222. Datang

Dengan langkah cepat, Hardy buru-buru masuk ke rumah sakit dan mencari ruang operasi. Setelah ia menemukan ruangan itu ia sudah melihat kedua anaknya dengan keadaan yang sangat kacau.

Langkahnya pun mendekati mereka, Malvin yang sadar akan kedatangan ayahnya pun langsung berdiri dari tempat duduknya. Dengan tatapan tajam dan tangan yang mengepal keras ia menghampiri Hardy.

“Mau ngapain kesini?” tanya Malvin ketus.

“Jelasin ke papa Lisha kenapa?”

“Percuma aku jelasin, papa juga ga akan peduli kan?”

Melihat suasana yang mulai mencekam, akhirnya Devan mulai mendatangi Malvin dan Hardy.

“Vin, om, saya tau kalian ada masalah, tapi tolong jangan dibahas sekarang. Sekarang waktunya kita fokus sama keadaan Lisha, kalian harus saling nguatin satu sama lain.” ucap Devan.

Malvin akhirnya kembali duduk di samping Rey, dan Hardy setia berdiri di depan ruangan operasi. Hatinya tak tenang, ditambah anak yang tak pernah ia anggap itu harus merasakan penyakit yang turun darinya.

Tak lama dari kedatangan Hardy, Via pun ikut datang. Terlihat dari raut wajahnya yang sangat khawatir dan masih meninggalkan jejak air mata di matanya.

Begitu Via datang, ia langsung menghampiri Rey dan langsung memeluknya. “Rey, kenapa bisa gini nak?”

“T–tadi Lisha jatuh ma, aku ga becus jaga dia.”

“Stt jangan bilang gitu, ini bukan salah kamu, udah ya jangan nangis lagi, Lisha pasi bakal baik-baik aja. Kamu percaya kan kalau adik kamu itu kuat?” Rey membalas dengan anggukan dan ikut membalas dekapan mamanya.

Satu per satu berpamitan untuk pulang terlebih dahulu, dan hanya menyisahkan Hardy, Via, Malvin, Lyan, Rey, dan Candra.

Kini sudah empat jam proses operasi namun tak ada kabar apapun yang dokter sampaikan. Semua yang di sana terus merapalkan doa agar operasi berjalan dengan lancar.

Hingga seorang dokter dengan pakaian medisnya keluar dari ruangan operasi. Belum sempat dr. Adit bicara, Hardy langsung memotongnya.

“Dok, gimana putri saya?” ucapnya.

Putri saya? Andai Lisha mendengar ucapan Hardy sekarang, pasti ia akan sangat bahagia.

“Operasi berjalan dengan lancar, sel tumor pada otaknya berhasil kami angkat.”

Terlihat dari mata mereka semua jika mereka sangat bersyukur saat mendengar ucapan dr. Adit.

“Tapi, karena sedikit terlambat untuk pasien dibawa kesini, kondisi Lisha sudah sangat turun. Dan sekarang kami nyatakan jika Lisha mengalami koma, dan kami tidak bisa menyimpulkan kapan Lisha akan bangun dari komanya.”

“Setelah ini Lisha akan dipindahkan ke ruang rawat inapnya, dan kami akan terus memantau perkembangannya. Dimohon keluarga untuk terus memberikan dukungan buat Lisha, dan terus berdoa agar Lisha segera sadar. Saya permisi,” ucap dr. Adit yang setelah itu masuk kembali ke dalam.

“Can, tadi dokternya lagi ngelawak ya?” racau Rey.

“Engga Rey,”

“Ga mungkin lah Lisha koma.” Tak ada lagi yang bisa Candra katakan pada Rey, sebab sekuat tenaga ia menyadarkan Rey, Rey selalu saja akan menolak fakta itu.

“Kenapa kamu ga bilang dari awal Malvin?” kini Hardy bertanya pada Malvin.

“Lisha nutupin semuanya, aku sama Rey baru tau belum lama. Bahkan seminggu yang lalu Lisha baru aja pertama kali lakuin kemoterapi. Padahal memang dari awal seharusnya langsung dilakukan tindakan operasi,” jawab Malvin.

Pintu ruang operasi terbuka lebar, rupanya para perawat sedang ingin memindahkan Lisha untuk ke ruang rawatnya. Perlahan para perawat itu mendorong ranjang Lisha.

Terlihat di sana wajah Lisha yang tertidur pulas, setia dengan matanya yang terus tertutup. Dengan kain perban yang ada pada kepalanya. Siapapun yang melihat kondisinya sekarang akan merasa sakit hatinya.