada, yang membuat anaknya harus merasakan sebuah kehancuran di usia belia.
Gadis itu melenguh mendengar suara yang tak asing di telinganya. “Ayah?” ucap gadis itu begitu membuka matanya.
“Caca, maafin Ayah, ya? Maaf kalo kamu harus memilih antara Ayah dan bunda.” Baik, Caca paham ke mana arah pembicaraan ayahnya.
Caca bangun dari tidurnya, kepalanya tertunduk tak berani menatap mata ayahnya. “Ayah, apa nggak bisa kita kayak dulu aja?” tanya Caca dengan sedikit rasa ragu.
Damar menghela napasnya, ia paham jika Caca akan terus mencoba agar kedua orang tuanya kembali seperti dulu. Namun, hal ini sudah tidak bisa ia perbaiki, semuanya sudah terlanjur hancur berkeping-keping.
“Katanya, orang tua bakal bertahan demi anaknya, tapi kenapa Ayah sama bunda enggak?” Damar terkejut, bagaimana bisa Caca yang masih berumur segitu mengerti akan pembahasan seperti ini.
“Caca tega bikin Ayah atau bunda terus sakit kalau kita bareng terus?” Damar mencoba menjawab pertanyaan yang akan mudah dicerna oleh Caca.
“Tapi Ayah tega buat Caca sakit dengan cara kalian pisah.” Telak, Damar bungkam. Tak pernah ia banyangkan jika menjadi Caca akan begitu berat. Ia tak sadar jika keputusannya akan menghancurkan hati mungil anaknya.
Isak tangis terdengar, Caca mulai menangis tersedu-sedu. “Gimana nanti waktu temen-temen Caca minta Caca buat ceritain tentang orang tua Caca?”
“Ayah semalem bilang, kan? Kalau kita masih sama, Caca masih punya Ayah, masih punya bunda, masih punya kita.” Jemari Damar mengusap air mata yang membasahi paras cantik anaknya.
“But, I don't have many memories when you are together.” Damar meremat jemarinya sendiri, sesal kembali menyelimuti hatinya.
“Ayah janji, setelah ini kita bakal buat kenangan indah sama kamu. Ayah janji kita bertiga tetep bakal sering main bareng.” Caca menggeleng, kepalanya terangkat menatap netra sang ayah. “Bahkan dulu Ayah janji buat kita selalu bersama bertiga, tapi nyatanya enggak.”
Caca mengatur napasnya, mencoba mendewasakan dirinya agar tak bersikap kekanak-kanakan. Ia harus mengerti bagaimana keputusan yang sudah dipilih oleh ayah dan bundanya.
“Tapi Caca juga nggak bisa apa-apa, jadi terserah kalian aja, lagi pula Caca udah nggak berharap lebih.” Caca mengusap air mata yang tersisa di wajahnya dengan kasar. Ia beranjak dari ranjangnya, meninggalkan ayahnya seorang diri di kamarnya.
Damar menangis dalam sendirinya, ia dihadapkan dengan dua pilihan yang rumit. Haruskah ia melanjutkan proses perceraian dengan istrinya, atau bertahan demi sang anak.
Namun, setelah dipikirkan berulang kali, ia tetap memilih untuk melanjutkan perceraiannya dengan istrinya. Ia sadar keputusan ini akan sangat menambah rasa sakit pada anaknya, tapi ia tidak ingin adanya sebuah kebohongan dalam keluarga kecilnya.
Caca, Ayah adalah bad husband, but I will keep trying to be a best father for you, bantu Ayah.